xi. pulang

191 23 0
                                    

jaemin merosot ke dinding rumah sakit, matanya merah sebam dengan bibir tak henti hentinya mengeluarkan sesenggukan.

hyunjin dilarikan ke rumah sakit setelah tak sadarkan diri dengan luka gores di punggung, dan jangan lupakan bekas membiru di lehernya karena cekikan tangan jeno.

"memangnya kenapa?" si punggung kecil yg tengah bergetar membuka suara, wajar terdengar parau, karena jaemin tak henti hentinya menangis. tolong siapapun untuk memberitaunya jika hyunjin tidak akan mati!

jeno, si pelaku hanya terduduk di kursi. tak ada niatan memeluk dan membuat jaemin berangsur angsur tenang dari tangisannya. terlanjur kecewa, kecewa kenapa jaemin bersikap tak ada apa apa padahal semuanya jelas terlihat di depan mata.

"apa hyunjin memang seburuk itu dimatamu jen?" jaemin mulai mendongak ke atas, namun matanya sama sekali tak melirik. begitu pula dengan jeno, keduanya enggan bertubruk netra.

"kenapa aku harus repot repot mendobrak pintu kamarmu jika dia memang tak terlihat seperti itu?"

"tapi ini tidak seperti yg kau fikir! berpikir rasional lah, kau tidak tau alasan hyunjin melakukannya karena apa, dan kau juga tak seharusnya membuat hyunjin cedera hingga dilarikan ke sini! kau bukan siapa siapa. dan sebagai catatan, kau orang asing! aku tidak mengenalmu, dan kau tidak mengenalku, kau tau?!"

jaemin mulai berdiri, berusaha keras menyembunyikan wajah terpuruknya ketika menangis sangat sulit.

"lalu? aku akan membiarkanmu dikuliti hidup hidup olehnya?" jeno masih mengingat bagaimana cara hyunjin memegang potongan kaca hingga membuat goresan di lengan jaemin, boleh kah jika jeno berfikir hingga ke sana?

jeno berdiri, melangkah menyudutkan yg lebih kecil. tak bisa dipungkiri jika alas kakinya sangat sangat kesakitan karena beberapa pecahan kaca juga bisa menembus sepatu kulit.

melempar sebuah kertas usang dari saku jaektnya ke lantai, memperlihatkan sebuah foto dimana jaemin kecil dan jaehyun tengah tertawa hangat. jeno iri, sangat iri.

"aku juga berharap begitu." finalnya, jeno putus asa.

jaemin mematung. melihat bagaimana foto usang yg awalnya ia simpan ke dalam figura kecil kini terjatuh hampa dari tangan yg diusahakan untuk tidak pernah melihat kenyataan hidupnya, jeno.

semuanya pudar, gendang telinga jaemin dipenuhi langkah kaki dari jeno yg angkat kaki segera setelah melempar salah satu foto favoritnya.

'jaemin, jika kau bisa memberitahu seseorang tentang yg sejujurnya, beritahulah sebelum terlamat, ya?'

"maaf papa" kata kata taeyong kini ikut berdengung di telinganya. mengucapkan seribu kata maaf dari mulut tak akan pernah bisa menyelesaikan semuanya, jaemin tau tapi kebiasaan itulah yg tak pernah hilang dari dirinya.

kakinya lemas tak karuan, tubuhnya seakan akan tertimpa berton ton beban yg ia angkat dari awal kehidupannya menjadi kacau. merosot kembali dengan tangan membawa selembaran kecil, fotonya.

"jaemin tidak sepatuh yg papa kira."

***

jaehyun terkekeh kecil, lihatlah ekspresi anak semata wayangnya atau bisa ia bilang anak dari rahim ibunya kang seulgi yg telah lama meninggal.

"bukankah ini pertama kalinya jung jeno mengajak ayahnya berbicara?"

semilir angin, ruangan tanpa terik matahari, dua orang saling beradu ego, yg satu seperti telah di ujung tanduk, dan yg lebih tua hanya tersenyum.

hei, jeno bukan lagi anak kecil.

siecle de vide | nomin [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang