6.

250 38 1
                                    

Bagi Jaemin, tidak ada yang lebih aneh di dunia ini selain Jeno yang seolah menghindarinya. Bukan, bukan menghindar. Lebih tepatnya— ah, entahlah. Yang jelas Jaemin tau ada sesuatu yang janggal.

Jeno tidak benar-benar mengabaikan Jaemin. Mereka tetap bersama. Hanya saja di beberapa waktu tertentu Jeno memilih untuk melakukan semuanya sendiri.

Pergi ke perpustakaan, membeli perlengkapan, mengerjakan tugas di kafe, intinya segala sesuatu yang harusnya biasa dilakukan bersama Jaemin. Mungkin Jeno ingin suasana baru bersama temannya yang lain, tapi bagaimana pun, kali ini Jaemin merasa Jeno memang tidak mau dia ada disana bersamanya.

Seperti sore tadi Jeno bilang dia akan pergi ke perpustakaan —lagi— untuk meminjam beberapa buku. Jaemin telah menunggu sejak pukul enam sore dan sekarang sudah pukul delapan malam tetapi Jeno belum tampak juga.

Antara khawatir atau curiga yang tengah memenuhi dadanya, Jaemin hampir tidak bisa membedakan. Saat ia hampir membuka pintu untuk menyusul, disitulah si pemilik kamar berdiri sambil menatap bingung padanya.

"Sudah mau pulang?" Ucap Jeno, ia melintasi Jaemin begitu saja kemudian melempar tasnya ke sembarang arah. Merebahkan dirinya di kasur empuk itu, terlihat begitu lelah.

"Kau sudah meminjam buku?" Tanya Jaemin.

"Hm? Oh, ya. Aku sudah pinjam buku, nanti saja dibacanya. Badanku seperti tidak bisa digerakkan" Jaemin menatap Jeno sambil tersenyum.

"Makanya, ajak aku. Siapa tau jadi tidak separah ini capeknya" Jeno hanya diam sambil memejamkan mata, masih mengatur nafas.

"Aku pulang dulu, sampai ketemu besok" Jaemin mengecup sekilas pipi Jeno.

"Aku kira kau mau menginap?" Jeno menatap Jaemin yang terkekeh.

"Ada yang harus ku bereskan di rumah. Jangan tidur larut, oke?" Jeno tersenyum setelah keningnya dikecup.

Jaemin menatap jendela kamar Jeno dari pekarangan. Harusnya, malam ini dia memang menginap. Namun seperti yang sudah dikatakannya, dia harus membereskan sesuatu. Moodnya.

Ada sesuatu dalam diri Jaemin yang telah memudarkan keinginan itu semenjak Jeno menampakkan diri, dan Jaemin melihat kejanggalan itu bukan lagi sebatas prasangka.

**

Sudah hampir satu minggu berlalu tetap tidak ada yang membaik. Beberapa kali Jaemin coba menawarkan diri untuk menemani Jeno bahkan hampir memaksa.

Tetapi sekeras apapun usahanya, Jeno selalu berhasil untuk pergi sendirian dengan dalih 'Aku bisa sendiri, Jaemin' atau 'Tenang saja, kau tunggu di rumah nanti aku akan segera pulang'

Semua ini membuat Jaemin gusar. Ia tidak bisa merasa tenang sama sekali.

"Sesuatu mengganggumu? Kau terlihat banyak pikiran dan semakin tua" ucap Felix.

"Yeah, Jaem. Come on, you can tell us" Hyunjin menimpali.

Jaemin menghela napas sebelum angkat bicara.

"Kalian semua tau apa masalahnya. Bukankah kalian lihat sendiri?"

Haechan menghela napas sebelum angkat bicara

"Hm.. begini, Jaemin. Mungkin dia memang butuh waktu lebih banyak lagi. Kita semua tau kalau Jeno dipandang seperti apa oleh banyak orang"

"Dan untuk menerima 'kondisinya' sekarang yang bisa dibilang sangat jauh dari ekspektasi orang lain, he needs time. A lot of time to accept all of that" ucap Haechan.

"Benar yang dikatakan Haechan, Jaemin. Maksudku.. mudah bagiku dan Seungmin untuk menjalani semua ini karena kami memang tidak peduli orang mau berkata apa soal hubungan kami"
"Aku tau kau juga sama, tapi— dia Jeno. Dia penuh dengan ragu dan takutnya. Dia bahkan bisa mengurung diri berhari-hari memikirkan hal sekecil apapun yang mengganggunya"

Jaemin menghela napas mendengar ucapan Hyunjin barusan. Benar, mungkin sekarang ia kembali terburu-buru tanpa memikirkan Jeno masih butuh waktu untuk menghilangkan segala hal negatif di pikirannya, hal yang selalu bisa Jaemin bantu redakan namun di luar kendalinya sama sekali. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah menunggu. Lagi dan lagi.

Jaemin mengusap kasar wajahnya dengan telapak tangan.

"Sorry bro, we can't help much. Tapi kalau kau butuh penyegaran sebelum semakin tertekan, kami disini selalu siap siaga" Felix menepuk pundak Jaemin.

"Ide bagus. Kita sudah lama tidak pergi berempat entah ke bar, club—"

"Mm—Haechan, menurutku itu bukan opsi terbaik untuk sekarang.." sela Felix sambil melirik-lirik Jaemin, membuat Haechan tersadar dan menutup mulutnya sekilas.

"Oh.. benar. Hmm— bioskop?" Hyunjin menepuk tangannya kemudian mengacungkan ibu jari pada Haechan.

"Itu dia. Film thriller terbaru sedang tayang. Let's go" Hyunjin menyenggol pundak Jaemin yang kemudian menatapnya bingung.

"Ayolah, Jaem. Thriller kan genre favoritmu" ucap Felix.

Jaemin kembali menghela napas kemudian mengangguk, menatap ketiga temannya bersorak seolah berhasil menyelesaikan misi besar.

**

Mereka benar-benar pergi ke bioskop dengan Hyunjin sebagai penanggung jawab, alias sebagai pengemudi sekaligus pemesan tiket dan snack. Haechan dan Felix hanya menyumbang energi menunjuk mana snack yang mereka mau. Jaemin duduk di salah satu sofa yang ada, menunggu.

"Jangan kau makan dulu, itu buat kita nonton nanti!" Ucap Felix saat melihat Haechan memakan popcorn satu per satu. Hyunjin hanya bisa geleng kepala. Ditatapnya tiket mereka berempat

"Sepertinya sebentar lagi studionya dibuka"

Benar saja, pemberitahuan dari speaker mulai terdengar. Mereka serentak berjalan menuju studio, menunggu sesaat karena begitu banyak orang yang telah menonton film keluar dari sana.

"Hahaha filmnya seru, ya!" Jaemin menangkap suara familiar itu, namun mengabaikannya.

Ia memilih menatap ponsel, menunggu pesan balasan dari Jeno.

"Ah.. shit" ucap Felix. Dan ketika Jaemin mendongak karenanya, disitulah ia bertemu tatap dengan Jeno yang berdiri mematung tepat di belakang Yeji, si pemilik suara familiar yang tadi dia abaikan.

***





You & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang