"Rania, maafkan aku. Aku memikirkan perasaan Ibu. Kenapa kau berpikir seperti itu? Ibu tidak akan memisahkan kau dengan Vano ...."
"Renan, kau tak paham dengan perasaanku, bagaimana bisa aku membiarkan putraku bersama mereka, mereka pasti akan menjauhkanku dengan putraku. Aku benar-benar kecewa padamu, Ren."
"Kau egois! Ibu juga menderita selama ini. Jangan merasa kau yang paling tersakiti. Ibu juga tersakiti Rania!" Nada bicara Renan tiba-tiba meninggi dengan maksud agar Rania sedikit untuk tidak egois dengan membiarkan Hani tau bahwa Vano adalah cucu kandungnya.
Rania menarik nafasnya dalam-dalam, berusaha mengontrol emosinya agar tidak meledak-ledak. "Kembalikan putraku sekarang juga! Aku tidak mau tahu!"
"Jika kau masih ingin melihat putramu, datanglah ke apartemenku, Rania. Jika tidak, berdiamlah kau dengan pekerjaanmu itu," balas Renan tidak mau kalah.
"Ren!"
"Pikirkanlah, kau egois Rania!" tampik Renan dengan semakin keras tanpa mau mengalah pada ibunya Vano.
"Kau be-"
Renan langsung mematikan sambungan telepon, membuat Rania menggeram dan putus asa. Ingin rasanya Rania menghamburkan semua dokumen yang ada di atas meja ke lantai, namun urung. Mana berani Rania berbuat nekat seperti itu.
Jam makan siang pun sudah habis, ia ingin menjemput Vano, tapi pekerjaan dia menumpuk minta diselesaikan. Berakhir, Rania tidak bisa apa-apa selain mengerjakan pekerjaannya dan akan menjemput Vano setelahnya.
"Rania!"
Rania tersentak, saat Hana memanggilnya dengan teriakan. Wanita itu segera menolehkan kepalanya dengan malas.
"Kau dipanggil bersama Dimas ke ruangan pak Raihan, bawa skemamu itu kesana," ucap Hana dengan tidak ramah. Dia sangat tidak menyukai kehadiran Rania sedari awal karena ia menyukai Renan. Hana merasa, Rania telah mengambil kebahagiaannya.
Rania berdiri dan membawa rancangan skema yang telah ia selesaikan sejak tadi sebelum jam makan siang. Dia melewati Hana dan berhenti sejenak. Dia memandang Hana dengan dingin.
"Ubah perilakumu atau kau sama sekali tidak akan bisa menjadi wanitanya Renan."
"Apa maksudmu? Memangnya kau siapa berani berkata padaku seperti itu."
Rania menyunggingkan senyumannya pada Hana, benar-benar wanita licik pikir Rania.
"Renan akan menuruti apa yang aku ucapkan. Coba saja kau berperilaku buruk padaku, akan kubuat mulutku ini berbicara pada Renan agar tak memilih kau sebagai pendamping hidupnya. Silahkan kau pikirkan kembali jika ingin bermain-main denganku, Hana."
Hana mengepalkan kedua tangannya saat punggung Rania mulai menjauh dari hadapannya. "Dia gila ... benar-benar gila," gumamnya dengan hati yang panas sekali.
Rania dan Dimas sudah berada dihadapan Raihan sekarang. Raihan sebagai atasan tengah memeriksa hasil kerja mereka dengan teliti.
"Aku minta skema untuk bagian gedung belakang. Gedung yang akan dijadikan gudang penyimpanan stok persediaan barang," ungkap Raihan pada akhirnya. Matanya masih terfokus pada rancangan skema yang ada di hadapannya.
"Aku akan merancangnya, Pak," jawab Dimas sambil menuliskan catatan di buku kecilnya.
Raihan menggelengkan kepalanya.
"Tidak, tidak. Bukan kau, tapi Rania. Kau buat peta untuk perkiraan halaman parkiran untuk konsumen dan pegawai saja."
Rania menggigit bibir bawahnya, dia harus berani bertindak sekarang agar tidak ditindas dan dipekerjakan secara rodi menjelang ia benar-benar keluar dari perusahaan Atmadja.
"Maaf bos, seharusnya skema hari ini hanya dikirimkan sampai bagian lantai tiga. Tetapi, aku mengerjakan sampai lantai lima yang seharusnya diberikan pada bos di hari terakhirku bekerja. Aku sengaja mengerjakannya sekarang, agar tidak terbebani nanti di hari terakhirku bekerja. Jadi, untuk skema bagian gudang barang, itu bukan lagi tanggung jawabku.
Raihan tampak berdecak dan menggeram mendengar penolakan yang diajukan dari Rania. "Kenapa kau pelit sekali!"
"Aku tidak pelit bos, aku sedang menggunakan profesionalismeku dalam bekerja."
"Aku akan tambahkan bonus dalam gajimu nanti kalau begitu," lontar Raihan dengan matanya yang tajam mengintimidasi pergerakan Rania.
"Bonus standar tidak berarti apa-apa dengan skema gudang yang akan kau pinta," tolak Rania tanpa basa-basi. Benar saja, dia harus menjadi wanita yang perhitungan sekarang.
"Lima juta Rania, aku tambahkan bonusmu."
Rania menggelengkan kepalanya.
"Waw, silahkan berikan tawaran itu pada Dimas, aku tidak mau bos."
"Delapan juta," tawar Raihan lagi untuk meyakinkan Rania agar mau menerima lembur untuk membuat perancangan skema gedung penyimpanan barang.
"Tidak," jawab Rania dengan percaya diri dan juga tegas.
Raihan tampak mendelik memandang Rania keheranan. "Berapa yang kau mau memangnya?"
"15 juta," jawab Rania santai tanpa ada keraguan, dia yakin atas jawabannya.
"10 juta sudah paling maksimal yang bisa aku berikan sebagai bonus untukmu," sela Raihan. Dia menyandarkan punggungnya di daun kursi.
Rania tampak jual mahal di depan Raihan.
"Ya sudah. 15 juta atau tidak sama sekali," ujar Rania sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dan bersiap-siap untuk keluar ruangan.
Raihan menaikkan satu alisnya dan tertawa licik mendengar jawaban Rania. "Oke, tidak jadi saja." Raihan pastikan Rania menyesal karena berlagak tidak mau tawaran dari dirinya.
Rania menganggukkan kepalanya. "Baiklah bos, pekerjaanku sudah beres, saya pamit keluar kalau begitu." Rania membungkukkan tubuhnya, membuat Raihan menjadi jengkel berkali-kali lipat. Bisa-bisanya, seorang Rania tengah mempermainkan Raihan Atmadja.
"Ya! Ya! Ya! 15 juta Rania, akan aku bayar. Kerjakan skema itu sebagus mungkin!" tukas Raihan dengan memasang wajah masamnya. Dia kalah dari Rania hari ini. Raihan memang mengakui bahwa skill Rania sangat bagus dan perusahaan membutuhkan orang seperti wanita itu. Namun, karena dibarengi urusan pribadi yang belum selesai, tidak ada lagi alasan Raihan untuk mempertahankan Rania sebagai pegawai perusahaan yang ia kelola bersama ayah dan adik bungsunya.
Rania tersenyum menang dengan hati yang berteriak kegirangan karena akan mendapat bonus sesuai yang ia harapkan.
"Oke."
"Dasar mata duitan!" cibir Raihan mengejek Rania yang masih berada dihadapannya. Bahkan, Dimas ikut terperanjat atas cibiran bosnya itu.
"Memang," jawab Rania tegas tanpa keraguan, membuat Raihan tidak mampu berkutik lagi dan memilih bungkam. Rania, berpikir kritis dan realistis.
Setelahnya, Rania dan Dimas pamit pada Raihan dan segera keluar dari ruangan tersebut. Menyisakan Raihan yang kembali berkutat pada pekerjaannya di layar laptop. Sesekali, pikirannya dipenuhi oleh wajah Rania, entahlah .... Raihan juga bingung. Rasanya ada sesuatu Rahasia yang mengikat keduanya di masa depan, sehingga tanpa sengaja suatu saat mereka akan bertemu lagi.
***
Rania dengan langkah ragu-ragu menekan tombol bell pada apartemen milik Renan. Bukan tidak siap, dia hanya takut dan malu bertemu Hani. Rasanya dia memiliki banyak dosa dan merasa bersalah pada wanita paruh baya itu.
Memang nasibnya, Renan menunggu kehadiran wanita itu dengan berdiri di dekat rak sepatu. Saat dia membuka pintunya, terlihat wajah gemetar dan panik yang ditampilkan sang pujaan hati.
Renan menyentuh pergelangan tangan Rania dan menariknya sedikit agar wanita itu masuk ke dalam apartemennya. Namun, Rania tidak bergeming sedikitpun dari tempatnya, membuat Renan menaikkan kedua alisnya.
"Ayo, ibu menunggu di dalam," ucap Renan meyakinkan Rania.
"A-aku takut ...." jawab Rania.
"Takut apa? Ibu tidak gigit, Kok."
"Bukan itu," balas Rania lagi, matanya mencoba melirik ke arah dalam apartemen Renan.
"Lantas?"
"Takut ibu akan marah padaku," tukasnya kemudian. Bahkan, kepalanya tertunduk menjadi tidak percaya diri.
Renan menaruh telapak tangannya di atas kepala Rania dan menepuk-nepuk pelan untuk memberi ketenangan. "Tidak apa, Ibu tidak akan marah. Kau seperti putrinya sendiri, bagaimana bisa dia tega memarahimu."
Rania mendongakkan kepalanya dan Renan tersenyum tipis. Renan kembali menyentuh pergelangan tangan ibunya Vano dan membawanya masuk menemui Hani.
Perlahan, Rania dapat melihat jelas punggung Hani, wanita itu sedang bermain dengan Vano. "Ibu ...." panggil Rania dengan suara yang hampir hilang di ujung perkataan.
Pelan dan pasti Hani menolehkan kepalanya ke belakang. Disana Hani mati rasa, sudah lama terakhir bertemu. Kini, ia melihat Rania dewasa yang memiliki pancaran aura pekerja keras dan tahan banting.
"Anya … " lirih Hani menatap Rania yang terbujur kaku memandanginya.
Melihat wajah Hani yang lesu dan tubuh yang kurus, tersentak hati Rania seperti ditusuk jarum. Mengingatkannya pada 20 tahun silam, mendiang ibunya.
Perlahan Rania menghampiri Hani yang masih terduduk di kursi dengan tangan yang bergetar, wanita paruh baya itu tidak dapat menahan linangan air matanya saat sosok Rania benar-benar ada dihadapannya.
"I-ibu ...." Rania bersujud memeluk kaki Hani dengan tangisan yang pecah. Mengunci erat dan memberikan sebuah ciuman sebagai tanda rasa rindunya dan permohonan maaf yang besar.
Sungguh, Rania sangat menghormati dan menyayangi Hani seperti ia menyayangi mendiang ibunya sendiri.
"R-rania, m-minta maaf b-bu ... Rania s-salah
...." ucap Rania sesenggukan di bawah kaki Hani.
"Tidak. Tidak ... kau tidak s-salah ... aku yang salah. H-harusnya aku mempertahankanmu waktu itu ...." Hani memeluk bahu Rania di bawah sana, tubuhnya merosot ke bawah begitu saja. Sudah lama, sudah sangat lama dia merindukan Rania yang sudah dianggap sebagai darah daging sendiri.
Setiap hari, bayang-bayang Rania menghantui perasaannya. Mengingat waktu ia melepaskan Rania, wanita itu masih berusia 21 tahun dan sedang mengandung. Tidak ada yang bisa Hani lakukan, hanya bisa menyalahkan diri sendiri dan merahasiakan semuanya dari Raihan.
Rania menggeleng-gelengkan kepalanya. "Rania ... minta m-maaf b-bu ...."
Renan mengadahkan kepalanya ke atas menahan air mata, dia juga ingat waktu itu. Kala itu, usianya 19 tahun, lebih muda dari Rania. Dia masih laki-laki labil yang tidak bisa mengambil keputusan. Dia ingin menolong Rania, tapi ia tak mampu. Berakhir, ia hanya menjadi sandaran ibunya untuk berkeluh kesah memikirkan hilangnya jejak Rania dan nasib cucu yang sedang dikandung wanita tersebut.
"H-handa Enan .... kenapa B-buna menangis?" tanya Vano sambil menarik jari jemari Renan yang menggantung.
"Ah, i-itu ... Buna hanya sedih saja."
"Apa Buna nakal pada Nini?"
Renan tersenyum simpul. "Iya, bunamu nakal, makanya dia meminta maaf pada Nini sekarang. Mari kita membeli jajan di bawah." Renan membawa Vano keluar tanpa diketahui oleh Rania agar tidak mengganggu momen haru yang sedang tercipta.
Menyisakan seorang putri dan seorang ibu untuk saling memahami dan menceritakan semua kekhawatiran mereka selama ini. Selain itu, mereka juga melepas rindu yang selama ini tertahan yang membuat keduanya sama-sama tidak tenang dan tidak bahagia.
***
Sudah pukul 20.00 lebih, Hani baru tiba di rumahnya. Wanita itu lebih tampak fresh dari biasanya, senyumannya juga sudah mengembang berkat bertemu Rania dan bermain bersama Vano. Rasanya seperti kehidupan baru telah dimulai.
"Ibu? Ibu dari mana saja sih, kok lama pulangnya," tanya Raihan yang melihat gelagat ibunya yang tidak biasa. Senyum terpatri dan binar-binar wajah yang seperti menang lotre.
Hani tersenyum lebar. "Aku telah menemukan kebahagiaanku lagi," jawab Hani dengan percaya diri.
"Kebahagiaan apa?"
"Rahasia," balas Hani lagi sambil tersenyum penuh arti.
"Loh, kok rahasia?" Alis Raihan tertaut sempurna, keheranan dengan sikap ceria yang dimiliki ibunya hari ini, seperti tidak biasa.
"Sudah, ah. Ibu capek mau bersih-bersih dulu," jawab Hani yang sudah siap melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar.
"Ibu habis pergi dengan Jihan, ya?"
Hani berbalik menatap Raihan, dahinya mengernyit tidak enak. "Sejak kapan aku pernah pergi bersama calon menantu keluarga Atmadja?" tanyanya dengan sedikit tidak suka. Benar, Hani kurang akur jika bersama Jihan atau sekedar pergi berdua bersama untuk mengakrabkan diri. Jihan juga terlihat tidak berusaha merebut hati calon mertuanya dan hanya mengandalkan perjodohan saja.
"I-ibu ...."
"Aku tidak masalah pada perjodohanmu dan Jihan. Tapi, kau juga tidak bisa melarang apa yang aku mau. Aku hanya punya satu wanita pilihan untukmu. Tidak masalah jika kau tidak setuju denganku, aku bisa memberikan wanita itu untuk Renan."
Raihan menghembuskan napasnya. "Ibu bahkan tidak memberikan info yang jelas. Siapa wanita itu memangnya?"
Hani tersenyum sarkas. "Tidak usah mencari infonya, kau kan sudah memilih pilihan ayahmu. Wanita itu akan aku berikan pada Renan," telak Hani. Akhirnya, wanita itu melenggang pergi dari hadapan Raihan.
Meninggalkan Raihan dengan seribu pikiran yang terbenak di kepalanya. Ada apa dengan ibunya? Apa sesuatu sedang terjadi? Kenapa ibunya bisa berubah drastis menjadi lebih baik dari sebelumnya? Bukan Raihan tidak senang pada perubahan yang terjadi, hanya saat ini Raihan kebingungan dengan sikap ibunya.
Selanjutnya, Raihan pun menaiki anak tangga rumahnya dan segera menuju kamarnya, lebih baik dia beristirahat karena pekerjaan besok akan sangat banyak dan jadwal pertemuan antar kolega yang padat.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐡𝐞 𝐓𝐫𝐮𝐭𝐡 𝐔𝐧𝐭𝐨𝐥𝐝 | 𝐊𝐒𝐉
FanfictionSebuah kisah yang menggambarkan seorang wanita single yang memiliki jutaan kesedihan dan rahasia dari masa lalu. Apa rahasia terbesar dalam hidupnya mampu membalikkan fakta yang ada sekarang? Fakta, bahwa dirinya hanya seorang wanita parasit? "Aku p...