Episode (004)

6 1 0
                                    

Hari sudah menunjukan pagi lagi, sesuai dugaan Timur kemarin ... bahwasanya sekarang pasti terdengar berita tentang terbakarnya rumah mereka.

RadarTV kini menyala di layar TV panti asuhan yang cukup kecil. Dengan segelas air yang masih angat yang Timur bawa dari dapur, yang dekat dengan kamarnya itu. Ia memerhatikan berita yang akan, ditampilkan di TV itu; ternyata benar.

Berita pagi ini, sungguh menampilkan rumah mereka yang gosong. Tunggu, tunggu ... di berita itu mengungkapkan bahwa ada satu korban seorang lelaki, dengan dua tusukan belati dibagian perut. Diduga akan melawan ... namun, penjahat menggunakan senjata tajam. Serta seluruh anggota tubuh yang hangus terbakar, dan sudah dipastikan bahwa korban tersebut ... meninggal dunia.

Tak kuasa, melihat sepatu yang dikenakan korban ... air mata keluar tanpa pamit sang pemiliknya. Sepatu yang sering ia rapikan, kala beres-beres rumah. Sepatu yang sering ia semir, saat pemiliknya sedang sibuk makan dan buru-buru akan pergi ke kantor. Sepatu yang ... terakhir kali dilihatnya kemarin lusa, yang masih bertengker diantara deretan sepatu yang lain di dalam rak sepatu.

"Kak ...." isakan tangis Fajar, kini membuncah dalam pelukan Timur yang menatap kosong arah layar. "Kak, Ayah kak...." setiap kata yang dikeluarkan dari mulutnya seolah menyihir dirinya untuk terus mengeluarkan air mata.

Tidak, tidak boleh cengeng seperti ini. Timur adalah tameng bagi Fajar kini, penguat bagi adiknya, dan penolong yang tidak boleh terlihat lemah. Dia menyusut air matanya, dan kembali menenangkan Fajar, seperti malam itu.

"Tidak, lu nggak boleh berpikir yang aneh-aneh ... jasad itu belum tentu Ayah. Ingat, lu masih punya gue yang akan tetap memnjadi tempatnya pulang. Ingat itu, dan nggak boleh nangis, lu itu cowok ... harus tegar." Timur mengatakan dengan suara yang tersenggal-senggal karena menahannya tangisan. Fajar memeluk erat Timur.

Mereka tidak sadar, bahwa ada orang lain yang mendengarkan keluh kesah mereka berdua, di ambang pintu yang terbuka.

'Apa yang mereka sembunyikan, sebenarnya? Kenapa ini sungguh menyayat hati, setiap melihat air mata itu ...' pikir Barat, yang melihat pantulan Timur dari cermin di sampingnya. Karena posisi cermin, Timur, dan Barat hampir membentuk garis lurus, hanya saja terhalang kursi yang diduduki Timur. Timur yang sadar diperhatikan, menatap cermin dan mereka saling bertemu tatap.

'Mata itu, mata yang sendu ... namun, menyembunyikan kesedihan yang mendalam.' Pikir Timur, dari tatapan Barat tergambar seperti itu.

Hingga semuanya seperti film, Timur seolah terasuki masa-masa itu ... yang menampakan keperihan yang dialami Barat, penderitaan yang belum usai yang kini Barat rasakan. Semua jelas, Barat dengan kelemahannya, dan penyiksaan yang pernah ia alami.

Timur mengalami sesak yang mendalam, dengan isakan tangis yang tiada henti. Yah, dia merasakan sakitnya Barat kala itu, hingga dia lupa bahwa dirinya adalah Timur. Bayang-bayang hidup Barat, benar-benar terasa dan sanagat menyakitkan. Seolah ia memang masuk dalam masa lalu Barat, dan entah tidak tahu arah ja;an pulang.

Fajar yang takut, yang gempar, yang tidak tahu harus ngapain merasa khawatir. Dan mencoba menyadarkan kakanya itu. Ia menepuk pipi sang kakak, menggoyang-goyangkan bahunya ... dan mencubit pahanya, namun, nihil tidak ada respon sama sekali.

Barat yang ikut syok, mendekat dan mulai berusaha menyadarkan Timur.

"Tunggu, kata Mama kakak suka seperti ini, dan Mama selalu meminumkan obat. Fajar cari dulu di dalam tasnya." Pernyataan itu diangguki Barat. Fajar, mencari obat itu di dalam tasnya Timur, walaupun harus ada hambatan dari anak-anak panti asuhan lainnya, karena bagaimanapun itu adalah kamar perempuan, sedangkan Fajar? Lelaki sejati dong, pastinya. Bukan laki-laki jadi-jadian, ya, ingat!

TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang