Andai ….
"Ano, mamamnya dihabiskan dulu, nak, baru pakai sepatunya. Handa tidak akan kemana-mana. Iya kan, Handa?" Rania memandang Raihan yang sedang duduk di kursi meja makan dengan sepiring nasi goreng di hadapannya.
"Benar, Buna benar," jawab Raihan dengan terus tersenyum lebar memperhatikan istri cantiknya yang kelewat mempesona.
"Tapi, Ano udah kenyang Bun," timpal anak laki-laki yang berumur tiga tahun itu.
"Sedikit lagi, ayo habiskan, sayang," bujuk Rania kembali dengan tatapannya yang sedikit merajuk pada Vano.
"Iya, anak Handa harus banyak makan biar cepat tumbuh besar," ucap Raihan menambahi perkataan istrinya.
"Memang kenapa Handa kalau Ano tubuh besar?"
"Biar bisa tidur sendiri," jawab Raihan dengan takut-takut memandang istrinya yang menatap memicing tajam. "Itu loh, kan kasurnya sempit kalo ada Ano di tengahnya."
"Oooo," respon si kecil dengan kepala yang mengangguk-ngangguk paham. "Handa saja tidul sendili, Ano maunya cama buna telus," sambung si kecil lagi, membuat Rania menahan tawanya agar tidak meledak.
Raihan memajukan bibir bawahnya. "Loh, kok Handa? Kan Buna punya Handa, Dek .... "
"Handa kan udah puna Nini, Buna puna Ano," sanggah Vano dan tak mau kalah. Dia tidak ingin bunanya dikuasai handanya sekarang.
"Hm, liat aja nanti-"
"Handa …," tegur Rania untuk menyuruh Raihan mengalah saja, membuat laki-laki itu semakin ingin merajuk pada istrinya.
"Handa, Ayo ke kator, Ano ikut," pinta si kecil dengan antusias, dia turun dari kursinya dan menghampiri sang ayah untuk cepat bersiap pergi ke kantor.
"Tidak sabaran sekali anak Handa ini. Sebentar ya, Handa habiskan susu Handa dulu," balasnya sambil mengusap puncak kepala sang anak dengan lembut dan penuh kasih sayang. Raihan bahagia bisa bersama Vano dan Rania saat ini, ia tidak ingin momen tersebut hanya khayalan biasa ataupun sebuah mimpi. Jika benar ini sebuah mimpi, tolong jangan bangunkan Raihan.
Rania bergegas memasukkan lauk ke dalam dua kotak bekal yang berukuran besar dan sedang. Ukuran besar untuk bekal suaminya dan ukuran yang sedang untuk buah hatinya. Wanita itu juga mengambil wadah kecil untuk menaruh buah semangka dan apel yang telah dipotong secara dadu. Setelahnya, mengisi air minum di wadahnya dan memasukkan semua perlengkapan makan tersebut ke dalam totebag berwarna kecoklatan.
"Handa, ini ...." Rania menyerahkan totebag coklat itu pada Raihan, suaminya. "Bekalnya jangan telat di makan, dihabisin. Anaknya juga diliatin makannya, jangan sampe kecapekan juga," ucap Rania tanpa jeda sedikit pun.
Raihan tersenyum dan mencubit pipi istrinya itu. "Duh, Buna gemes banget kalo ngomong kaya gitu." Raihan melayangkan ciuman di pipi dan hidung Rania. "Handa berangkat kerja dulu ya, Bun."
"Iya, hati-hati loh, anaknya juga diawasi terus," ujarnya Rania lagi, memperingati suaminya.
"Buna juga istirahat saja, jangan banyak melakukan sesuatu, tiduran aja sambil nonton tv." Raihan memindahkan telapak tangannya ke atas perut Rania dan mengusap perut wanita itu yang masih datar. "Duh, dedek kecil sehat-sehat terus, ya. Jangan nakal sampe buat Buna kecapekan ya, nak," tuturnya lembut sekali.
"Handa, dedeknya masih sebesar biji kacang loh, belum ada kebentuk bagian tubuhnya."
Raihan terkekeh kecil dan menundukkan kepalanya. "Bunanya cerewet ya, Dek. Muah ... muah. Handa ke kantor ya Dedek kecil."
"Ano juga mau cium, Bun," pinta Ano pada buna dan handanya. "Cium dedek kecilnya, Bun."
Rania berjongkok dan tersenyum teduh pada anak bungsunya itu. "Sini, abang Vano mau cium dedek, kan?"
Vano mengangguk dan duduk di paha bunanya, memberikan cium pada perut Rania. "Dedek cepet besalnya, ya. Ati kita ain yobot gudam cama abag Vid," bisik Vano dengan pelan biar tidak terdengar oleh buna dan Handanya. Nyatanya, Rania dan Raihan mendengarnya, mereka pun tersenyum kecil. Mereka tentu sangat menyukai momen saat Vano tumbuh besar dan menantikan kehadiran adik barunya.
Setelahnya, Raihan membawa Vano untuk pergi ke kantornya dengan menggunakan mobil bmw miliknya, menyisakan Rania sendirian di rumah. Ibu hamil itu mulai membereskan rumah dan menghabiskan waktu untuk bersantai sesuai titah suaminya.
Tap!
Raihan membuka matanya perlahan dan menatap langit-langit kamarnya yang bernuansa putih keabuan. Peluh keringat membanjiri dahinya dan turun membasahi seluruh permukaan wajahnya. Nafas yang terengah-engah terdengar bersamaan bunyi jarum jam yang berdetak, untuk sesaat Raihan masih dengan pikiran kosongnya. Terasa nyata mimpi itu terjadi, sebuah keluarga kecil yang hangat terbentuk antara dirinya, Rania dan Vano.
Tes!
Air mata Raihan meluruh membasahi pipinya, dia pikir yang terjadi adalah nyata. Nyatanya, hanya bunga tidur yang akhirnya menghilang dan menyisakan Raihan seorang diri dengan penuh penyesalan yang mendalam.
"M-mimpi …," lirih Raihan, tangannya bergerak menyentuh dadanya, ada rasa sakit dan sesak yang bersamaan. Kembali, bayangan itu berputar di otaknya saat Vano dengan mata bulat yang berkaca-kaca menggeleng pelan pada Raihan.
"Vano ...." Raihan terduduk dan memegangi dahinya yang terasa pusing. Dia ingin bertemu Rania dan Vano untuk meminta maaf dengan setulus hati, lalu memulai dari awal sebuah keluarga kecil yang bahagia.
"A-anakku, maafkan Handa, nak," eluhnya dengan napas yang tertahan.
Semua yang didapatkan tentu butuh pengorbanan dan kerja keras yang mumpuni. Tapi, tidak lupa bahwa Tuhan turut andil dalam mengaturnya. Selagi raganya masih ada, kejarlah dan bayar semua penantian dan penyesalanmu.
Selanjutnya, tinggal menunggu waktu dan kesempatan. Berharaplah pada sang pencipta bahwa seseorang yang kamu tuju mampu membuka hatinya kembali dan memaafkan apa yang sudah pernah kau lakukan padanya.
Pada dasarnya, dia seorang wanita dan juga seorang ibu. Tentu, hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh. Setelah ini, jangan pernah menambah luka dan tekanan untuknya. Ingat selalu, dia yang berjuang mati-matian membesarkan buah dari cinta yang kalian buat bersama. Tidak perlu harta yang melimpah, kasih sayang dan perhatian yang lebih tentu menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh sosok Vano kecil.
Berpegangan tanganlah lebih erat dan tahan egomu. Mungkin, hanya dengan itu Rania bisa memaafkanmu sepenuhnya. Bersikaplah, layaknya engkau adalah sosok laki-laki dan juga ayah yang baik dalam sebuah keluarga hangat. Sehingga, mereka merasa bahwa kaulah tempat yang tepat untuk bergantung.
***
"Jadi, ini restaurant tempatnya bekerja?" Raihan melihat sekeliling bangunan restaurant tempat Rania bekerja. Bukan restaurant bintang lima, pasti gajinya juga tidak besar. Terlihat juga dari tempatnya yang kurang luas, namun tidak sepi pelanggan. "Restaurant ini masih terbilang kecil ukurannya," sambungnya lagi sambil mengusap lehernya yang sedikit merinding karena cuaca dingin. Laki-laki itu juga semakin mengeratkan jaket ke tubuh kekarnya.
"Hoek! Hoek!"
Terdengar suara wanita yang sedang muntah dari pintu belakang restaurant, Raihan dapat melihat dari tempat berdirinya. Sosok wanita yang beberapa hari ini memenuhi isi pikirannya.
"R-rania …," lirih Raihan saat Rania memuntahkan isi perutnya begitu saja. Wanita itu berjongkok sambil menekan perutnya yang sakit. Tampak, gadis yang kelihatan lebih muda dari Rania mengusap leher Rania dan memberikan segelas air putih untuk bunanya Vano itu.
Si gadis muda tampak khawatir dan berbicara pada Rania. Terlihat, Rania menggelengkan kepalanya pada lawan bicaranya. Wajahnya begitu pucat pasi dan mata sayunya semakin terlihat kelelahan.
"Rania, apa kau sedang sakit? Berapa banyak lagi yang akan kau sembunyikan dariku?" gumam Raihan dengan guratan wajah yang khawatir, ia ingin sekali menghampiri Rania sekarang juga. Berakhir, laki-laki itu hanya bisa melihat dari jauh.
Rania dan wanita itu kembali masuk ke dalam restaurant. Selama hampir 40 menit Raihan menunggui Rania sampai selesai dengan pekerjaannya. Dia berencana akan mengikuti wanita itu sampai pulang ke rumah.
"Aku harus mengikutinya pulang," kilahnya dari jauh saat Rania sudah keluar dari restoran tersebut. Raihan melihat bagaimana ibunya Vano menyelempangkan tas ke bahu.
Begitulah, Raihan membuntuti Rania pulang. Ternyata, Rania tidak langsung pulang. Wanita itu pergi ke area pasar elit untuk membeli sesuatu. Raihan mengikutinya secara hati-hati dan berharap semoga tidak ketahuan dengan aksinya itu yang hampir seperti penguntit.
"Toko Emas Taera," gumam Raihan, dia membaca nama yang terpampang di atas tempat yang dikunjungi Rania. Tampak sepasang suami istri menyambut Rania dengan senyuman ramah.
Sedikit berbincang, Rania melepaskan cincin emas yang tersemat di jarinya dan melepaskan kalung emasnya. Wanita itu menyerahkannya pada laki-laki berkacamata dan istrinya mengambil timbangan emas. Iya, Rania menjual perhiasan emasnya pada pemilik toko tersebut, Vante dan Andara. Wanita itu terpaksa melakukannya karena dia memang benar-benar membutuhkan uang untuk saat ini.
Raihan mengusap wajahnya tak tahan. "Kenapa dia menjual emasnya? Dia berpikir untuk mengobati Vano seorang diri? Apa dia benar-benar tak ingin meminta uang pada ayah kandung Vano?" tanya Raihan pada dirinya sendiri. Dia juga sedikit kesal karena Rania sampai sekarang tidak berniat sedikitpun menghubungi ayah Vano untuk meminta bantuan. Padahal jelas, Raihan sangat menantikannya.
Setelah itu, Rania menerima uangnya dan pergi melanjutkan perjalanan ke toko mainan anak. Rania membeli dua robot gundam untuk Vano dan David. Gaji dan bonus terakhirnya waktu itu akan dipakai membayar membayar hutang dan ditabung untuk pengobatan Vano. Jadi, dia menjual emasnya untuk membeli dua robot gundam yang terkenal mahal. Hatinya sungguh mulia, menyayangi anak-anaknya lebih dari luasnya semesta. Dia bahkan tidak peduli pada kebahagiaannya sendiri.
"Ketika wanita diluar sana menyukai uang untuk foya-foya dan bersenang-senang, kau menyukai uang karena kau bahagia bisa membelikan apapun untuk anakmu ... kau tidak berubah Rania ... kau masih Rania yang dulu, kau selalu menomorduakan dirimu demi orang yang kau sayang." Raihan mengadahkan kepalanya ke atas, dia berusaha menahan air matanya yang hendak jatuh. Dia meremat jantungnya yang berdenyut hebat, Raihan masih menyimpan perasaannya untuk Rania dan tidak pernah berubah.
Benar-benar setelah ini, Raihan tidak akan mau melepaskan Rania lagi dan dia percaya Rania adalah salah satu wanita terhebat yang diciptakan oleh Tuhan di muka bumi ini.
Kembali, Rania melanjutkan perjalanannya. Dia sampai pada Toko elektronik Jiresa. Toko elektronik milik Jipan dan Andresa yang terkenal dengan barang-barang bagus dan harga standar.
"D-dia ingin beli apa lagi?" Raihan menyandarkan punggungnya di sebuah dinding, tangannya bergerak masuk ke dalam kantong untuk mengambil ponsel. Matanya tidak pernah lepas memandangi Rania, apalagi senyumnya ikut merekah saat melihat senyuman tipis milik Rania juga.
Di dalam sana, Rania mencari tempat pemanggang makanan mini untuk dibelinya. Belakangan, David dan Vano ingin barbeque-an seperti di tv-tv yang mereka tonton. Oh, ayolah Rania, kapan kau akan mengganti kaca matamu? Kau memikirkan anakmu saja. Tidaklah begitu penting, tapi bagi Rania sangat penting sekali membeli itu.
"Aku ingin pemanggang mini untuk barbeque-an," ucapnya pada pegawai toko. Matanya melirik ke oven listrik dengan ukuran jumbo. Ya, wanita itu sudah sejak lama terpikat untuk memiliki oven tersebut, entah sampai kapan dia akan memiliki barang tersebut.
"Baik, Nona. Kami akan mengambilkannya untukmu," balas pegawai toko tersebut dengan ramah. Pegawai tersebut pamit menuju gudang penyimpanan untuk mengambil pemanggang mini sesuai permintaan Rania.
Rania berjalan sedikit dan melirik oven listrik idamannya, kedua tangannya bergerak membuka pricetag yang menggantung di pintu oven. Rania mengecek harga oven listrik tersebut. dirinya tercengang, sangat mahal sekali. Sebelum Vano lahir, Rania sudah naksir dengan oven listrik tipe itu, namun belum tersampaikan niatnya untuk membeli oven listrik itu sampai sekarang. Ada banyak kebutuhan yang harus dibeli dari pada membeli oven tersebut.
"Nanti saja, jika aku punya uang lebih …," lirihnya pelan sekali sambil menatap sendu oven listrik tersebut. Tak lama, pegawai toko Jiresa datang lagi dan memperlihatkan pemanggang tersebut pada Rania. Pegawai itu juga menjelaskan dengan detail sekali tentang penggunaan barang yang dipegang pada Rania sampai wanita itu paham. Selanjutnya, Rania mengikuti pegawai Jiresa berjalan ke arah kasir dan Rania membayar pemanggangnya.
Saat dirasa sudah cukup, Rania pulang ke unitnya dan Raihan juga masih setia mengikuti Rania.
Rania menenteng belanjaannya dengan susah payah. Dia sudah berada di lobi apartnya dan hendak pulang ke unitnya.
Rania mengangkat teleponnya saat bergetar, dia menaruh sebentar bawaannya di atas lantai.
"Eoh! David ada apa, sayang?"
"Buna, kapan pulang?"
"Buna sudah di lobi, sebentar lagi naik lift."
"Kata Ano, Buna beli robot?"
"Benar!!! Kan Buna udah janji beli robot buat kalian berdua, sabar ya, nih Buna mau naik lift."
"AAAAA BUNAKU SAYANG PALING BAIK HUHU. SAYANG BUNA BANYAK-BANYAK! MUAHHHH ...."
"Buna juga sayang paling banyak. Buna matiin ya teleponnya."
Sambungan telepon akhirnya terputus.
Hingga, terjadilah pertemuan mereka akibat Raihan yang memanggilnya sebelum Rania naik lift. Raihan tak tahan untuk diam saja, apalagi saat Rania dengan berjuta kalimat cerianya merespon telepon dari David.
"Rania," ucap Raihan, membuat Rania perlahan menolehkan kepalanya ke belakang. Wanita itu jelas tahu siapa pemilik suara manis yang memanggil namanya persis seperti lima tahun yang lalu.
"Bos?"
Memang sudah garis jalannya mereka dipertemukan kembali untuk menyelesaikan masa lalu yang tak pernah memiliki jalan berujung. Setelah ini, apa yang terjadi? Apa kisah cinta lima tahun yang lalu akan dibuat kembali di masa sekarang? Atau keduanya sepakat menutup buku kisah mereka dan hanya berfokus pada Vano saja? Mengabaikan masa lalu dan terus berjalan di jalan yang berlawanan?
Lihatlah, bunga mawar ingin merekah dan mengeluarkan aromanya lebih kuat.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐡𝐞 𝐓𝐫𝐮𝐭𝐡 𝐔𝐧𝐭𝐨𝐥𝐝 | 𝐊𝐒𝐉
FanfictionSebuah kisah yang menggambarkan seorang wanita single yang memiliki jutaan kesedihan dan rahasia dari masa lalu. Apa rahasia terbesar dalam hidupnya mampu membalikkan fakta yang ada sekarang? Fakta, bahwa dirinya hanya seorang wanita parasit? "Aku p...