.......
Setelah liburan yang memabukkan dan memanjakan akhirnya kami kembali ke realita. Tampaknya yang paling tidak suka dengan kenyataan ini adalah Julie. Dia terus-terusan mengeluh dan menelfon pacar-pacarnya untuk ikut saja kerumahnya.
Dan pagi ini begitu masuk kedalam rumah, bibi yang menjaga rumahku memberikanku sebuah undangan. Berwarna pink muda dan ada pita kecil diatasnya. Katanya datang dua hari yang lalu saat aku masih berlibur. Disampulnya tertulis dua inisial dan tanggal di sudut bawahnya. Aku membuka dan sebenarnya sudah tau itu dari siapa.
Ya, itu pernikahan Arvind Gupta dan Yui.
Di bagian atas undangan terpampang foto keluarga bahagia itu. Yui, Lime, dan Arvind. Mereka tersenyum lebar sekali. Apakah mereka benar-benar bahagia?
Aku tertawa kecil dan melempar undangan kesudut kamar. Kuputuskan nanti saja, harus pergi ke sana atau ku abaikan saja undangan spesial itu.
Ini pertama kalinya seorang mantan kekasihku memintaku untuk hadir ke pernikahannya. Dan Yui yang sadar merebut milikku, dengan percaya diri memintaku datang ke pesta yang terjadi karena perpisahanku. Arvind pun harusnya tahu aku tidak menyukai ide pernikahannya. Tapi kenapa mereka mengundangku dengan mudah? Apa yang ingin mereka tunjukkan padaku?
Aku pikir mengundangku bukan keputusan bijak. Meskipun hubunganku dan Arvind tidak benar-benar dilandaskan cinta, namun dua tahun bersama seharusnya itu sudah cukup menggambarkan betapa kami sempat memiliki perasaan intim yang perlu dihargai saat berpisah. Aku tidak mau tahu hidupnya. Jika dia bahagia dengan pilihannya maka tidak perlu memberi tahuku. Aku orang luar sekarang. Persetan dengan cinta platonik mereka, aku tidak memiliki cukup empati untuk berdecak kagum. Aku tidak berniat mendoakan kebahagiaannya. Aku mau menghabiskan jatah berdoaku untuk keselamatanku sendiri. Aku mau, mereka melakukan apapun tanpa perlu bersinggungan dengan kulitku. Hanya itu.
Tapi sepertinya Arvind sudah menjadi manusia melankolis semenjak bergaul dengan perempuan semacam Yui. Perempuan yang berangan hidup didalam buku dongeng. Yang memaknai hidup sebagai ladang untuk berbudi luhur dan berbelas kasihan. Perempuan yang merasa tali silaturahmi harus terus dijalin tidak perduli se- akward apapun hubungan kami.
Namun aku hidup didunia nyata. Tempat dimana orang-orang berebut untuk menginjak tempat lebih tinggi. Tempat dimana manusia menjadi mati rasa jika menyangkut kemaslahatannya sendiri. Tempat dimana empati dan simpati sangat susah ditemui. Tempat dimana kamu harus memiliki kekuasaan untuk hidup enak dan tenang. Dan dulu Arvind setuju dengan konsep ini, sebelum akhirnya menjadi menye-menye dan menyukai dongeng Cinderella.
Aku menatap undangan yang ku buang tadi. Tergelatak disudut ruangan. Aku tidak berniat membuat hal semacam itu dengan siapapun. Aku tidak menyukai pernikahan. Kalaupun akan nantinya, berarti aku akan untung besar dengan pernikahan itu. Apa pentingnya cinta halusinasi dibanding kemewahan dan kenyamanan hidup. Dan mengabdikan diri selamanya pada satu pria berarti pria itu adalah gunung uang yang unlimited.
Aku menghempaskan tubuh keatas kasurku. Hangat dan nyaman. Inilah kenikmatan hidup yang aku tukarkan dengan perasaan pribadi. Hasil yang sangat memuaskan. Bau udara yang bersih dan tenang. Kamar yang bersih. Makanan yang enak dan tinggal pilih. Pakaian yang bagus dan indah. Orang-orang yang melayaniku dengan patuh. Mobil-mobil mewah yang terparkir rapi di halaman. Bisnis yang lancar dan nyaman. Dan sahabatku yang baik, Julie.
Kenikmatan hidup yang tidak akan pernah aku rasakan jika menjadi seperti Ibuku. Menuhankan cinta, dan terbunuh oleh cinta yang di agungkannya. Maka, akan kunikmati hidupku begini saja. Bahagia dan mati rasa.
*****
Aku memutuskan datang ke pesta itu.
Setelah dipikir-pikir aku memang mesti datang untuk memamerkan wajah yang lebih bahagia dibandingkan sebelum kami berpisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selling My Love [On Going]
Ficción GeneralKehidupan seorang wanita yang menjadikan cinta sebagai bisnis dan kekasih sebagai profesi. ..... Jika kamu membacanya suatu waktu, bantu vote yah 😍