Prolog [مقدمة]

91 14 0
                                    

•اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ•

“Saya suka sholawat, kalian jangan lupa baca sholawat juga.”

Rekomendasi lagu hadrah : Nurul Musthofa - نورول مصطفى - Az Zahir

MOHON JANGAN DISKIP ⚠️

Persetujuan saya dan pembaca Gadis Lupa Jalan [Squel] sebagai berikut:

1.) Ada yang ikut golongan Nahdlatul Ulama? Jika ada, selamat kalian beruntung. Karena di kisah ini saya akan beberapa kali membawa Nahdlatul Ulama. Kita bisa belajar bersama. Yang sudah tahu, bisa perbaiki tulisan saya apabila ada kesalahan. Mari diskusi dengan saya. Yang belum tahu, kalian jadi tahu apa saja sih yang ada di Nahdlatul Ulama.

2.) Untuk yang diluar golongan Nahdlatul Ulama, setuju ya kalau kita tidak akan berdebat? Meski agama kita sama yaitu islam, tetapi tidak menutup kemungkinan kalau pendapat kita akan berbeda. Seperti manhaj salaf, Muhammadiyah, LDII atau golongan yang lain. Bukan kalian tidak beruntung, hanya saja mungkin kalian agak keberatan membaca kisah ini apalagi kalau soal Nahdlatul Ulama.

3.) Saya tidak akan membeda-bedakan semua golongan. Mau NU, mau Muhammadiyah, manhaj salaf, kita sama kan? Kita sama-sama mengakui bahwa Tuhan hanya Allah, dan Muhammad adalah rasul terakhir sebagai utusan-Nya. Kita islam. Agama terakhir yang dibawa Nabiyullah Muhammad.

4.) “Kak, kenapa harus bawa-bawa NU? Yang biasa-biasa aja kenapa?” Jawabannya simpel, saya mencintai semua ilmu di NU. Biarkan ilmu yang saya miliki abadi di sebuah karya.

5.) Jika ada yang protes mengapa saya banyak membahas Nahdlatul Ulama di tengah cerita, mohon maaf saya tidak akan meladeni. Sudah saya jelaskan di sini. Pun telah saya peringati.

6.) Gadis Lipa Jalan [Squel] merupakan kelanjutan dari kisah Zaka dan Zulfa. Berhubung di Rintik Rindu sudah saya hapus sebagai part, maka bagi pembaca baru tidak usah bingung, saya akan kuak ulang—meskipun sedikit, agar kalian paham.

7.) Terima kasih telah membaca hingga akhir persetujuan, saya anggap kita telah sepakat.

•P r o l o g u e•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•P r o l o g u e•

    “Rul, pie iki?”¹

Mboh, nyong ra ngerti, lah. Koe bae ngonoh! Nyong moh pokoke.”²

Satu dari dua pria yang sama-sama berpeci miring dan sarung setinggi betis itu sebenarnya sedang panik bukan main. Tangannya gatal ingin mengetok lebih keras pintu rumah sang kiai agar bisa segera mengabarkan berita buruk. Namun, adabnya lebih ia pentingkan daripada logika yang pikirannya sebut tadi. Sungguh, membangunkan abah kiai di waktu istirahatnya belum pernah ia lakukan selama menjadi penjaga gerbang di pondok Al-Munawwarah.

“Gus. Ning.” Aceng semakin panik. Terlebih cahaya yang menyorot tepat jendela ndalem membuatnya nekad menggedor pintu. Refleks ia memukul kepala Irul yang taunya cuma beres. Lihat, ia sendiri yang kebakaran jenggot, sedangkan Irul tetap tenang di dalam sarung kucelnya.

“Wa'alaikumussalam.” Suara berat dari dalam yang lantas disusul lampu ruang tamu hidup.

Gus Abil membuka pintu. Daun pintu yang digesernya berbunyi ketika bergesekan dengan keramik teras.

“Aceng? Irul? Ada apa?” tanya Gus Abil sembari mengucek mata. Kemudian terdiam menatap adiknya keluar dari mobil pembawa jenazah yang terparkir di halaman ndalem.

“Abyan?”

“Lho, kok Gus Abyan?” Aceng terkejut. Ia tak melihat Abyan di dalam mobil tadi. Akibatnya langsung panik dan sempat mengancam sopir ambulan kalau saja tetap menerobos pos satpam.

Tidak cuma Aceng, Gus Abil sampai tersandung keset serat kelapa saat bergegas ke arah sang adik.

“Assalamu'alikum, Bang.” Putra Abbi Zaka itu tampak tenang. Mengecup tangan Gus Abil, belum menanggapi pertanyaan siapa pun.

“Kamu apa-apaan pulang pakai ambulan? Ada apa? Siapa yang--” Napas Gus Abil tercekat. Pikiran negatif sudah menguasai dahulu, paling tidak ia ingin menampar pipi Abyan dengan keras keras. Main-main sama kematian.

“Itu mayat siapa?!”

“Tenang, Bang. Biar aku jelaskan.”

“Cepat!” Gus Abil sampai meninggikan suaranya.

Abyan berdehem. “Gadis ini izinkan tinggal di sini sementara waktu.”

Suasana semakin tak karuan saat gadis terbaring di brankar dikeluarkan oleh petugas rumah sakit. Wajah putih pucatnya terkena cahaya lampu teras, berhenti tepat di depan Gus Abil.

Halaman tiba-tiba ramai oleh pengurus-pengurus pondok. Beberapa santri putra yang malam ini tertidur di musala pun ikut hadir sebab suara Aceng sampai mengusik tidur mereka. Ustadz Jamal, Lurah pondok berlari sambil menggulung sarung. Riyan dari belakang ndalem berjalan cepat dengan kaus oblong.

Pondok Pesantren Al-Munawwarah heboh seketika.

“Tolong, tolong semua tenang dulu,” ujar Ustadz Jammal. Ia mengerti akan tatapan Gus Abil padanya.

Begitu semua diam, Abyan mengarahkan petugas rumah sakit agar membawa gadis itu ke dalam.

“Jangan dulu, Abyan. Jelaskan pada kami semua dulu,” perintah Gus Abil. Biar semua orang yang di sana mendapat kejelasan dan tidak terjadi salah paham.

“Dia ga—ramai banget ada apa, Bil?”

“Ramai banget ada apa, Bil?”

Sialnya penjelasan Abyan bertabrakan dengan suara Ummi Zulfa. Atensi mereka terbagi antara suara penjelas dan penanya. Alhasil sebelum mendapatkan jawaban, wajah mereka sudah kebingungan dulu.

••••

¹“Rul, gimana ini?”

² “Nggak tau, aku nggak tau, lah. Kamu aja sana! Aku nggak mau pokoknya.”

”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Gadis Lupa Jalan [Sekuel]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang