8. Keraguan

2 3 0
                                        

Sungguh senang hati. Penantian yang kukira hanya angan-angan belaka, ternyata bisa terwujud. Tentu tidak lain ialah kembali menjadi istrinya.

Ya, kami telah kembali menjadi sepasang suami-istri. Berbagai harapan telah ditata rapi dalam benak. Dan semoga itu segera bisa kami wujudkan.

Pernikahan yang kedua kalinya tentu berbeda dari sebelumnya. Dimana jika sebelumnya terdapat pesta mewah, sedangkan yang ke-dua aku memilih untuk sesederhana mungkin.

Sebab apalah arti pesta mewah, jika berpisah. Dan aku pun takut jika kembali merasakan luka. Maka dari itu, aku memilih untuk kesederhanaan bukan kemeriahan belaka.

Bahkan ketika dia mengajakku berbulan madu ke suatu tempat, aku pun menolak dan memilih untuk menghabiskan waktu liburnya di rumah. Ya, awalnya tentu saja dia menolak ketika aku mengusulkan untuk menikmati waktu selama 7 hari. Dia menolak karena usaha itu milik dia sepenuhnya, jadi bagi dia tidak masalah jika harus menghabiskan waktu berbulan-bulan sekalipun demi menikmati waktu denganku.

Akan tetapi, sebisa mungkin aku harus memberinya pengertian. Bukan tak lain, karena meskipun dia pemiliknya tapi ikut andil, dalam mengembangkan perusahaan itu.

"Andini, saya masih ingin menghabiskan waktu sama kamu, sebelum kembali bekerja. Lagian saya ini pemiliknya dan pekerjaan kantor bisa di handle karyawan."

Aku membelai lembut rahang tegas itu. Menciumnya sesaat sembari mengusap rambut hitam pekat miliknya.

"Mas, jadilah pemimpin yang bertanggungjawab terhadap karyawan. Saya tau kamu punya segalanya tapi ... saya ingin kamu fokus juga sama karir kamu," aku berucap tegas sembari menatap dalam sorot tajam nan lembut itu.

"Hmm."

Aku menahan geli melihat tingkahnya yang sangat menggemaskan. Terlebih lagi, dia selalu terlihat berwibawa, tegas, dan berpendirian kuat.

Disamping itu, dia ternyata sosok yang penuh pengertian dan kasih sayang. Dan sekelebat bayangan masa lampau terlintas tanpa terkendali-mengakibatkan hati terasa nyeri tak tertahan, dikuasai rasa bersalah dan penyesalan.

"Mas, marah?" Aku berusaha membuka obrolan, sebab dia hanya terdiam seolah enggan untuk mengucapkan sepatah katapun.

"Andini, saya tidak mau terlalu sibuk bekerja sampai membuat kamu merasa kurang perhatian dan mencari laki-laki lain."

Jantung seolah berhenti berdetak, bahkan lepas dari tempat semula. Diri dibuat mematung tak berkutik-bibir sulit untuk membuka suara, seolah-olah terhalang oleh sesuatu yang sulit di tembus. Suara pun tampaknya juga tercekat begitu kuat, hingga batin hanya mampu menjerit tangis; atas rasa bersalah juga rasa takut yang sama.

"Mas, percaya sama saya. Saya tidak akan menyia-nyiakan kesenangan ini."

Dia tampak menghela napas, sebelum mendesah pasrah.

"Saya percaya sama kamu tapi saya hanya tidak mau kejadian itu terulang," dia berjaya sembari menggenggam tangan kiriku-meletakkan pada paha miliknya.

Aku pun menumpukan tangan satunya di atas punggung tangannya. Tampak dia sedikit berjengit, lalu tanpa sengaja pandangan kami bertemu. Saling mengunci dan memancarkan cahaya sebagai cara berkomunikasi. Begitu dalam diri merasuk, begitu dalam jua diri merasakan ketenangan. Namun dibalik sorot tenang itu, rupanya terdapat kekhawatiran yang sedikit mengusiknya.

"Mas, apapun ke depannya kita lewati bersama. Kita saling percaya dan pupuk rasa yang ada. Maafkan saya sudah memberikan luka padamu. Saya ingin kita selalu bersama, bahkan ketika kembali berpulang." Aku berusaha mengungkapkan gejolak rasa, yang sangat sulit tuk didefinisikan.

"Andini, berhentilah menutupi luka yang tersemat," dia berkata penuh ketenangan.

"Saya terluka sebab kamu terluka," ucapku, tak lepas memandang sorot hitam itu.

Dia membawaku dalam dekapannya. Sedangkan aku menyadarkan kepala di pundak kokohnya.

Terlampaui rasa usapan lembut yang dia berikan padaku. Meskipun hanya mengusap setiap helai rambutku. Tidak hanya itu, aku juga merasakan dia mencium puncak kepalaku.

"Love you, istri kecilku."

"Love you too, Sayang."

Setelahnya kami berpelukan. Lalu kembali melanjutkan kegiatan yang sebelumnya tertunda, dan tak lama berselang kami pun memutuskan untuk beristirahat, sebab besok dia sudah masuk kantor.

****

Esok paginya aku bangun lebih awal. Mengikat rambut dengan jeda dan tidak lupa mencuci muka terlebih dahulu.

Kemudian aku memutuskan untuk berkutik di dapur. Aku memutuskan untuk membuat menu simpel-ayam goreng; ikan bakar; sayur sop. Setelah cukup lama berkutik dengan masakan, aku pun segera menyajikannya di meja makan.

Sesaat aku bisa bernapas lega saat jam menunjukkan pukul 06.00 pm. Merasa ada waktu beberapa menit, aku pun bergegas untuk mandi terlebih dahulu.

Aku membalur seluruh tubuh dengan busa yang melimpah, tentu beraroma mawar. Setelah menyelesaikan ritual mandi sekitar 15 menit-bersamaan dengan ganti baju, aku pun membangunkan Furqon.

Rasanya aku tidak tega membangunkan dirinya yang tampaknya begitu lelah. Namun, aku harus membangunkan dia untuk sarapan dan mempersiapkan keperluannya.

Aku mendaratkan bokong di pinggir ranjang-menatap wajah polos itu sepersekian detik, lalu meraba wajah tenang itu.

Akan tetapi, aku dikejutkan saat tanganku dicekal olehnya. Kesempatan itu kugunakan untuk membangunkan dia.

"Mas, ayok bangun," ucapku sembari menepuk pelan lengannya.

Aku menghela. Melihat jam di atas nakas, membuat diri berusaha untuk membangunkannya.

"Mas, bangun. Kita sarapan." Aku kembali menepuk pelan lengannya dilanjutkan mengusap rambut hitam itu.

Sepertinya cara itu berhasil mengganggu tidurnya. Terlihat dia mulai menggeliat. Tentunya itu sangat amat menggemaskan untuk dirinya, yang selalu datar dan tenang.

Perlahan dia mulai membuka mata.

Aku meraba pipinya yang sedikit di tumbuhi bulu halus, lalu berkata,

"Selamat pagi, suamiku."

"Selamat pagi, Sayang," dia berucap dengan suara yang serak-khas orang bangun tidur, dan itu terdengar begitu seksi ditelingaku.

Segera aku memberikan ciuman untuk dia-ritual pagi kami, untuk memperkokoh cinta.

Sekonyong-konyong dia menarik tanganku, hingga tubuh ringkih ini terjatuh menimpa dada bidang miliknya. Deru napasnya juga detak jantungnya sangat terasa.

Selain itu, dia memberikan pelukan. Sebuah pelukan memberikan arti ketulusan; cinta; sayang juga takut kehilangan.

Terimakasih Tuhan ... Kau telah memberikan suami yang memiliki ketulusan juga ketenangan.

Selang beberapa menit, kami pun telah berada di meja makan. Dia sudah rapi dengan kemeja hitam yang dipadukan dengan dasi bewarna keemasan, membuat dia terlihat gagah dan berwibawa. Aku yakin semua wanita akan takluk melihat auranya yang sangat dominan.

"Sayang, masih pagi udah ngelamun aja."

Seketika hal tersebut membuatku tersentak-kalang kabut mencari sebuah alasan yang logis untuk dia.

"Mas, kamu tampan saya takut kamu tergoda sama wanita di luaran sana, yang tentunya sangat cantik. Berbeda dengan saya yang seperti ini," aku berucap dengan akal yang sudah melalang buana.

Terasa sentuhan hangat darinya merasuk ke salah satu punggung tanganku. Kemungkinan dia sedang menggenggamnya.

"Kamu istri saya. Mau secantik apapun wanita di luaran sana kamu tetap istri saya. Cinta saya hanya ke pemberi kehidupan juga dirimu."

Terdengar suaranya begitu lembut dan menenangkan. Dan seperti mantra sihir yang menghempas ketidaknyamanan.

Apa yang dia ucapkan itu benar atau ... hanya sebuah kata penenang?

KETULUSAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang