12. Mereka Kembali Bersatu?

23 1 2
                                    

"Rania," panggil Raihan yang membuat Rania menolehkan kepalanya ke belakang. Dia hapal betul siapa pemilik suara lembut yang khas seperti itu. Suara itu juga sama persis seperti empat tahun yang lalu.
 
"B-bos? Ada apa kau di tempat seperti ini?" Rania kebingungan dan agak kaget dengan tatapan Raihan yang sangat teduh dan terlihat putus asa.
 
"Memangnya kenapa jika aku berada disini?" tanya Raihan, dirinya tidak melepaskan pandangan matanya pada Rania sedetik pun, rasanya sangat berharga bisa terus memandang Rania seperti ini, tanpa jeda.
 
"I-ini kan bukan unit elit. T-tidak mungkin teman atau investormu tinggal di tempat sempit seperti ini," balas Rania lagi dengan tatapan mata yang bergetar nyaris memerah.
 
"Kau sendiri sedang apa?"
 
"Aku ingin ke unitku sendiri." Rania mengambil bawaannya yang tergeletak di bawah lantai dan menentengnya seperti awal tiba di depan lift.
 
"Kenapa kau mengajak anakmu tinggal di tempat seperti ini?" To the point saja, itu tidak masalah bagi Raihan.
 
Rania menatap heran pada mantan bosnya tersebut. "Aku mata duitan, jadi merasa membuang-buang uang saja jika tinggal ditempat yang sedikit besar dari tempat ini," jawabnya dengan untaian kata kebohongan di dalamnya.
 
Ekspresi Raihan berubah sedetik kemudian, tangannya sedikit mengepal menahan linangan air mata yang terus menumpuk di pelupuk mata. Rania suka berkata bahwa dia menyukai uang, tentu saja wanita itu mengumpulkan banyak uang demi Vano dan David.
 
"Kau memang benar sangat menyukai uang ...."
 
"Tentu saja. Aku permisi, anakku sedang menungguku pulang." Rania menundukkan kepalanya dengan sopan. Lalu, memilih pergi dari hadapan Raihan karena hari sudah menunjukkan pukul 20.30.
 
"R-rania?" panggil Raihan kembali, terdengar nada bicaranya sedikit bergetar. Laki-laki itu seperti tak mampu untuk melanjutkan perkataannya kembali.
 
"Ada apa lagi, bos?" Rania melirik sebentar ke arah Raihan. Dia bingung, kenapa Raihan sangat terlihat aneh dari biasanya? Laki-laki itu seperti lebih pendiam dan lembut pada Rania.
 
"A-aku ingin bertemu anakku."
 
***
 
Rania dan Raihan berada di atap gedung bangunan tinggi apartemen yang Rania tinggali. Mereka saling berhadapan sekarang. Rania masih bertahan dengan kepala yang tertunduk, memainkan jari-jari lentiknya yang begitu dingin dirasa. Wanita manis ini juga tidak menyangka, pada akhirnya Raihan mengetahui kebenaran yang selama ini dirahasiakan rapat-rapat.
 
"Apa kau benar-benar berharap agar aku tidak mengetahui tentang anakku, Rania?" tanya Raihan memulai percakapan di antara mereka lebih dulu. Raihan juga malas berlama-lama untuk saling diam, dia ingin semua jelas malam ini juga.
 
Rania diam saja ditanya seperti itu, dia tiba-tiba mendadak bisu total dengan pikiran yang membuncah hebat ingin pecah.
 
"Kau menjadikanku laki-laki dengan julukan ayah yang kejam, Rania."
 
Rania kembali diam saja. Air matanya luruh tanpa Raihan ketahui. Akhirnya, masa ini tiba. Satu persatu kebenaran terungkap. Sejatinya, Raihan adalah ayah biologisnya Vano Raykarian.
 
"Kau tidak ingin mengatakan apapun padaku? Kau tidak ingin melihat wajahku? Apa salahku padamu di masa lalu? Kenapa kau tega membohongiku? Apa kau suka melihat aku tersiksa selama empat tahun ini?" Begitu banyak pertanyaan yang terlontar dari mulut Raihan, menandakan kefrustasian laki-laki itu cukup dalam.
 
Bahu Rania naik turun, dia akhirnya menangis tidak tahan. Bukan Raihan saja yang tersiksa selama empat tahun ini, Rania bahkan lebih tersiksa dari yang kalian bayangkan.
 
Raihan memajukan tubuhnya menyentuh kedua bahu Rania yang bergetar hebat. "Bahu i-ini .... bahu ini sudah waktunya untuk membagikan bebannya padaku …," lirih Raihan yang semakin membuat Rania terisak tangis yang pecah. Dia tersentuh dengan kalimat yang dilontarkan ayah Vano, dia berharap pundaknya benar-benar akan meringan sekarang.
 
"Hhhh- ... M-mas"
 
"Vano anakku, aku tahu itu. J-jangan kabur lagi dariku, jangan menampungnya sendirian Rania ... a-aku juga ayahnya."
 
"Huhhh ... M-mas ... Ra-"
 
Set!
Raihan mengangkat dagu Rania pelan-pelan, membawa mendongak untuk menatap laki-laki yang menyandang status sebagai ayah Vano tersebut. Wajah cantik jelita yang ditatapnya, penuh dengan deraian air mata pilu yang membanjiri. Hidung yang merah dengan tahi lalat yang cantik. Kelopak dengan bulu mata paling indah menurut Raihan, serta diatasnya tumbuh alis hitam yang tidak terlalu tebal. Bukankah, Buna Vano sangat manis bagi Handa Vano?
 
Bibir mungil wanita yang ada di depannya semakin bergetar tatkala Raihan juga meneteskan air matanya. "Rania ... biarkan aku juga merawat putraku ... a-aku juga menyayangi putraku ... jangan pisahkan aku darinya ... aku mohon …," ucap Raihan dengan tatapan memohon pada Rania. Suaranya juga parau karena terlalu banyak air mata yang dihabiskan untuk turun, meledakkan emosional yang sejak tadi tertahan.
 
Laki-laki itu tak berkedip sedikitpun memandangi manik hitam kelam milik Rania. Kini, jari jemarinya turun ke bawah menggenggam kedua tangan Rania yang sudah sangat dingin sejak awal.
 
"M-mas ... R-rania ingin M-mas t-"
 
Sret!
Raihan membawa Rania ke dalam dekapan hangatnya. Begitu tubuh Rania sampai, Raihan memeluk dengan sangat erat sekali. Rania pun semakin terisak tangis, pelukan itu terasa seperti empat tahun yang lalu. Tidak ada yang berubah, jantungnya masih berdetak kencang karena gugup dan euphoria.
 
"J-jangan pergi lagi, jangan menyiksaku bayi rusanya Raihan Atmadja …," ucap Raihan dan bergerak mendaratkan bibirnya di atas puncak kepala Rania dengan lembut. Sungguh, Raihan ingin waktu berhenti untuk membalas semua pelukan selama empat tahun mereka berpisah.
 
Dengan perasaan menggebu-gebu terdesak tangis, Rania melingkarkan kedua tangannya di tubuh Raihan. Wanita itu menciumi dada Raihan berulang kali. Rania serindu itu dengan ayah rusanya. Aroma lelakinya sungguh menghangatkan jiwanya dan membuat tenang pikiran.
 
Perlahan, Raihan melonggarkan pelukannya pada pinggang Rania. Tangan kanannya menyentuh tengkuk leher si wanita dan ditarik pelan ke dekat wajahnya. Reflek kaki Rania sedikit berjinjit untuk menyesuaikan posisi.
 
Semesta sedang mendukung untuk kebenaran yang ada, mereka masih terikat pada benang perasaan yang belum pernah terselesaikan secara baik. Tapi, disisi lain, ada seseorang yang juga menunggu kepemilikan hati wanita itu.
 
Sejauh ini, pada siapa takdir akan memihak? Kisah masa lalu atau rangkaian cerita cinta yang lebih tulus?
Mawarnya merekah cantik. Jangan lupa, kelopaknya juga berjatuhan tanpa disadari oleh pemiliknya.
 
***
 
Perlahan, Raihan melonggarkan pelukannya pada pinggang kecil Rania. Tangan kanannya menyentuh tengkuk leher si manis dan ditarik pelan ke dekat wajahnya. Reflek kaki Rania sedikit berjinjit untuk menyesuaikan posisi.
 
Mmm.
Raihan mendaratkan bibir merahnya pada bibir mungil dan basah milik Rania. Perlahan, kembali Raihan menarik pinggang Rania agar tubuh wanita itu semakin menempel pada tubuh miliknya.
 
Raihan melumati bibir Rania dengan lembut, menumpahkan segala isi hatinya yang sudah ia tahan selama empat tahun ini. Tentu saja, Rania membalasnya karena Rania juga merindukan sosok tersayangnya.
 
Mereka terus terlelap dalam pagutan ciuman romantis musim dingin. Tidak terlalu dingin untuk mereka yang saling menghangatkan. Yang kedinginan hanya penulis cerita dan pembaca, mungkin.
 
Kegiatan mereka cukup intensif atau bahkan tangan Raihan hampir masuk ke dalam baju Rania. Karena perasaan yang saling menggelegarlah mereka hampir nekat melakukan yang lebih erotis. Tapi, Kegiatan mereka terhenti, saat David kembali menelpon.
 
Berakhir, mereka yang canggung saat ciuman terhenti mendadak. Rania pun mengajak Raihan ke unitnya untuk menemui putra mereka. Di dalam lift juga, tangan mereka saling menggenggam penuh arti, tangan Raihan yang lain membawa belanjaan Rania. Lebih tepatnya, semua belanjaan Rania ada di tangan kanan pemuda itu.
 
***
 
David sudah menunggu di dekat pintu dengan raut wajah yang sedikit khawatir, pasalnya sang Buna mengatakan sudah di lift sejak 25 menit yang lalu, namun tak kunjung sampai yang mengakibatkan David menelpon lagi.
 
Berakhirlah, dirinya menunggu sang buna di dekat rak sepatu, apalagi Vano yang terus bertanya kemana bunanya yang tidak kunjung sampai saat ini.
 
Cklek!
"Buna! Buna la-" omongan David terhenti saat melihat kehadiran Raihan di belakang Rania. Raihan juga menjadi canggung saat bersitatap dengan putra sulung Rania tersebut.
 
Melihat David, Rania melepaskan tautan tangannya pada Raihan begitu saja. Sejujurnya, dia malu dan sedikit ada rasa tidak enak di hati saat kepergok oleh anaknya.
 
David mendekat pada Rania dan berbisik pelan sekali, hampir seperti lirihan jika didengarkan lebih detail. "Buna? Kenapa mengajaknya kesini? Paman ini sudah tahu kalau Vano anaknya?" Jelas, David sudah lebih lama mengetahui fakta, bahwa Raihan Atmadja adalah ayah kandung dari Vano Raykarian.
 
Belum sempat menjawab pertanyaan David, terdengar suara Vano dari arah ruang Tv. Suara grasak-grusuk yang menghebohkan malam itu. Anak laki-laki itu turun dari sofa dan membuang selimut yang tersampir di tubuhnya secara asal saat mendengar kedatangan ibunya yang pasti telah membawa robot gundam.
 
"AAAAA!! YOBOT GUDAM NAMPE!!" teriak Vano bahagia. Dia berlari menghampiri Rania yang masih berdiri di dekat rak sepatu bersama Raihan. Mereka bingung akan bereaksi apa setelah ini.
 
"YEAYY YOBOT! YOBOT!"
 
Brak! Dug!
"VANO!" pekik Rania dan Raihan secara bersamaan dan berlarian menghampiri Vano yang tersandung dan terjatuh ke lantai. Dahinya sedikit membentur keramik dan menimbulkan tanda kemerahan.
 
Vano tersandung karena mobilan tayonya yang terpakir di lantai, mengakibatkan bocah itu jatuh dan mengaduh sakit dengan suara yang lumayan nyaring memenuhi ruangan. David juga sama terkejutnya dan berusaha duduk di sebelah Vano untuk menenangkan adik tersayangnya.
 
"Aduyhh!" erang Vano kecil karena sakit tak tahan. Dia mengusap dahinya dengan dibantu oleh sang ibu.
 
***
 
Spesial Scene :
"Aku ingin membeli emas yang dijual wanita itu barusan," kilah Raihan dengan wajah yang begitu dingin dan tegang. Dirinya juga tampak seperti terburu-buru dan dikejar sesuatu.
 
Vante menatap dan mengernyit pada Raihan yang ada di hadapannya sekarang. "Kami belum menetapkan harganya, Pak!" balasnya, membuat Raihan menggeram dan ingin mengamuk pada penjual emas itu.
 
"Cepat berikan! Dua kali lipat pun tak masalah! Aku buru-buru untuk mengikutinya," pinta Raihan dengan tergesa-gesa. Ada raut wajah cemasnya yang takut kehilangan jejak Rania.
 
Andara mengernyitkan alisnya menatap curiga pada Raihan yang ada di depannya. Laki-laki itu seperti penguntit dan ada maksud terselubung setelah ini. Wanita itu juga tampak was-was untuk menjual kalung yang barusan Rania jual padanya. Bisa saja, pemuda itu ingin mengguna-gunai si pemilik kalung ini tadi. Jika memang benar, Andara harus bertindak lebih teliti dan melaporkan orang ini ke bagian keamanan.
 
Sadar sedang dipelototi ibu hamil itu, Raihan segera mengklarifikasi apa yang sedang ia lakukan sampai terlihat seperti penguntit. "Aku suaminya. Aku sedang bertengkar dengannya, aku mohon berikan emas yang dia jual barusan. Dia sedang marah padaku dan menjual emasnya," ucapnya asal yang penting emas itu cepat jatuh ke tangannya.
 
"Benarkah?" tanya Andara dengan mata memicingnya, memerhatikan penampilan Raihan dari atas sampai bawah.
 
Raihan menghela napas panjang dan bergerak mengambil dompet dalam saku celananya, dirinya mengeluarkan kartu nama Atmadja untuk meyakinkan si ibu hamil satu ini. "Aku putra sulung dari Atmadja Group. Untuk apa aku berniat buruk pada istriku sendiri? Aku ini sedang membujuknya untuk pulang ke rumah dan meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kami."
 
"Masa? Mana foto kalian berdua?" Kini, Vante yang juga menaruh curiga pada Raihan.
 
Raihan memelototkan matanya seketika, namun cepat ia berekspresi normal lagi biar kedua orang yang ada di depannya segera memberikan kalung itu. Raihan pun mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto pada pada pasangan suami istri tersebut.
 
"Ini foto kami saat lima tahun yang lalu
...." setelahnya, Raihan menggeser fotonya lagi. "Dan lihat ini dia dan buah hati kami. Selama kami dihadirkan anak, kami sudah jarang sekali berfoto berdua. Saya ini bukan penjahat."
 
Suami istri itu tampak mengangguk-ngangguk paham dan akhirnya, Vante menjual kembali emas Rania pada Raihan dengan harga yang sedikit mahal, haha. Setelah itu, Raihan kembali mengikuti Rania.
 
"Buna, istirahatlah dulu, dari tadi kau sibuk berjalan kesana kemari. Lihat! Perutmu sudah semakin gemoy!" titah Vante pada istri cantiknya yang selalu menggemaskan.
 
"Ah, Ayah menyuruh istirahat terus, Buna ingin merapikan tatanan semua cincin emasnya. Bayi beruang kita sedang tidak ingin untuk diajak beristirahat, ia ingin bunanya bergerak."
 
Vante turun dari kursinya dan setengah berjongkok untuk memeluk perut Andara.
 
"Uhhh! Gemoy sekali! Bayi beruangku, cepat lahir ya! Ayah dan Buna menantikanmu sayang ... muah ... muahhh." Vante mendaratkan bibirnya menciumi perut Andara gemoy berisikan buah hati mereka yang diberi julukan bayi beruang. Melihat perlakuan suaminya, terbitlah senyum lebar yang tulus terbentuk dari bibir Andara.
 
Terbanglah bersama angin, kelopakmu memang sudah berjatuhan. Namun, kisahnya tetap berjalan bersama angin yang meniupnya untuk terbang lebih bebas.

 Namun, kisahnya tetap berjalan bersama angin yang meniupnya untuk terbang lebih bebas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

𝐓𝐡𝐞 𝐓𝐫𝐮𝐭𝐡 𝐔𝐧𝐭𝐨𝐥𝐝 | 𝐊𝐒𝐉Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang