Chapter 1 "Story of Alana"

19 4 0
                                    

Coment dan vote jangan lupa! And happy reading, guys! ❤

----

Semua manusia di muka bumi menginginkan kehidupan yang tenang dan bahagia, tetapi itu bukan suatu hal yang mudah, bukan? Sebab semua kehidupan di dunia ini memiliki keseimbangan. Misalnya, di setiap kesedihan ada kebahagiaan, di setiap kemiskinan ada kekayaan, di setiap kebodohan ada kepintaran, di setiap kecantikan ada kejelekan, di setiap keburukan ada kebaikan dan masih banyak hal lainnya.

Namun menurut Alana Felia Gibsen, kehidupannya tidak pernah seimbang. Mungkin pada aspek harta dan wajah ia dikatakan menang, akan tetapi di aspek lainnya tidak.

Memiliki keluarga broken home, otak yang lemah dan lambat dalam memahami pelajaran, korban bully, kisah asrama yang tidak pernah berhasil, tidak mempunyai banyak teman, payah dalam menentukan keputusan dan masih bergantung pada orang sekitar.

Alana sering kali merasa rendah, di saat orang-orang memiliki kemampuan, Alana sendiri tidak tahu memiliki kemampuan dalam bidang apa. Dalam bagian akademik Alana mengakui dia bodoh, sulit mengingat pelajaran. Jangan sekali-sekali menyuruh Alana mengingat pelajaran, karena dia akan mudah melupakannya.

"Bisa gak, sih, gak usah dipaksa. Lo menyiksa diri sendiri namanya, Lan!" tegur Bina agak kasar. Prihatin terhadap sahabatnya yang memaksa diri dalam memahami bacaan di tangannya.

"Gue mau pintar," balas Alana pelan.

"Lan, manusia gak diukur dari kepintaran. Sadar gak lo, kalau lo itu hidup karena paksaan orang lain?"

Helaan nafas Alana terdengar, gadis berumur 23 tahun itu menutup buku dan menelungkupkan wajahnya di atas meja.

"Cowok kalau udah cinta, gak akan pernah mandang keburukan pasangannya! Berapa kali gue bilang, Disen itu bukan cowok yang tepat buat lo!"

Alana menatap sahabatnya, setetes bening terjatuh dari matanya. Sesak rasanya menahan tangis!

"Dia mutusin gue, katanya gue gak pantes sama cowok pintar kayak dia," adunya.

Bina sebagai seorang sahabat tidak terima dengan perkataan Disen, cowok satu itu yang tidak pantas untuk seorang Alana! Untuk apa pintar, jika hanya bisa memanfaatkan orang lain?

Bina beranjak mendekati sang sahabat, lalu memeluk Alana dari samping. Banyak sekali orang yang mendekati Alana dikarenakan fisik dan kekayaan, setelah mengetahui keburukan Alana mereka menjauh dan menganggap Alana sampah.

"Gue ingin minta dijodohin," ucap Alana tiba-tiba.

"Jangan macem-macem, lo kira perjodohan itu mudah?!"

"Mungkin aja, Tante Bulan sama Om Ben adem ayem aja pernikahannya, gak pernah ribut!" jawab Alana seraya mengusap matanya.

"Itu lo lihat dari depannya. Coba lo pikirin, dua orang asing menikah dan hidup di dalam satu rumah yang sama. Terus lo bayangin, bagaimana cara mereka menyatukan dua kepala, dua sifat dan menyesuaikan diri. Satu lagi, mereka baru mengenal setelah menikah!"

"Tapi, kalau lo memang yakin, gak ada salahnya, sih. Toh, terpenting restu orang tua paling utama!" sambung Bina bijak.

"Makasih, Bin. Gue sayang lo," ucap Alana tulus, Bina terkekeh.

"Kenapa lo itu gak pernah gengsi?" Ya, Alana itu jujur dan mudah mengatakan sayang.

"Gue bukan lo!" ketusnya, kembali Bina terkekeh.

"Gue boleh ngasih masukan?" tanya Bina, Alana mengangguk.

"Jika lo siap untuk membina sebuah rumah tangga, gue bakal selalu dukung. Tetapi, gue mau lo tanya sama diri lo sendiri, apa lo siap akan itu? Pernikahan itu bukan hanya tentang kesenangan dan manis-manis, akan ada banyak masalah di depan sana nantinya di dalam pernikahan itu. Jadi, minta perjodohin itu saat lo benar-benar siap secara mental!" ucap Bina memberi nasihat.

Alana terdiam, merenungi setiap kalimat yang Bina sampaikan. Jujur, Alana telah lama ingin menikah, banyak alasan mengapa Alana menginginkan pernikahan, salah satunya adalah agar ada yang menemaninya dan membimbingnya.

Hidup terpisah dari kedua orang tua membuat Alana hidup di dalam kesendirian. Kedua orang tuanya memilih berpisah dan saat ini sudah memiliki keluarga masing-masing. Sang papa menikah dengan wanita asal Bandung dan menatap di sana. Sedangkan sang mama, menikah dengan seorang pria bule campuran Indonesia yang saat ini menetap di Sumatera.

Dulu sebelum bercerai, kedua orang tuanya tinggal di kota yang sama dengannya yaitu Jakarta. Alana berpikir keluarganya adalah keluarga yang paling bahagia harus terpecahkan saat sang papa mengatakan mereka telah bercerai.

Apa yang ada di benak anak berumur dua belas tahun saat itu? Orang tuanya jahat! Tentu, Alana marah pada keduanya. Sampai sekarang, Alana tidak pernah mau memilih tinggal bersama salah satunya. Alana lebih memilih tinggal bersama sang nenek, tetapi tepat dua hari sebelum ulang tahun ke tujuh belas, sang nenek meninggal.

Di umur ke tujuh belas, Alana dapat memilih jalan hidupnya, dia memutuskan tinggal sendirian di rumah mewah yang dulunya adalah rumah mereka.

"Oke, kalau begitu. Pokoknya pikirin baik-baik, Lan. Jangan lupa kabarin gue, ya?!" ucap Bina yang diangguki oleh Alana.

"Ya udah, tinggalin buku itu dan kita jalan!" ucap Bina mengambil buku bacaan Alana dan menyimpannya di dalam tas.

"Ayo!" ajak Alana menyetujui.

Mereka mengelilingi mall, sesekali memasuki store-store. Alana tipe gadis yang tidak terlalu suka berbelanja, berbanding balik dengan Bina. Buktinya, tangan Bina penuh dengan paper bag belanjaannya.

"Ih, Lan... banyak anak-anak mahasiswa, kita cari tempat makan yang lain saja, yuk!" ujar Bina ketika mereka ingin memasuki salah satu restoran Korea.

"Btw, gue juga mahasiswa, tapi mahasiswa lumutan!"

"Biar gak lumutan, dikerjain skripsinya!" balas Bina ketus, kesal karena Alana melupakan kewajibannya sebagai mahasiswa, padahal Alana hanya tinggal menyelesaikan skripsi.

"Ya, mau bagaimana? Gue belum dapet judul!" ucap Alana terkesan tak peduli.

Fyi, Alana itu masih berstatus mahasiswa di semester paling akhir. Beberapa dosen sudah menegurnya untuk segera mengajukan judul. Semua teman bahkan Bina sudah lulus, hanya Alana dan beberapa orang lagi yang terlihat belum menyelesaikan skripsi. Itu juga alasan Disen memutuskannya.

Bina pun sudah mencoba untuk membantu, tetapi Alana merasa tidak dapat mengangkat tema yang diberikan Bina, baginya terlalu susah dan takut nantinya dia berhenti di tengah jalan.

Alana sebenarnya lelah dikatai bodoh oleh pasangannya. Kenyataan yang membuat Alana sedih adalah, diputuskan oleh pasangan dengan alasan bodoh.

"Eh, Lan... gue kemaren ada nemuin judul, mungkin cocok sama lo, bentar gue kirimin!" ucap Bina, lalu mengotak-atik ponselnya.

"Nah, udah. Lo lihat nanti," ucap Bina lagi.

Inilah yang paling Alana syukuri, Bina masih peduli dan mau membantunya. Bina tidak pernah menjelekkan dirinya, Bina juga tidak pernah menjauhinya karena otak bodohnya. Jika ada yang bertanya, siapa yang paling Alana sayangi, jawabannya adalah Bina.

Walaupun mereka tidak lagi bisa menghabiskan waktu bersama, tetapi mereka selalu berkomunikasi lewat ponsel. Bina telah menikah dengan pria berdarah Amerika bernama Bryan, si pria dewasa menyebalkan bagi Alana.

Alana menyenangi Bryan, karena pria itu sekali pun tidak pernah melarang Bina berteman dengannya. Bahkan pria itu terkadang memaksa Bina untuk bertemu dengannya, seperti yang terjadi hari ini.

Alana & Arthur: After MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang