30. sebuah mimpi

53 10 1
                                    

Tala datang ke makam abangnya. Membawa cerita pada malam pertama ia di tinggalkan, rasanya sungguh sakit.

"Abang, Abang lagi ngapain di sana? Tala datang lagi nih. Abang kenapa gak datengin Tala sih tadi malam? Tala kan kangen banget sama Abang."

Tara hanya bisa memperhatikan itu dari jauh. Melihat bagaimana interaksi Tala dengan gundukan tanah yang tidak akan pernah mungkin bisa menjawabnya.

Begitu sakit, bahkan rasanya lebih sakit melihat orang yang kita sayang hancur daripada dirinya sendiri yang hancur.

Iya. Tara akui, Tara memang sudah menyayangi Tala jauh sebelum saat ini. Hanya setiap waktu ia selalu berusaha menepis perasaannya.

Ingin tidak percaya cinta karena masalalu yang sulit dihadapinya dulu. Karena orangtua yang membuatnya trauma dengan yang namanya cinta. Karena tidak ada yang tulus, semuanya hanya terlihat indah dalam kedok.

Namun Tala berhasil meluluhkan hatinya. Dengan kederhananya, ia membuat semuanya berbalik menjadi indah.

Namun Tara terlambat, ia sadar ketika keadaannya mungkin saja sudah memburuk. Andai ia sadar lebih cepat, keadaannya pasti tidak terlalu seperti ini.

Setidaknya, ia sudah bisa memeluk dan menenangkan wanita yang sekarang sedang menangisi sebuah makam. Yang mana, ada orang yang sangat ia sayanginya di balik makam itu.

"Abang, Tala harus apa?" Suaranya lirih. Hanya kalimat itu yang berhasil keluar. Karena setelannya Tala diam.

Benar-benar diam menatap kosong gundukan tanah di hadapannya.

Beberapa kali malah terlihat Tala memukuli wajahnya sendiri. Mungkin berharap semua ini hanya mimpi.

Mimpi panjang yang semoga ada ujungnya. Bukan sebuah kenyataan yang begitu menyakitkan.

"Abang, sekarang Tala sendirian. Dulu cuman Abang yang tau, sekarang siapa? Tala berjuang sendirian lagi?"

Sebuah ketakutan besar telah menyelimutinya. Harusnya Rafael tetap hidup. Harusnya Rafael tidak pergi. Harusnya juga, Rafael masih bisa selalu menemaninya.

Mungkin, makam ini akan menjadi satu-satunya tempat yang selalu Tala kunjungi.

Saat berdiri, kepalanya sedikit pusing. Namun untungnya Tala segera menyeimbangkan dirinya lagi agar tidak terjatuh. Apalagi saat melihat Tara berjalan menghampirinya.

"Mau pergi bareng saya?"

Tala tidak tau harus menjawab iya atau tidak atas ajakan itu. Namun ia memang butuh orang yang bisa menemaninya dalam kondisi seperti ini. Tidak munafik, tapi Tara memanglah orang yang ia harapkan itu.

"Kemana?"

"Tempat yang bisa membuat kita tenang tanpa melupakan."

Tala mengernyitkan keningnya. Ia tertarik dengan tempat itu. Ia memang sedang butuh-butuhnya ketenangan. Atas hal yang terjadi begitu tiba-tiba ini.

****

Tala sudah sampai di tempat itu. Tempat yang Tara bilang bisa membuat tenang tanpa melupakan.

Dataran tinggi dengan rumput yang sangat hijau. Pemandangannya adalah hutan-hutan yang terhampar luas di tempat yang terlihat seperti jurang.

Tidak terlalu jauh dari perkotaan, namun tempat ini memang lumayan tidak ada pemukiman warga di sekitarnya.

Tara mengajak Tala duduk di rumput hijau itu. Dengan pemandangannya hutan yang begitu luas.

LARA(END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang