1. Apakah ada pilihan

29 9 16
                                    

"Saya terima nikah dan kawinnya Andini Rosela binti Eko Russell dengan maskawinnya dibayar, tunai."

Aku—Andini, begitu hancur saat mendengar itu. Tandanya, statusku telah berubah menjadi seorang istri.

Sejujurnya, aku belum siap secara batin. Namun, aku tidak memiliki pilihan lain.

Pelaminan itu saksi bisu pernikahan yang berlandaskan kebohongan. Dibalik senyumku ada ketidakberdayaan.

Malam itu, aku memberikan hak untuk suamiku. Mau bagaimanapun juga itu hak dia dan aku harus memberikannya. Meskipun, aku tidak menikmatinya.

Tanpa terasa sudah satu bulan lamanya kami menikah. Akan tetapi, aku tidak merasakan adanya cinta di antara ikatan suci itu.

Walaupun, perlakuan Furqon—suamiku, sangat manis tapi tidak mampu membuatku jatuh cinta. Dia terlalu sempurna untuk diriku yang penuh dosa.

Harus berapa lama lagi hubungan itu bertahan? Sedangkan cinta belom tumbuh. Aku tidak keberatan  jika Furqon ingin poligami. Justru aku malah senang, karena dengan itu bisa minta talak.

"Sayang, Mas mau pergi ke luar kota. Kamu mau di bawain oleh-oleh apa?" tanyanya.

Huft! Pake nanya lagi. Mau pisah-lah. Aku memberikan senyuman. "Mas, pulang dengan selamat aja saya sudah senang."

Dia mengecup keningku. Lalu berpamitan untuk ke bandara. Hal itu, yang membuatku malas menikah dengannya. Dia terlalu sibuk dengan perusahaan eksplore miliknya.

Akhirnya, pergi juga. Kalau gitu kan enak, gak usah repot-repot ngurusin dia.

Karena jenuh, aku memutuskan untuk jalan-jalan sama pacarku—Freza. Aku menyesal menyetujui pernikahan dengan Furqon. Padahal, Freza lebih tampan dan berwibawa.

Perawakannya yang tinggi, serta tato di lengannya membuatku jatuh cinta dengannya. Berbeda dengan Furqon yang terlalu lembut.

Beruntung Freza masih mau menerimaku, meski hubungan kami terlarang. Kebejatan Freza membuatku melayang.

"Udah lama kita gak minum. Kamu masih suka alkohol, kan?"

"Masih dong."

Sebelum itu, Freza mencumbu, dapat kurasakan kehangatan dan ketulusannya.

Kemudian, kami pesta minuman di bar. Meskipun begitu, aku tidak ingin mabuk atau akan dimangsanya.

Kami menikmati alunan musik yang disetel saat itu, aku meliuk-liukkan tubuh di tiang yang berada di tengah. Terlihat mata kelaparan beberapa yang melihat.

Tiba-tiba tanganku dicekal, dan di tarik begitu saja. Aku tidak tahu akan di bawa kemana, oleh laki-laki berhodie hitam itu.

Anehnya, aku juga tidak melihat Freza mengejarku. Pikiran buruk hadir, membuatku takut setengah mati.

Menarik kasar tanganku, lalu mencoba menatap matanya tajam. Oh, rupanya dia memakai masker hingga, aku tidak dapat melihat wajahnya secara keseluruhan.

Mata itu ... rasanya aku pernah melihatnya tapi dimana, ya?  Aku pergi tapi tanganku kembali dicekal.

"Lepas!" bentakku menghentak kasar.

***

Esok paginya, kepalaku terasa begitu berat. Samar-samar ingatan laki-laki itu datang. Namun, aku tidak bisa mengingat wajahnya dengan jelas.

Kira-kira siapa dia? Ah, biarin aja. Mending aku mandi terus kuliah.

Di kampus aku bertemu dengan Freza. Kebetulan mata kuliah kami sama. Sehingga, kami bisa berduaan setiap saat. Tidak ada yang tahu jika aku telah menikah. Sebab, aku yang meminta untuk melakukannya secara tertutup, dan hanya keluarga yang tahu.

Aku melakukannya karena agar bisa menjalin hubungan dengan Freza. Untungnya aku tidak memiliki teman dekat. Jadi, sangat mudah bagiku untuk melakukannya.

Jam kuliah sudah usai. Kami memutuskan untuk makan di kantin, seraya bercanda gurau.

Drrt!

Getar ponsel mengalihkan pandanganku. Terlihat notif dari Furqon. Di dalam pesan dia berkata. "Saya rindu, ingin segera pulang dan menyantapmu."

Aku hanya membacanya saja, takberniat 'tuk menjawab. Lebih-lebih lagi, tanda baca kumatikan, jadi dia tidak akan tahu pesannya sudah terbaca atau belum.

Suatu kejadian membuatku harus berpisah  dengan Freza. Selain itu, Furqon sangat marah padaku. Kelihatannya dia kecewa.

Sayangnya, aku tidak peduli akan hal itu. Bagiku memperbaiki hubungan dengan Freza lebih penting, daripada meluluhkan amarah Furqon.

Hubunganku dengan Freza terbongkar begitu saja. Entah siapa yang membongkar kebusukannya aku tidak tahu. Aku harus meminta pertanggungjawaban Freza.

Aku mengandung anak Freza. Akan tetapi, Furqon mengira itu--hasil percintaan kami.

***

Saat itu, sudah satu tahun kami menikah, dan telah dikaruniai seorang anak perempuan—Styani.

Aku terenyuh, melihat Furqon begitu telaten mengurua Setyani. Mataku menghangat, seakan telah menampung banyak air mata, hingga perlahan menetes membasahi pipi.

Apakah renjana itu telah hadir dalam sanubari atau hanya bualan saja? Ya Tuhan, berilah hamba sebuah keyakinan.

"Dek, anak kita cantik, ya, mirip ibunya." Furqon mencolek pipiku.

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Lagi pula, masih ada keraguan terpendam didalam hati.

Furqon mendekap serta mencium keningku. Dapat kurasakan ketulusan dan kasih sayangnya.

Aku takut terjebak dalam perangkap yang sama. Pantang bagiku untuk jatuh dalam keterpurukan.

Sudah cukup aku memakai topeng kebahagiaan. Setelah itu, aku akan membuka jati diri sebenarnya.

Rupanya Furqon mengajak kami pergi ke mal. Di sana aku memilah dan memilih baju bayi.

Sesekali curi pandang sama laki-laki tampan. Tanpa peduli akan perasaan Furqon. Aku tidak yakin, Furqon mampu menumbuhkan benih cinta.

"Loh, Andini. Kemana aja lo? Dicariin Freza, tuh," kata Remyan—teman Freza.

"Eh, gua ...."

"Lo udah punya anak?" tanyanya memotong ucapanku.

Terdengar suara bariton memanggilku. Tentunya sudah tahu siapa orangnya. Tanpa berbicara sepatah kata pun Furqan menggandeng tanganku.Dia membawaku entah kemana.

Yang jelas aku sangat senang, karena dia  telah menyelamatkanku, dari pertanyaan yang tidak mungkin kujawab.

Aku bingung saat dia menghentikan langkah, dan berbalik badan menatapku. Perasaan gugup menerpaku,  seakan memberi sinyal tanda bahaya.

Tampaknya dugaan 'ku salah. Furqon menangkup wajah serta menyelipkan anak rambutku. Lalu, berbisik begitu lembut.

Kalau begini caranya, lama-lama benih renjana akan tiba. Gak bisa dibiarin, hanya Freza yang pantas mendapat cinta bukan Furqon.

Kemudian kami berkeliling, menyusuri setiap sudut mall guna mencari segala kebutuhan yang belum ditemukan.

Setelah itu, kami pulang. Selama perjalanan, pikiranku dipenuhi oleh bayangan  wajah tampan Freza. Aku tidak bisa mengelak akan rasa cinta yang masih membuncah.

Di rumah itu, aku selalu menangis dalam diam. Tidak tahu harus berbuat apa. Semua kenyataan terlalu pahit untuk diterima.

Meskipun Furqon baik, tetapi aku yakin itu semua hanya kebohongan belaka.  Dia seorang lelaki pasti ingin menerima kasih sayang. Namun, aku tidak bisa memberikannya.

Aku terlalu naif untuk sekedar mengakuinya sebagai suami. Terkadang rasa bersalah itu ada, tetapi kembali lenyap oleh kebencian.

Entahlah, pemikiran seperti itu yang terkadang membuatku jatuh. Aku menghela, pasrah akan kehidupan selanjutnya.

Untuk saat itu, fokusku hanya pada Styani. Di samping itu, aku juga harus meminta cuti kuliah—menunggu datangnya pengasuh.

Apa aku sanggup bertahan, ya? Apa sebaiknya aku menyerah dari sekarang?

KETULUSAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang