PROLOG

219 21 9
                                    

"Alvaro, " panggil seorang gadis berambut panjang sepinggang. Dia hanya berani berdiri kikuk di balik pohon beringin besar yang berjarak satu meter dari warung cak Nun—tempat anak-anak SMA Bina Bakti biasanya bolos dan nongkrong sepulang sekolah.

"Ada apa? " tanya Alvaro seraya menyugar rambutnya berkali-kali membuat jantung Dinda berdegup sangat kencang.

"L-lo hari ini ada—"

"Lo mau ngomong apaan sih? Gue buru-buru nih, " potong Alvaro sambil bergerak gelisah.

"G-gue.... " Lidah Dinda seakan kelu. Ia tak bisa melanjutkan ucapannya karena deg-degan apalagi saat Alvaro menatap matanya dalam.

"Lo kenapa? Lo mau belajar ke rumah gue entar malam? " serobot Alvaro tak sabaran.

"G-GUE SUKA SAMA LO! " pekik Dinda sambil memejamkan matanya. Tangannya mengepal kuat berusaha menahan malu.

"Lo suka sama gue? " tanya Alvaro tak percaya. "Lo lagi bercanda 'kan? Lo gak tahu gue baru jadian sama Ines kemarin? "

Dunia Dinda seketika runtuh. Perjuangannya memberanikan diri untuk menghancurkan egonya gagal begitu saja. Dengan sekuat tenaga Dinda menahan air matanya supaya tidak jatuh meskipun sekarang matanya sudah sangat perih.

"L-lo baru jadian sama Ines? " tanya Dinda sambil memilin ujung jaketnya.

"Iya, " jawab Alvaro mantap sambil mengangguk-angguk.

Dinda tertawa terpingkal-pingkal menutupi semua rasa sakitnya sambil memukuli lengan kanan Alvaro. "Dasar bangke! Tau gitu gue nggak bakal ngeprank lo kayak gini, " tukas Dinda, berdusta.

"Tuhkan! Lo lagi ngerayain April mop 'kan? Mana mungkin lo beneran suka sama gue, " ujar Alvaro sambil ikut tertawa lalu tangan kanannya naik mengacak rambut Dinda.

Dinda menelan ludahnya susah payah. Jika terus-terusan disini, Ia bisa menangis di depan Alvaro dan masalahnya akan semakin rumit nantinya.

"Kalo gitu gue duluan, ya? " pamit Dinda sambil tersenyum paksa.

"Lo beneran mau pulang sekarang? Nggak nunggu gue antar aja? " tanya Alvaro seraya melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Nggak usah! Nggak usah! " tolak Dinda. "Gue hari ini mau jalan-jalan dulu sekalian refresing habis ujian, " bohongnya.

"Lo beneran nggak papa? " tanya Alvaro.

Dinda hanya menyunggingkan bibirnya kecil lalu berbalik dan berjalan menjauhi Alvaro. Saat membalikkan tubuhnya, air mata Dinda menetes deras. Hatinya terluka parah. Perasaan yang sudah Ia pendam selama hampir 8 tahun lamanya, tertolak begitu saja.

Pundak Dinda naik-turun. Ia menundukkan kepalanya dan air mata terus turun begitu saja. Dinda membiarkan air matanya turun, tanpa mengusapnya. Beberapa bapak-bapak yang duduk anteng sambil menikmati kopi di warung pinggir jalan sampai menatapnya iba. Bahkan beberapa dari mereka langsung membuka forum sambil menunjukinya.

Semua ini memang resiko yang harus di tanggung nya. Barang siapa berani menyukai maka harus kuat tersakiti oleh perasaannya sendiri.

Oops! Friendzone?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang