1.

1.7K 153 6
                                    

Ada fase dimana jatuh cinta menjadi hal yang amat sangat menyenangkan. Kau dapat tersenyum sepanjang hari seolah tidak ada hal buruk yang bisa menghapus senyuman itu dari wajahmu.

Namun semua itu tak berlangsung lama. Akan ada saat fase selanjutnya datang, dimana semua yang indah berganti dengan sedih bahkan sakit yang membuat banyak orang menyimpulkan jatuh cinta lebih banyak sakit daripada senangnya.

Jika dipikir sekilas ada benarnya. Tapi sepenuhnya benar kah? Bukankah ada juga beberapa yang berhasil berbahagia dengan sosok yang mereka cintai? Maka kesimpulan terbaik yang bisa diambil adalah cinta bisa membahagiakanmu jika kau bersama orang yang tepat.

Pemuda bermarga Na sedari tadi terlihat sibuk tersenyum, membalas sapaan orang-orang yang berjalan menuju gerbang sambil sesekali balas melambaikan tangan. Ia masih menunggu seseorang untuk di antar pulang.

"Jaemin!"

"Oi, Seungmin" laki-laki dengan senyum manis itu menghampirinya.

"Masih menunggu Jeno?"

"Ya.. Begitulah, seperti biasanya" Seungmin tertawa pelan sambil menepuk pundak Jaemin.

"Kalau begitu aku duluan, pacarku sudah menunggu. Daah!"

"Ya, bilang pada Hyunjin malam ini ada perang!" Teriak Jaemin seiring temannya berlari menjauh sambil mengacungkan ibu jari.

Ia bersandar pada mobilnya, menatap setiap wajah yang melintasi pintu utama kampus itu. Berharap yang dinantikan segera datang.

'Ah, itu dia'

Selang beberapa detik senyum diwajahnya memudar, ia melihat Jeno dan seorang gadis menyusul di belakangnya. Keduanya tersenyum entah apa yang mereka bicarakan, Jaemin tidak ingin penasaran.

Jaemin menyaksikan itu terlalu lama sehingga yang ditatap seolah sadar dan melihatnya, melambaikan tangan lalu memberi isyarat untuk menunggu. Si wajah datar hanya membalas dengan ketukan jari di pergelangan tangannya. Malas.

**

Beberapa menit, Jeno akhirnya menghampiri. Dengan napas yang sedikit tersengal ia menatap Jaemin tetap setia bersandar pada mobil.

"Kenapa tidak masuk dan menunggu di dalam mobil?"

Pertanyaan yang masuk akal, namun Jaemin tidak menjawab dan langsung membukakan pintu untuk Jeno.

"Hehe terima kasih Jaemin-a" ucapnya sambil tersenyum kemudian duduk di kursi penumpang.

Selama perjalan tidak ada suara apapun selain klakson atau bunyi kendaraan di sekitar. Jaemin tetap mempertahankan wajah datar dan bungkamnya. Yang duduk di sampingnya mulai merasa bersalah

"Na.. Kau marah?" Mobil berhenti disalah satu persimpangan, menunggu lampu lalu lintas menyala hijau.

"Marah bagaimana?" Ia menjawab tanpa menengok, Jeno menatap raut wajah Jaemin.

"Karena lama..?" Sekarang ia agak bingung kenapa Jaemin malah terkekeh.

"Tidak, aku tidak marah" terdengar jelas helaan napas setelah pengucapan itu.

"Mm.. Baiklah" Jeno menatap keluar jendela. Lampu lalu lintas menyala hijau, waktunya melanjutkan perjalanan.

"Memangnya kenapa tadi?"

"Hmm.. Aku mengantar Yeji dulu"

"Pacar barumu?" Jaemin dapat melihat dari ekor matanya bahwa Jeno mengangkat pundaknya sekilas

"Mungkin? Maksudku, nanti"

Jaemin fokus mengemudi, tetap mengkondisikan dirinya. Meski jauh di dalam sana ia benar-benar ingin memukul setir.

"Kau menyukainya?" Jeda cukup panjang hingga akhirnya Jeno menjawab

"Siapa yang tidak menyukai Yeji?"

"Aku. Kau juga. Sepertinya" Jaemin membuat lawan bungkam, helaan napasnya kembali terdengar. Dia melanjutkan ucapannya

"Mau sampai kapan kau begini terus? Memang apa salahnya kalau—"

"Entahlah, Na. Mungkin belum saatnya juga. Aku.." Jeno menghela napas. Ia memainkan jarinya, sebuah tanda bahwa ia sedang gugup.

"Kau..? Kenapa? Takut?"

Ia membenci kalimat Jaemin yang selalu benar tentangnya, namun di sisi lain dia tidak terima jika dibilang penakut.

"Orang lain akan selalu berkomentar tentang apapun, Jeno. Tapi apa yang sebenarnya kau rasakan atau inginkan bukan urusan mereka. Seharusnya kau paham omonganku"

Mobil yang dikemudikannya perlahan berhenti di depan rumah Jeno. Yang di antar mengucap terima kasih sebelum turun dari mobil. Biasanya Jaemin akan menggoda atau menahan Jeno sebelum mereka berpisah disitu, namun mungkin hari ini tidak bisa. Dan Jeno memahami situasinya.

**

"Jeno, makan malam sudah siap" nyonya Lee berseru dari lantai bawah. Yang dipanggil malah semakin tenggelam dalam gulungan selimutnya.

Ia masih memikirkan kata-kata Jaemin tadi sore. Dia tau dirinya memang penakut, entah apa yang harus dia lakukan untuk mengusir itu darinya ia juga tidak tau. Pikirannya semakin bercabang. Dari sore ini dia takut Jaemin besok tidak menjemputnya untuk ke kampus bersama. Terlebih, dia takut Jaemin menjauh.

Singkat cerita, masalah mereka sangatlah klise. Persahabatan yang berlangsung lama dan salah satunya mencintai yang lain. Yang dicintai bukannya tidak tau soal perasaan sahabatnya, entah memang tidak mau menerima, takut atau ragu tidak ada yang tau bahkan yang bersangkutan sendiri.

***

You & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang