Myeongdong, 16 Desember 2019
Suara semilir angin terdengar samar dari balik jendela yang sejak kemarin tak jua dibuka. Dua bola mata itu melirik keluar hanya demi membuktikan tak ada lagi tetesan salju atau air tersisa. Yang ada, lirikan penuh harap itu dibalas oleh sang surya yang memanggil untuk beranjak dari tempat terhangat di dunia.
Niat hanya akan menjadi niat jika tidak dilakukan. Namun, jujur saja, tubuh ini seperti dibelenggu oleh gaya gravitasi dari matras yang amat kuat. Lain halnya dengan hati yang sejak tadi meronta-ronta untuk diberi hadiah atas 24 tahun kehidupan. Semesta seperti berpihak padanya agar bisa lebih bahagia di hari istimewa.
Cahaya matahari masuk menyelinap semakin kuat. Mata lelah itu memicing, menolak untuk diberkahi dengan kehangatan siang. Dorongan untuk segera melepas diri dari lilitan selimut tebal kian terasa. Tubuh lemah, lebih baik kau mengalah, ada hati yang harus dibahagiakan. Saat itu juga, selimut biru tebal kesayangan tergeletak begitu saja. Langkah semangat mulai terdengar dari nyanyian demi nyanyian sumbang yang menjadi latar persiapan keberangkatan siang itu.
"-5 derajat celcius, feels like -8 derajat celcius, angin 1 m/s. Dingin banget, tapi angin ngga terlalu kencang. Berangkat aja deh gue, daripada sendirian di rumah."
Ramalan cuaca di dalam smartphone tak pernah luput dari penglihatan tiap kali Diara akan keluar rumah. Keinginannya untuk cuci mata di Myeongdong, tempat melepas penat favoritnya di Kota Seoul, lebih kuat dibanding dengan dinginnya suhu yang menusuk tulang. Diara telah bersiap dengan senjata musim dinginnya, baju tiga lapis plus padding hitam, sarung tangan dan syal coklat yang melingkar di lehernya.
Walau telah dibungkus dengan sarung tangan, Diara tetap memasukkan tangannya ke dalam kantung jaket. Angin dingin mulai meniup wajah polosnya selama perjalanan menuju stasiun kereta. Ia harus menempuh jarak 30 menit untuk bisa sampai di Myeongdong dengan 지하철 atau kereta bawah tanah. Senyum simpul terpancar di wajahnya seolah menikmati tiap embusan angin yang bisa membuat kulit mengering. Tentu saja ia merasa senang, akhirnya ia bisa bernafas sejenak dari beban tugas akhir kuliahnya. Liburan musim dingin kali ini Diara memutuskan untuk tidak pulang ke Indonesia karena harus bekerja paruh waktu di sana.
Diara rindu akan suasana Myeongdong yang tidak pernah sepi dari turis asing. Saat berada di Myeongdong, ia tidak merasa seperti orang asing. Kebanyakan yang datang ke sana sama seperti dirinya, bahkan banyak juga yang berbicara Bahasa Indonesia. Diara sengaja berangkat mendekati sore hari karena keramaian Myeongdong baru dimulai saat matahari hampir terbenam.
Di Myeongdong, Diara bisa mendapatkan apa saja yang ia butuhkan. Biasanya ia membeli skin care yang ia pakai sehari-hari. Untuk pakaian, Diara lebih memilih untuk belanja di tempat lain, karena rata-rata harga fashion di Myeongdong yang tergolong mahal bagi kantong mahasiswa sepertinya. Bisa jadi dibikin mahal karena Myeongdong selalu jadi tujuan utama wisatawan asing yang datang ke Seoul.
Saat sore hari, para pedagang kaki lima yang biasa menjajakan aneka makanan pinggir jalan khas Korea mulai bersiap menggelar lapak mereka. Gyeranppang, lobster bakar, bungeoppang, tapi yang paling Diara suka adalah dakgangjeong, ayam goreng bumbu pedas manis khas Korea. Ini juga yang jadi alasan utama Diara selalu menjadikan Myeongdong tempat pelariannya saat galau melanda. Walau harus berdesak-desakan, tersenggol atau tidak sengaja menabrak orang, itu sudah jadi hal yang biasa di Myeongdong.
Diara berangkat dari Stasiun Dangsan tepat pukul 03.00 sore. Saat itu subway tidak terlalu ramai, cocok baginya yang ingin tidur selama di perjalanan. Pukul 03.25 Diara sampai di Stasiun Myeongdong Line 4. Kedua kakinya sudah hafal betul kemana harus melangkah, pintu keluar 7 seperti biasanya. Belum tiba di tempat tujuan, langkahnya terhenti saat ia melewati underground shopping center di sana. Sebuah dress pink polos berhasil menarik hatinya.
"Apa? 25.000 won? Aduh, mahal banget. Sayang banget uangnya dipake buat beli baju doang. Batal deh batal."
Diara mengurungkan niatnya untuk membeli dress pink itu dan memilih lanjut berjalan ke pintu keluar tanpa melihat kanan kiri lagi. Di pintu keluar ada dua pilihan, naik eskalator atau tangga. Biasanya Diara lebih memilih eskalator, tapi kali ini tidak, ia lebih memilih naik tangga demi mewujudkan keinginannya jadi lebih langsing di tahun 2020 nanti. Nafasnya terengah-engah seperti habis maraton sesampainya di atas tangga. Ia istirahat sejenak untuk minum air putih yang dibawanya. Sambil berjalan ia memasukan kembali botol minumannya ke dalam tas. Tiba-tiba...
*brrb brrb*
handphone Diara bergetar
"네, 여보세요? (halo?).... Aaiish... iklan lagi, iklan lagi. Ngga ada apa yang nelpon gue selain iklan dan yang mulia profesor?" Dengan sedikit emosi, Diara mematikan panggilan tidak penting itu. Sebelum melanjutkan langkahnya, ia membuka instagram dan merekam suasana Myeongdong demi sebuah konten untuk instastorynya.
Lagu-lagu Kpop bersahut-sahutan di seluruh area Myeongdong membuat mood Diara terus membaik. Diara berharap cuci matanya kali ini membuahkan hasil, namun belum sempat ia melangkah jauh dari tempatnya berdiri...
*Bruk*
Ada yang dengan sengaja menabrak Diara dan meraih tangannya. Langkah Diara terhenti dan berusaha menarik kembali tangannya.
"어.. 최송합니 (maaf)..." Belum selesai mengucap maaf, Diara kaget saat tahu siapa yang ada di depannya. Matanya terkunci pada sosok pria yang masih memegang tangannya itu. Mereka saling bertukar pandang untuk beberapa saat, tanpa sepatah kata.
"Ye... Yeja?" Diara masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Seoul We Met
RomanceTentang dua manusia yang jatuh cinta dalam diam. Mereka terpisah akibat ketidakpastian. Namun, takdir membawa mereka bertemu kembali setelah sekian lama. Tiap sudut Kota Seoul jadi saksi bahwa cinta mereka masih ada walau telah sepuluh tahun tak per...