Bab 10

1 1 0
                                    

"Menangislah yang keras. Aku tidak akan berbaik hati dan bersikap lembut padamu malam ini."

Kata-kata itu masih berdengung di telinga Misa. Masih begitu jelas meskipun diucapkan beberapa detik lalu. Mungkin bukan hanya hari ini, kata kejam Namjoon akan selalu menjadi momok di hari-hari selanjutnya. Bisa jadi setiap malam tiap kali dia hendak merebahkan diri.

Misa memiliki ingatan yang sangat baik. Jelas malam ini menjadi salah satu judul kenangan pahit di diary Misa. Sebuah dokumentasi tragis ketika dia menyerahkan diri pada Namjoon—bersedia diperkosa oleh suaminya sendiri. Menyedihkan. Mengerikan.

Tentu saja Misa mencintai Namjoon. Teramat. Tapi apa yang Namjoon perbuat malam ini bukan karena meninggikan cinta Misa. Bukan karena mendamba kerinduan yang Misa pupuk seorang diri. Melainkan hukuman, seperti yang Namjoon katakan.

Bahkan kata dustanya tidak membuat Misa lebih baik. Pernyataan cinta Namjoon hanya membuat Misa semakin berdarah. Sesak. Seperti sedang dicekik. Semesta tidak pernah mengizinkannya bernapas dengan leluasa.

Sayangnya Misa memang masih terlalu lemah. Perasaan lain yang menginginkan Namjoon dipaksa mendominasi. Toh ini yang memang Misa inginkan—Namjoon menyentuhnya.

Sudah terbayang di kepalanya naskah yang akan Misa katakan. Berpura-pura menikmati hukuman dari Namjoon. Terdengar sedikit kinky atau mungkin menyedihkan? Misa tidak akan memikirkan itu meskipun bisa jadi setelahnya dia akan menyesal. Tidak. Ini adalah kehendak Misa. Harusnya bangga bisa memancing Namjoon ke atas ranjang.

Misa tidak melawan ketika Namjoon kembali menciumnya dengan kasar. Sesekali menggigit bibir bawah Misa sampai mengeluh. Perih. Sedikit asin, mungkin ada darah yang keluar. Ciuman rasa darah. Tidak ada yang bisa menggambarkan adegan itu selain kata tragis.

Bahkan ketika Namjoon mulai menjejalkan lidahnya. Saling memagut, bertukar ludah. Memperdalam ciuman tanpa memberi Misa kesempatan untuk sekedar mengambil napas. Dadanya sampai sesak. Tapi tidak sebanding dengan sesak yang selama ini dia rasakan.

Namjoon melepaskan ciumannya. Menjauhkan diri sebentar. Mengambil sesuatu yang ada di kantung celananya.

Misa ikut bangkit. Melihatnya. Rasanya ngilu. Bahkan dengan istrinya sendiri memakai pengaman. Oh kenapa? Tentu saja harus begitu. Namjoon tidak menginginkan benihnya di dalam rahim Misa.

"Berikan padaku, biar aku yang memasangnya," ucap Misa.

Namjoon terdiam sejenak dan menatap Misa tajam lalu melempar senyum sinisnya. Merendahkan. "Taehyung yang mengajarkannya padamu?" tembak Namjoon.

Misa tahu Namjoon tengah menyindirnya. Melampiaskan kemarahan lebih tepatnya karena memang itulah agenda malam ini. Menghukum Misa.

Bukankah lebih baik Misa memancingnya? Biar Namjoon puas menghukumnya. Misa mungkin sudah sedikit mati rasa. Ingin memupuk luka baru di saat bagian yang sebelumnya sudah mulai membusuk.

"Tidak. Dia tidak mengajarkannya padaku karena dia tidak memakainya."

Namjoon kembali di buat diam. Rahangnya mengeras. Tidak ada senyum remeh lagi.

Misa mengambil bungkusan itu dari tangan Namjoon. Tanpa disuruh, Misa menurunkan zipper pria itu. Sang suami masih diam.

Misa mengeluarkannya. Terkejut dengan ukurannya. Sudah tegang. Sudah keras. Mungkinkah Namjoon terangsang karenanya? Tidak. Itu adalah respon biologis yang normal. Meskipun dengan orang yang tidak dicintai, fisiologi tubuh tetap akan merespon rangsangan yang didapat.

Berusaha sedemikian rupa untuk tenang. Bahkan sampai susah payah menelan ludahnya. Perlahan Misa mengusapnya. Mengurut sejenak.

"Ingin aku memakaikannya dengan tangan atau dengan mulutku?" tawar Misa.

"Shit!" Namjoon mengumpat. Merebut alat kontrasepsi itu dan membuangnya. Misa sampai bingung sendiri.

"Kenapa kau buang?" tanya Misa. Terdengar retoris tapi Misa memang tidak mengerti dengan sikap Namjoon yang demikian. Tidak mungkin Namjoon melakukannya tanpa—

"Aku tidak akan memakainya."

Deg.

Misa sampai bungkam. Mencerna semua perkataan Namjoon yang sebenarnya sangat jelas—Namjoon tidak mau menggunakan pengaman—tapi terasa begitu rumit di kepala Misa. Banyak variabel yang menyimpang dengan apa yang keluar dari mulut Namjoon.

"Tidak takut jika akhirnya aku hamil?" Misa kembali mengajukan pertanyaan.

"Kau tidak takut hamil anak orang lain?" Namjoon balas bertanya. "Ah ... karena dia Taehyung, tentu saja kau tidak takut. Itu akan menguntungkanmu. Begitu kan?" imbuh Namjoon.

Misa tersenyum. "Tidak. Hamil anakmu atau Taehyung sama-sama akan membunuhku pada akhirnya. Benar kan? Kau pikir aku akan membiarkan diriku mati konyol di tangan kalian berdua?"

Tawa terdengar. Namjoon menertawai Misa. Baginya perkataan wanita di depannya ini begitu lucu."Kalau kamu memang takut mati konyol, kenapa melakukan semua ini, Misa? Atau kau memang ingin mati? Aku bisa membunuhmu tanpa kau harus melibatkan Taehyung."

Itu jelas sebuah ancaman namun terdengar seperti remaja yang tengah cemburu. Misa pening sendiri dengan pikiran-pikirannya sendiri. Tidak ada yang tepat di sasaran. Semua yang dia hadapi berubah menjadi abu-abu. Tidak jelas. Kadang harus memilih sendiri untuk membuatnya hitam atau putih.

Misa berusaha membuatnya putih. Sayangnya tidak berhasil. Oleh karena itu dia memilih opsi sebaliknya. Membuat semuanya hitam. Legam.

"Aku sudah bilang aku tidak mau mati konyol di tangan kalian berdua," balas Misa. Ia kembali menyentuh Namjoon. Menunduk dan memberikan kecupan di puncak milik Namjoon. "Karena ketika aku mati, kalian juga akan ikut mati bersamaku. Kau tahu Namjoon? Aku adalah bom waktumu dan sekarang aku menjadi bom waktu untuk Taehyung juga," imbuhnya.

***

CATACLYSMICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang