0.04

52 35 171
                                    

"Aku rasa kau senang bermain pahlawan-pahlawanan" Gema yang sejak tadi memperhatikan tindakan Devan malah mencibir niat baiknya.

"Kau sendiri? Kau sangat senang sekali menonton penderitaan orang lain. Apa tidak melelahkan? Tidakah dirimu merindukan sosok Gema yang berhati lembut juga sangat perduli dengan orang lain?"

"Gema yang itu hanya berada di masalalu, dia sudah lama pergi dan mati bersama cintanya!" Gema langsung meninggalkan Devan yang terperangah dengan jawabannya

"Belum mati! Hanya bersembunyi, karena dia pengecut!" Devan menyusul Gema yang mulai menjauh darinya.

Saat ini Freya berada di halte bus, memperhatikan kerumunan orang yang berlalu lalang memenuhi jalanan. Sedikit membosankan sebenarnya memperhatikan mereka, tapi tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan selama menunggu bus ke arah rumahnya datang.

Lalu perhatian Freya tertuju pada dua orang siswa SMA yang baru saja datang dan menunggu bus bersamanya. Kedua siswa itu sedang bercanda tawa, rasa senang itu sampai tertular pada Freya dan ia ikut tersenyum melihatnya. Hal itu mengingatkannya dirinya pada masa SMA nya dulu, entah ia masih pantas untuk mengenangnya atau tidak. Karena masa-masa itu juga adalah masa dimana ia kehilangan semua yang ia miliki. Kehilangan hidupnya, orang yang berharga juga kehilangan cintanya yang kini berubah membencinya. Reya tersenyum hambar mengingat semua itu, tapi ia mencoba untuk kembali mengubur semua kenangan menyedihkan itu.

Tidak lama kemudian, bus yang ditunggu pun datang. Freya bergegas masuk kedalam bus sambil mengeluarkan kartu transportasinya dan mentap nya pada mesin yang telah tersedia. Ia memilih duduk di samping jendela, di cuaca yang terik ini lebih bagus jika terkena angin langsung untuk menyejukan bajunya yang setengah basah itu. Untung saja ada Devan yang berbaik hati.

"Aku pulang.." Reya sampai dirumahnya, langsung di sambut dengan senyuman manis dari sang bunda, bukan ibunya melainkan hanya seorang bunda yang selama ini menjadi alasan ia pulang kerumah.

"Kenapa penampilanmu berantakan sekali? Bunda rasa tidak sedang hujan" Wanita paruh baya itu melihat keluar memastikan jika memang perkataannya benar.

"Tidak papa bunda, ini hanya kecerobohan yang aku lakukan. Tidak sengaja menjatuhkan makanan kebaju ku, tapi aku sudah membersihkan nya di toilet kampus tadi. Jadi jangan khawatir, aku baik-baik saja" Freya memeluk wanita itu, selalu berhasih membuat hatinya hangat saat memeluknya.

"Bunda percaya padamu, tapi jika ada masalah jangan sungkan untuk menceritakannya pada bunda. Bukankah bunda sudah menjadi seorang ibu bagimu? Jadi jangan sekali-kali menganggap bunda sebagai orang lain" Freya hanga mengangguk dan tersenyum pada sang bunda. Tapi faktanya tidak semudah itu, karena dia adalah bunda Irana, yang tidak akan pernah bisa merepotkannya dengan masalah yang ia punya.

Freya pun lalu pamit untu ke kamarnya yang berada di lantai dua, Irana mengangguk mempersilahkannya. Irana menatap sendu punggung Freya, ia tahu bagaimana Freya sangat berusaha untuk menyembunyikan perasaaannya dari orang-orang terdekatnya. Sejak orang tuanya meninggal, Freya menjadi anak yang pendiam dan tidak banyak bergaul dengan orang lain. Tapi sejak kepergian Alisya, itu menambah beban dan kesedihan dirinya sendiri. Setiap detiknya ia selalu menyalahkan dirinya, yang jelas itu bukan salahnya.

Sesampainya di kamarnya, perhatian Freya langsung tertuju pada sebuah bingkai foto di meja belajarnya. Memperlihatkan dua orang wanita yang tersenyum hangat, sehangat mentari pagi. Air mata turun begitu saja membasahi pipinya, tubuhnya beringsuk di samping ranjang.

"Maafkan akuu.., maafkan aku, ini semua memang salahku. Gema benar, ini semua salahku." isakan tangis itu begitu memilukan, siapapun yang melihatnya tidak akan tega dan sangat ingin memeluk untu menenangkan jiwa yang rapuh itu.

Dandelion di Pelupuk MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang