"Ayo putus, Se."
Gerakan Sean terhenti. Netranya mengerjap pelan, sebelum menatap sang lawan bicara tidak percaya.
"Tapi, kenapa? Kita baik-baik aja, Ja?"
Januar di depannya menghela napas. "Gue yang nggak baik-baik aja, Sean."
Sean meremat ujung bajunya lamat. Kepalanya tertunduk dengan mata yang mulai berkaca. Dia menangis.
"Please... Gue nggak mau makin nyakitin lo, Sean."
Air mata Sean kian terjatuh, menetes deras sampai lutut.
Januar di depan sana menarik napas frustasi.
"Lo tau gue nggak punya perasa–"
"Stop, Ja! Jangan dilanjutin," Sean bersua lirih. Kepalanya masih tertunduk dalam-dalam. Enggan mendongak untuk menatap sang lawan bicara.
Januar mengusap wajahnya kasar. Seumur hidup, tidak pernah satu kali pun pemuda itu ingin semua hal ini terjadi.
Dari awal, semua ini salah.
Dan dia menyesal sekarang.
"Maaf, Sean. Gue beneran nggak bisa makin nyakitin lo. Please..."
Januar terdiam melihat gadis di depannya menangis dengan kepala tertunduk. Sumpah, tidak ada satu niat pun dalam dirinya untuk membuat Sean menangis. Januar tidak pernah memiliki niat sejahat itu.
Mereka berdua ini sahabat sejak masa sekolah menengah pertama hingga kini keduanya sudah berada di ranah perkuliahan semester 3.
Awalnya, Januar tidak ingin menyakiti perasaan sang sahabat karena sudah memberanikan diri menyatakan perasaan. Jadinya ia menerima Sean sebagai pacarnya.
Namun masalah hati dan perasaan, siapa yang akan tahu?
Nyatanya, Januar sama sekali tidak memiliki perasaan yang sama dengan Sean. Januar menyukai orang lain.
Itu fakta yang apabila Sean ketahui sedari dulu, hanya akan membuat sahabatnya sakit hati.
Namun dia secara tidak sadar malah menyakiti Sean lebih jauh dengan tindakannya itu.
"Se..."
Sean mengusap air matanya sembari mendenguskan hidung. Kepalanya mendongak menatap Januar yang kini tengah memandanginya dengan tatapan bersalah.
"Oke. Ayo putus."
Januar merasa terhenyak. Meski dia yang mengajak mereka untuk mengakhiri ini pertama kali, tetap saja ada sedikit perasaan sesak di dadanya.
Namun tak ayal, Januar tetap mengangguk.
"Maaf, Sean. Maafin gue."
Sean menggeleng, "jangan minta maaf, Ja. Lo nggak salah. Gue yang salah."
Januar merasa sesak mendengar ucapan sahabatnya itu. Dia merasa seperti tertusuk ribuan paku melihat mata sembab Sean namun dipaksa menampilkan senyum.
"Nggak papa, Ja." Sean menggelengkan kepala pelan, kembali denguskan hidung sembari tertawa kecil. "Udah dong, lo nggak usah natap gue begitu. Aneh banget tau, haha!"
Januar tahu betul bahwa itu tawa palsu. Namun dia hanya dapat diam.
"Jadi, kita udah resmi selesai ya?" satu tanya keluar dari bibir Sean, selepas beberapa menit keduanya larut dalam keheningan.
Januar mengangguk kaku.
Sean tersenyum lebar.
"Ya udah, kalo gitu gue pulang dulu ya Ja? Masih ada tugas video public speaking nih yang belum gue selesaiin,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Loved You
Novela JuvenilSejak hari itu, tidak ada lagi Januar di dalam buku kehidupan Sean. Bahkan ketika mereka tetap menjadi sahabat. "Semua emang udah berakhir. Tapi gue belum rela ngelepas lo, Ja." Apa akhirnya Sean tetap tidak bisa membuka hati untuk orang lain? Seper...