Eureka! | Chapter 2

32 4 0
                                    


  ---------------------------

"Selama semuanya terjadi atas izin Tuhan, tidak ada yang namanya kebetulan. Beberapa kejadian bahkan seringkali menyimpan alasan yang mengejutkan"

- Radeva Khandra Ramadhan

---------------------------

***

"Yasmine"???

Ucap laki-laki di hadapanku.

Ya Tuhan.. 

Harus banget ini ketemu bos di hari minggu?? Ini Kenapa  sekarang dia harus naik busway padahal biasanya  tiap hari ke kantor naik mobil? Apa jangan-jangan naik busway sekarang termasuk bentuk healing bagi orang kaya?? Atau mungkin, Pak Rama naik busway dalam rangka mengurangi emisi gas CO2 demi menyelamatkan bumi?? 

"Eh, Pak Rama. Naik busway, Pak?"

Oh please Yasmine...

Apa tidak ada kalimat yang lebih basi daripada itu, Yas? 

Satu detik setelah kalimat itu meluncur dari mulutku, aku langsung menyadari betapa basinya pertanyaan retoris yang kulontarkan. Manusia yang ditanya justru hanya terkekeh. Kelihatan banget basa-basinya?? 

Pak Rama kini terlihat memajukan posisi duduknya di kursi seberang untuk menjawab pertanyaanku. Bermaksud memangkas jarak di antara kami agar suaranya tidak terlalu mengganggu penumpang yang lain.

"Ya kamu liat saya disini berarti saya naik busway, Yas. Ga mungkin naik pelaminan". Jawabnya disertai cengiran tak berdosa.

Haah?? Gimana? Ini si Bapak lagi ngejokes ya??

"Hahaha iya juga ya, Pak". Respon sopan dan standar untuk menjawab jokes bapak-bapak di hadapanku ini, demi keselamatan gaji tentu saja. Tidak lupa dengan mata yang sedikit menyipit agar lebih meyakinkan kalau aku benar-benar tertawa

Kami kemudian kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing. Aku  kembali fokus dengan video-video kucing lucu yang kulihat di instagram. Pak Rama??? Aku tidak mau tahu ia sedang apa. Keberadaannya saja membuatku tidak nyaman mengingat bagaimana sifat 'ajaibnya' di kantor.

Tidak ada obrolan lebih lanjut di antara kami sebelum akhirnya Pak Rama kembali mengucapkan sesuatu.

"Kamu pakai masker juga tetep keliatan galaknya ya, Yas". 

Aku berusaha pura-pura tidak mendengar kalimat Pak Rama, sampai seorang petugas on board busway yang kami tumpangi terdengar menyerukan halte yang menjadi tujuan pemberhentian terakhirku. Alhamdulillah.. Aku bersyukur dalam hati. Akhirnya ada alasan untuk lari dari situasi ini. Situasi awkward ini.

Aku berdiri, hendak pamit kepada Pak Rama. Namun di luar dugaanku,  si bos kini malah ikut berdiri. 

"Saya turun disini juga".                                                                                                                                               

 Seolah bisa membaca kebingungan di kepalaku, Pak Rama menjelaskan alasannya ikut berdiri. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil ber-oh ria. Lalu mengekorinya menuruni busway bersama dengan beberapa penumpang lainnya. Hujan sudah benar-benar reda ketika kami turun dari busway. Hanya menyisakan aroma aspal yang sedikit amis dengan angin yang cukup menggigit kulit. 

.

Kami kini berjalan beriringan menyusuri jembatan penyeberangan. Tentu saja dengan Pak Rama yang berjalan di depan dan aku di belakang. Jangan lupa, atasan selalu di depan dan selalu benar. Tidak peduli sedang di kantor atau di luar kantor. Eh..atau seharusnya tidak begitu ya?? Tapi ini Pak Rama, jadi sepertinya memang paling aman begitu saja. 

Hening sempat menemani perjalanan kami sampai akhirnya aku memutuskan untuk menanyakan sesuatu yang sejak tadi kutahan. Berusaha menjawab rasa penasaranku karena kehadirannya bak seleb Korea yang sedang menyamar naik busway dan kini malah berjalan mengikutiku.

"Rumah Bapak di sekitar sini juga?". Pak Rama menoleh ke arahku. Langkahnya melambat.

"Enggak sih. Saya cuma pengen keliling aja, liat-liat suasana malam di daerah sini sambil jalan kaki. Memang rumah kamu sendiri dimana?"

 Aku mengangguk-angguk mendengar jawabannya. Pria itu berjalan santai sambil memasukkan tangannya ke dalam kantung celana jeansnya. Gerakan santai yang entah kenapa tiba-tiba saja semakin membuat pria itu terlihat tidak manusiawi. 

"Apartemen saya deket sini sih Pak. Ini bentar lagi juga sampai kok. Itu gedungnya aja bisa keliatan dari sini Pak".  Jawabku sambil menunjuk bangunan apartemen tidak jauh dari posisi kami berjalan. Apartemen tempat tinggalku memang dekat dari halte. Mungkin hanya butuh sekitar lima menit berjalan kaki. Jadi tidak heran jika banyak budak korporat sepertiku yang kemudian memilih apartemen itu sebagai hunian. Karena selain dekat dengan halte, lokasinya juga dekat dengan berbagai kantor besar di Ibukota. Harganya juga tidak terlalu mencekik layaknya apartemen lainnya. 

Tidak sampai menguras habis gajiku yang bekerja di salah satu start up  di Jakarta, dimana seorang Radeva Khandra Ramadhan adalah big boss-nya.

"Oh kamu tinggal di apartemen?? Sendiri, Yas?" Tanya Pak Rama yang terdengar heran.  

Kalo sendiri kenapa Pak? Mau mampir??.  Ucapku dalam hati. Tidak berani menyampaikan kalimat tidak tahu diri di kepalaku. 

"Iya Pak. Saya disini kan juga ngerantau jadi ya tinggalnya sendiri". Aku merapatkan sweater rajut yang kupakai. Entah kenapa udara Jakarta malam ini terasa lebih dingin daripada malam-malam sebelumnya. 

"Saya kira kamu tinggal di rumah sama orang tua kamu, Yas". 

"Hehe.. Biar mandiri Pak" Jawabku sambil tersenyum sopan.

Kami sudah sampai di depan bangunan apartemen tempat tinggalku saat Pak Rama terlihat ingin mengatakan sesuatu. Tidak ingin pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak ingin kujawab bermunculan, aku buru-buru pamit dari hadapan Pak Rama. 

"Kalo gitu saya pamit ya Pak. Bapak hati-hati di jalan. Makasih juga udah nemenin saya jalan kaki sampe apartemen. Selamat malam Pak". 

Pak Rama menatapku lalu beralih menatap gedung di hadapan kami. Entah kenapa, aku justru  mendengarnya sedang menghela napas.

"Sama-sama Yas. Saya juga emang udah biasa jalan kaki random keliling Jakarta malam-malam kok. Kalo gitu selamat istirahat, Yas.'' Balas Pak Rama. 

Setelah mendengar ucapannya, aku berlalu menuju apartemen meninggalkan Pak Rama setelah tersenyum sopan dan sedikit menundukkan kepala. 

Namun, ketika sudah sampai di ujung lobi dan bermaksud naik lift, aku menghentikan langkahku dan sengaja melihat  ke arah dinding kaca apartemen. Pria bertopi itu ternyata masih setia berdiri di luar sana. Ia menghadap jalan raya yang tidak terlalu ramai oleh kendaraan bermotor dengan kedua tangan di saku celana. 

Aku menggelengkan kepalaku, heran. Si bos sebenarnya sedang apa sih?? Aku lalu kembali melanjutkan langkahku untuk memasuki lift. Berusaha mengabaikan kelakuan membingungkan atasanku itu.


*** 

Hadudu yuk vote commentnya chingu biar aku makin semangat buat update hihiw..

Jangan lupa bersyukur ya hari ini!

Salam cinta, teman halu..


"EUREKA!!"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang