Aku tak butuh segunung kertas untuk menuliskan apa yang sedang mengganggu benak. Karena tangan ini masih gemetar memegang bolpoin hendak menuliskan apa di atas secarik kertas. Kepala ini bergemuruh, seperti ingin lebih dulu tertuang hingga saling berdesakan di ujung jari telunjuk.
Dan semoga malam ini, bisa tercurahkan sedikit demi sedikit. Meski tak seluruh waktu yang aku lewati, hanya hari ini saja. Aku akan berusaha menuliskannya.Bagaimana caranya menjadi abai saat Tuhan memberikan aku hati yang perasa. Dada sakit hingga napas seperti terhimpit kala mendengar ada yang menjerit. Tak kuasa rasanya. Merasakan nyaman sendiri sedangkan di sana tengah berusaha meminta tolong.
Tahu jika hal itu tak akan membuatnya runtuh. Tapi aku seakan melihat dirinya lumpuh. Sadar jika memberikan kaki kiri maka aku akan pincang, tak peduli agar dirinya bisa lagi kembali bergerak.
Di akhirnya, kaki itu dibawanya untuk berlari. Menjauh bahkan tak pernah menengok lagi.
Berakhir dengan rasa sakit hati mendalam. Menyalahkan diri sendiri setelah keadaan berubah tak sesuai ekspektasi. Merelakan sebuah rencana matang, demi membantu anjing kampung penuh panu.
Sekarang aku ada di posisinya. Seperti apa yang sebelumnya aku lihat.
Aku lumpuh oleh keadaan yang sebenarnya. Bahkan belati ini ditusukkan sebagai hukuman atas kebodohan sendiri.
Dalam hati kecil, samar-samar suara itu bergemuruh berulang-ulang. Mengucapkan satu kata yang benar-benar dia inginkan saat darah, daging, dan tulang terus menerus menyalahkan diriku sendiri.Dia berkata, "tolong!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kala Dirinya Hinggap
Randomadalah kumpulan curahan pendek yang akan update saat yang aku maksud dengan "dirinya" kembali berbisik. Sebuah usaha untuk kembali menemukan jalan dan alasan untuk bertahan hidup. Ini bukan sebuah ajakan, namun sebuah curahan. Apabila tulisan ini m...