Bab 2

3 1 2
                                    

Makan siang sudah disiapkan di atas meja. Banyak yang disiapkan karena Misa tidak benar-benar tahu apa yang disukai atau tidak disukai wanita yang dibawa Namjoon ke kediaman mereka itu. Jadi semua bahan yang ada di kulkas dia keluarkan, dia olah menjadi masakan.

Malas bertanya juga, dia menghindari interaksi dengan Gitta, wanita simpanan Namjoon. Mungkin derajatnya lebih rendah dari Misa yang berstatus istri sah Namjoon. Akan tetapi, wajahnya lebih cerah dan bahagia dibandingkan dirinya. Merasa menang karena mendapat seluruh cinta Namjoon. Bahkan tengah mengandung buah cinta mereka.

Misa terpaksa sekali menyiapkan makanan. Jujur saja, cekikan Namjoon masih begitu terasa di lehernya. Sakit. Dia takut mati. Tidak mau mati sebelum bisa membalas sakit hatinya.

"Ini makan siangnya?" Perempuan itu mendatangi Misa sembari mengamati makanan di meja satu persatu.

"Jika tidak ada yang cocok, kau bisa mencari apapun yang bisa kau makan," sahut Misa tanpa memperhatikan wanita itu.

Gitta tak langsung menjawab. Dia masih cermat mengamati makanan yang ada di meja. Sampai Misa menoleh, memperhatikan Gitta yang tampak tengah memilih makanan di meja.

"Namjoon Oppa tidak menyukainya." Gitta berkomentar. "Apa kau tidak tahu kalau Namjoon Oppa tidak suka seafood dan sejenisnya?"

Misa sampai terdiam. Dia memang tidak tahu makanan yang Namjoon suka atau yang tidak dia suka. Suaminya tidak pernah makan di rumah. Misa juga tidak pernah memasak selain untuk dirinya sendiri. Misa menyukai seafood dan hanya bahan-bahan itu yang ada di kulkas.

"Namjoon akan makan siang di rumah?" tanya Misa.

"Kau tidak tahu? Oppa akan pulang untuk makan siang bersama," sahutnya.

Misa tidak tahu dan tidak peduli. "Kalau Namjoon tidak mau makan masakanku, dia bisa mencari makanannya sendiri," balasnya.

"Kenapa kau memperlakukannya dengan sangat buruk? Dia suamimu kan?"

Apa yang Gitta katakan membuat dada Misa memburu. Marah sekali. Apa tidak bisa wanita ini menutup mulutnya saja? Atau ingin piring yang ada di tangan Misa melayang ke wajahnya?

"Memperlakukan suamiku dengan buruk?" Misa tertawa. Bagaimana wanita ini menilai Misa begitu rendah? Pun wanita ini tahu bahwa Misa adalah istrinya. Bagaimana bisa dengan tidak tahu malu, Gitta mengangkat kepalanya saat berhadapan dengan Misa? Apa dia merasa begitu tinggi?

"Gitta, right?" Misa memastikan nama wanita itu. Untuk sopan santun. Semarah apapun Misa dengan perempuan lain, dia tetap akan menghormatinya. Setidaknya bisa mengucapkan nama orang lain dengan benar.

Bukan bodoh, bukan lemah, bukan lugu atau cupu. Justru ini adalah kualitas Misa bagaimana memperlakukan sesama perempuan. Meskipun sebenarnya wanita di hadapannya ini tidak pantas dia hormati.

"Aku sebenarnya tidak mau mengomentari apa-apa tentangmu. Kau tahu aku istri sah Namjoon tapi kau berada di sini tanpa rasa bersalah."

Gitta tertegun. Dia menatap Misa dengan mimik wajah yang tampak terkejut. Sedikit tersinggung.

"Kita sama-sama perempuan. Kita berdiri di atas kaki kita sendiri yang memilih apa yang terbaik untuk diri masing-masing. Bahkan jika itu salah, perempuan bisa menanggung dosa untuk kebahagiaan diri dan yang kita cintai." Misa meletakkan piringnya. Tidak berselera makan.

"Jadi lebih baik kau jaga mulutmu itu, Gitta. Jika aku tidak baik memperlakukan suamiku, lalu bagaimana dengan dirimu? Bangga memberikan kasih sayang pada suami orang lain?"

Deg.

Misa tersenyum kemudian menyibakkan rambutnya sampai lehernya terlihat. Sengaja memperlihatkan pada wanita yang wajahnya tampak lugu itu. "Laki-laki bisa menyeramkan sekali. Kau bisa mati di tangan mereka."

Misa lantas pergi meninggalkan Gitta yang masih mematung. Pasti kaget sekali melihat bekas cekikan di leher Misa. Namun dia lebih terkejut melihat Misa masih tegak berdiri tanpa rasa takut.

"Sayang, aku pulang!" Namjoon masuk ke kediaman yang megah itu sembari membawa beberapa kantung makanan.

"Oppa..."

"Bagaimana kabarmu?" Namjoon mengecup kening Gitta. Gitta hanya mengangguk dan tersenyum.

Laki-laki itu melihat makanan di atas meja. "Wanita itu yang memasak? Tidak usah dimakan. Aku sudah membelikan makanan untuk kita."

Dan di balik tembok, Misa mendengar semuanya. Ia tersenyum kecut. Lagi-lagi dia haru memasukkan pil pahit ke mulutnya. Hanya saja, mulai saat itu, lebih banyak yang harus dia telan.

***

CATACLYSMICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang