Eureka! |Chapter 3

16 1 0
                                    


---------------------------

   "Terima kasih karena terus berusaha untuk baik-baik saja 

sampai hari ini"

-Rakha Arshady Mahendra

---------------------------

***

Akibat meeting yang berakhir lebih lambat dari waktu yang seharusnya, hari ini aku harus ikhlas melewatkan makan siangku. Dan kini, berakhirlah manusia yang sedang kelaparan setengah hidup ini di sebuah cafe di saat jam-jam pulang kantor. Hari ini rasa lapar yang juga ikut dirasakan cacing-cacing dalam perutku sudah tidak bisa ditolerir. Maklum, pagi tadi aku hanya sempat sarapan segelas energan. Entah apakah minum satu gelas energan bisa disebut sarapan atau tidak. Karena katanya sarapan itu dimakan, bukan diminum. Lho.....kenapa jadi iklan????

Beruntung Anomali cafe, sebuah kafe yang tak jauh dari kantor yang biasanya ramai, hari ini sedikit lebih lengang. Lagipula orang-orang mungkin lebih memilih cepat-cepat pulang ke rumah mereka masing-masing. Memilih segera melepas penat di rumah dengan bertemu keluarga, atau bagi anak rantau yang tinggal sendiri alias single, kasur menjadi tujuan utama.

 Eh, tapi mungkin saja kan ada manusia yang lebih memilih membunuh waktu dan rehat sejenak di kafe daripada memilih pulang ke rumah???

Sayang sekali, meja di pojok ruangan kafe ini sudah dihuni oleh dua pria dengan penampilan yang sangat kontras satu sama lain. Seorang pria dengan hidung bangir, wajah setengah bule dan berkulit cerah terlihat mengenakan kemeja putihyang dilipat sampai siku dan celana kain berwarna hitam dengan sepatu pantofel berwarna senada.

Sementara pria di hadapannya, yang terlihat lebih muda dan dengan kulit yang sama cerahnya dan wajah yang kearab-araban, mengenakan pakaian yang lebih casual. Kaos putih bergaris dilapisi jaket berwarna hijau tua dan celana blue jeans serta topi putih yang menutupi kepalanya. 

Dua pria itu terdengar sedang membicarakan sesuatu yang cukup serius

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua pria itu terdengar sedang membicarakan sesuatu yang cukup serius. 

Bukan bukan.. Aku tidak sedang menguping, jarak meja kami yang berdekatan dan suasana kafe yang tidak seriuh biasanya memungkinkanku mendengar dengan jelas sepotong pembicaraan dua manusia di sampingku itu. 

"Yaa kita juga kudu hati-hati juga sih bro. Justru perasaan semacam itu tuh justru jauh lebih berbahaya. Perasaan merasa kita paling benar daripada orang lain. Lo tau ga, perasaan merasa diri lebih suci ketika melihat kesalahan orang lain, katanya lebih menjijikkan daripada perbuatan salah dan dosa itu sendiri..

Ini juga kemarin gue abis baca dari salah satu tulisan sih. Insightful banget pokoknya. Setelah dipikir-pikir, ya ternyata benar juga. Kita emang harus lebih hati-hati dan sering-sering menilik kembali ke hati kita sendiri. Jangan-jangan selama ini, bibit-bibit kesombongan perlahan udah mulai tumbuh di hati kita".

Aku mengamini dalam hati. Manusia seringnya memang begitu, sibuk mengoreksi dan mengomentari kealpaan orang lain. Alih-alih mengingatkan, malah justru menghakimi. Atau yang paling buruk, berakhir dengan menertawakan.

"Waah..iya juga ya Bang. Gila... serem banget sih perasaan kek gitu. Bikin hati suka kebas sama kesalahan diri sendiri dan peka luar biasa sama kesalahan orang lain. Kudu banyak istighfar dan mikir yang bener lagi nih gue". Respon pria bertopi.

"Yaa saling ngingetin lagi aja Dad. Hal lain yang juga gue takutin adalah, perasaan yang menganggap bahwa semua pencapaian dan semua yang gue punya selama ini murni karena gue sendiri. Seolah-olah karena diri, apa-apa diri. Pokoknya segala karena diri. Jatuhnya malah terlalu mengandalkan diri sendiri". 

Ujar pria kemeja putih yang terlihat sedang menyendok satu suapan kue di hadapannya.

"Emang kenapa Bang? Ya ga salah juga ga sih kita ngandelin diri sendiri. Siapa lagi emang yang bisa diandelin selain diri sendiri?". Aku menganggukkan kepala. Setuju dengan dengan pria bertopi putih itu.

"Nah itu dia. Kita jadinya tanpa sadar kayak bersandar sama dahan rapuh. Kita ini hamba, manusia. Lemah. Gabisa terus-terusan menganggap apa-apa yang kita capai karena diri. Kayak gue dulu gitu banget tuh. Sekalinya kecewa bakalan menyalahkan diri terus-terusan.

 Mengandalkan diri karena merasa punya otak yang cerdas, banyak harta, populer, atau bahkan karena good looking itu adalah bentuk tidak tahu diri yang sebenarnya. Kita lupa bahwa ada Tuhan yang punya kuasa penuh atas hasil dan segala yang kita punya. Kita tuh ya, sering banget lupa kalo yang seharusnya pantas diandalkan dan jadi tempat bergantung itu ya cuma  Allah." 

Pria dengan kemeja putih itu berbicara dengan wajah yang lebih serius daripada sebelumnya, namun nada bicaranya tetap terdengar tenang.

"Oh.. i see. Persaaan semacam itu menggambarkan kalau manusia udah melampaui batas ya Bang. Udah tahu sendirinya rapuh, malah menjadikan diri sendiri sebagai sandaran". Komentar pria bertopi. Sementara aku masih berusaha mencerna kalimat demi kalimat berat yang disampaikan pria kemeja putih itu.

"Bener. Pokoknya kita harus terus berupaya mengingatkan diri biar ga terjerumus ke dalam perasaan semacam itu. Banyak-banyak istighfar dan berkontemplasi biar ga halusinasi." Ucap pria kemeja putih. Pria bertopi menganggukkan kepalanya, sedetik kemudian wajahnya berubah menjadi lebih serius.

"Btw bang, ini maaf ya kalo kesannya agak out of topic. Abang ga mau liat CV taaruf salah satu akhwat nih Bang? Ini banyak banget yang titip nih. Pada mau memaksakan diri katanya jadi Ibu dari anak Abang". Terdengar kekehan dari pria bertopi. Sementara pria yang dipanggil Abang hanya menanggapi dengan tertawa.

"Nanti dulu, Dad. Mau fokus ngerawat si kecil dulu". 

Aku nyaris menyemburkan macchiato yang baru saja kuseruput setelah mendengar kalimat yang ia lontarkan. Sebentar.. ini si Abang-abang ini lagi ditawarin nambah istri gitu? Maksudnya gimana sih??

"Oke deh Bang. Ini kayaknya para ukhti harus bersabar menunggu ya Bang".

"Angkot kali Dad ditungguin. Hahaha. Eh, kayaknya gue harus balik nih. Si Naira udah nyariin" Terdengar nada notifikasi WhatsApp dari meja seberang. Pria kemeja putih itu terlihat tengah mengecek jam tangan yang melingkar di tangannya.

"Oh.. kalo gitu bareng aja Bang. Lagi ga bawa mobil kan? Kebetulan gue bawa motor hari ini. Naik motor lebih sat set sat set nerobos macet Bang". Ujar pria bertopi putih menawarkan sambil menggerakkan tangan seolah tengah meliuk-liuk di tengah kemacetan.

"Boleh tuh. Lumayan bisa menghemat ongkos. Hahaha" Kelakar si pria berkacamata.

"Yaelah Bang, lo mah mau naik jet pribadi juga mampu kali. Pake acara menghemat ongkos".

Tawa keduanya kini terdengar bersamaan. Kedua pria itu lalu beranjak dari tempat duduk. Berjalan menuju kasir sebelum akhirnya menghilang di balik pintu kafe yang ternyata makin sepi. Sementara aku, masih betah duduk di kafe ini. Menghabiskan sepiring hainan chicken rice dan segelas macchiato sambil kembali memikirkan pembicaraan dua pria asing yang kudengar tadi. 

****





"EUREKA!!"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang