8

9 2 0
                                    

Mir memasuki rumah dengan wajah yang tidak bersahabat sama sekali. Ia memasuki ruang tengah dimana ayah dan ibunya sedang berkumpul dan melihat acara televisi.

"Ada apa Mir?" tanya nyonya Hans.

"Usir Byla dari rumah ini!!" jawab Mir dengan nada tinggi, "Usir dia dari desa ini!!! Aku tidak mau melihat wajahnya lagi!!"

"Apa – apaan kau ini?" tanya tuan Hans yang tidak mengerti dengan sikap anak laki – lakinya, "Kita tidak mungkin melakukan hal tersebut. Aku sudah berjanji untuk merawatnya."

"Ayah pilih Byla atau aku?" tanya Mir, "Kalau ayah tidak bisa mengusir Byla aku yang akan pergi dari rumah ini!!"

"Mir!!" bentak ibunya, mendekati Mir dan memegangi tangannya meski ditepis kembali, "Kalau kau ada masalah dengan Byla katakan! Sejak dulu kau tidak pernah suka dia disini. Sebenarnya ada apa? Katakan pada ayah dan ibu."

"Arghh!!" Mir mengerang putus asa dan menendang meja yang ada didepannya, ia mengacak – acak rambutnya dan menjatuhkan tas yang ia bawa didepan ayahnya.

Tuan Hans mengambil tas tersebut dan membuka buku gambar milik Mir. Ia tersenyum melihat pada bagian tengah halaman.

"Ibu, keluarlah. Aku akan bicara dengan Mir," pinta tuan Hans.

"Tapi.." nyonya Hans melihat khawatir pada Mir yang terlihat sangat putus asa.

"Buatkan dia cokelat panas untuk menenangkan pikirannya," tuan Hans menepuk punggung istrinya dan mengantarkannya ke pintu.

Nyonya Hans mengangguk dan pergi keluar.

Mir melihat ayahnya duduk kembali ke sofa dan membuka buku gambar itu tepat dibagian tengahnya.

"Sekarang aku tahu, kenapa kau tidak mau Byla dimasukkan dalam daftar keluarga," tuan Hans tersenyum, "Kau takut tidak bisa memiliki Byla bukan?"

Mir terdiam.

"Kau mencintai Byla atau terobsesi padanya?" tanya tuan Hans, "Jawab aku dengan hatimu yang paling dalam."

"Aku mencintainya," jawab Mir.

"Lalu, apakah rasa cintamu hilang ketika kau tidak memilikinya sebagai kekasih?" tanya tuan Hans lagi, "Bukankah selama ini kau tidak pernah sekalipun memilikinya. Apakah rasa cintamu hilang?"

Mir mendongakkan wajahnya memandang pada wajah ayahnya yang mulai menua.

"Kau harus bisa membedakan, antara mencintai, terobsesi dengan nafsu," lanjut tuan Hans, "Mencintai tidak harus memiliki tapi terobsesi dan nafsu harus memiliki. Kalau kau yakin, Byla juga mencintaimu, tunggulah. Tuhan tahu yang terbaik untuk hambanya dan aku yakin akan ada akhir yang indah untuk seseorang yang bersabar."

Mir mengangguk dengan airmata yang mengalir dari kelopak matanya. Ia yakin didalam hatinya, jika ia mencintai Byla dan tidak terobsesi kepadanya. Ia bukan laki – laki bodoh yang tidak bisa membedakan kedua hal yang berbeda. Mir merasakan tangan kekar ayahnya, mengelus punggungnya dan memeluknya.

"Nak, didunia ini ada banyak hal yang jauh lebih penting untuk kau pikirkan. Jangan sampai cinta membuat jalanmu yang lain tersedat," kata tuan Hans, "Kau harus tetap maju dan pasti akan ada jalan."

Mir mengangguk, ini pertama kalinya dalam hidup Mir menuruti apa kata ayahnya tanpa banyak tanya. Karena memang mulutnya tidak bisa lagi mengajukan pertanyaan apapun, sebab ia mengisak dengan keras dipelukan ayahnya.

@@@@@

Byla berjalan mengendap – endap ketika memasuki rumah keluarga Hans yang sudah sepi dan gelap gulita. Ia merasa seperti pencuri melakukan hal ini, tapi apa boleh buat. Ia sudah membuat Mir kecewa dan marah. Jika tuan dan nyonya Hans tahu apa yang terjadi pasti mereka juga akan membenci Byla.

Lampu tiba – tiba menyala terang, Byla yang hendak menaiki tangga berhenti dan melihat nyonya Hans berdiri disamping saklar dengan tangan berkacak pinggang.

"Darimana kau?" tanya nyonya Hans dengan nada galak yang tidak biasanya.

"Aku.... tadi... itu..." Byla terbata – bata tidak tahu harus menjelaskan apa.

Nyonya Hans mendekat dan memberi kode pada Byla untuk mengikutinya.

Byla mengangguk dan mengikuti langkah nyonya Hans yang ternyata menuju dapur. Tanpa banyak bicara Nyonya Hans mengambil sebuah cangkir dan menuangkan teh hangat dicangkir yang kemudian disodorkan pada Byla.

"Pertama kalinya dalam hidupku," kata nyonya Hans tersenyum memandangi Byla, "Melihat Mir, anak laki – lakiku begitu marah. Aku takut dan juga bingung. Apalagi aku tahu, ternyata kaulah yang menyebabkannya."

Mata bulat Byla memandang pada nyonya Hans yang telah menghilangkan senyum diwajahnya yang masih tetap kelihatan cantik meski usianya hampir memasuki kepala lima.

"Maafkan aku," kata Byla.

"Katakan perasaanmu secara jujur padaku," pinta nyonya Hans, "Atau berjanjilah padaku untuk mencintai Mir dan selalu bersamanya."

Byla menggelengkan kepalanya dengan lemah.

"Kenapa? Kenapa tidak bisa!!" bentak nyonya Hans, "Apa kau sama sekali tidak mau membalas kebaikan kami."

"Ibu ingin aku menjawab jujur," kata Byla.

Nyonya Hans memasang wajah marah dan tidak mau menatap pada Byla.

"Aku mencintai Mir. Tapi aku tidak ingin memilikinya, jika itu akan menyakitinya," kata Byla memainkan sendok yang ada didepannya, "Aku mengorbankan kebebasanku demi cinta yang tidak akan pernah busuk meski kami melewati seluruh waktu didunia ini."

"Aku tidak percaya," balas nyonya Hans.

"Ibu sudah hidup denganku selama ini. Kebohongan atau kejujuran ibu bisa menilainya," kata Byla.

Byla menghela nafas panjang dan kemudian meminum teh dihadapannya dalam sekali teguk.

"Aku tahu, ibu percaya padaku," kata Byla sesudah meletakkan gelasnya, "Tapi jika tidak percaya. Aku akan pergi dari hadapanmu untuk selamanya."

Byla melihat nyonya Hans yang kembali memandangnya, ia melemparkan senyumnya, dan mungkin itulah yang membuat nyonya Hans bangkit dari kursinya dan memeluk Byla.

"Aku hanya takut, kehilangan kalian berdua," kata nyonya Hans.

"Kami akan baik – baik saja," Byla mengelus tangan nyonya Hans yang memeluknya dari belakang, "Aku berjanji."

It Is LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang