9. Tak pernah menyangka

3 0 0
                                    

Kesibukan mulai menggandrungi kehidupan kami. Dia kembali disibukkan oleh pekerjaan, meskipun begitu aku tidak menuntut juga tidak melepas seperti sebelumnya.

Hampir setiap hari aku datang ke kantornya, untuk membawakan makan siang atau untuk mengajak dia makan siang bersama.

Akan tetapi, aku merasa tidak pantas menjadi istrinya. Aku sudah banyak menoreh luka padanya, meski pada kenyataannya dia juga memberikan luka.

Meskipun demikian, aku mencoba untuk berdamai dengan masa kelam itu. Dan aku juga berusaha untuk mengajak Furqon untuk selalu terbuka, sekalipun itu pahit.

"Apa yang kamu pikirin?"

Aku tersentak saat suara bariton milik Furqon mengusik lamunanku. "Eh, iya Mas. Mau keluar?"

Dia hanya terdiam lalu berjalan ke arahku dan duduk di meja kerja. Seketika aku mendongak menatap bingung ke arahannya.

Apalagi saat dia menyentuh daguku dengan jari telunjuk, membuat degup jantung tiba-tiba berdetak.

"Apa yang menganggu pikiran kamu?" dia berkata dengan lembut.

Aku hanya menggeleng menanggapi pertanyaannya. Aku tidak ingin kegundahan hati membuat dia terganggu. Namun sepertinya salah, dia tampak menyugar rambut, kemudian sorot matanya berubah serius tapi penuh kasih sayang.

"Andini Rosella. Kamu itu istri saya jadi ...," dia berucap santai tapi berwibawa. "... cerita kalau kamu menganggap saya sebagai suami."

"Saya ... saya masih malu untuk menjadi istrimu," aku berucap sembari menautkan jari, menatap ke bawah. "Saya takut kamu hanya menghargai saya bukan karena cinta."

Sayup-sayup tarikan napasnya memasuki indera pendengaran. Dan itu membuatku yakin, jika dia hanya menghargaiku saja. Rasanya hatiku menjerit tanpa suara, sakit dan pedih saling menusuk membuat akal tak mampu berkutik.

Bahkan pelupuk mata sudah menampung air yang siap ditumpahkan. Bukan itu saja, suara sudah tercekat dan kering, seperti tengah diombang-ambing ketakutan.

Apalagi saat dia tiba-tiba mendekatkan wajah ke arahku, membuat jantung semakin berdegup kencang.

"Udah jam makan siang. Saya mau ajak kamu keluar," dia berucap lalu mencium puncak kepalaku.

***

Dia membawaku ke restoran yang tidak jauh dari kantor. Restoran yang hampir tidak pernah sepi pengunjung, terutama di jama makan siang. Kami memilih tempat di ruang terbuka, paling pojok dekat pagar.

Sembari menunggu makanan datang, aku menikmati hembusan angin-berharap mampu menghilangkan kegundahan.

Aku tersentak, saat dia menyentuh punggung tanganku. Selain itu, dia juga mengusapnya pelan seolah-olah menyalurkan rasa.

"Mas ...." Aku menghentikan ucapan pelayanan mengantarkan makanan kami.

Kemudian, kami menyantap hidangan yang tersaji. Namun, yang terasa hanyalah kehambaran semata, akibat tercipta karena menyimpan kegundahan.

Selang beberapa menit, makanan di depan kami telah habis tanpa sisa. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum membicarakan kegundahan padanya.

"Mas, saya mau ngomong sesuatu," aku berucap sembari memandang mata tenang miliknya.

"Iya, mau ngomong apa?"

Keraguan kembali menghampiri diri. Degup jantung pun berdetak tidak karuan. Bahkan, suara tercekat begitu saja.

Tuhan ... berikan kemantapan hati dan hilangkan keraguan.

"Saya ... masih sulit untuk mempercayai kebohongan. Bukan itu saja, Mas juga belum memberitahukan tentang Styani pada saya," ucapku parau-menahan sesak di dada, juga menekan kerisauan.

KETULUSAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang