Aku masih tak menyangka, kami sebentar lagi akan kembali menjadi suami istri. Meskipun begitu, ada banyak hal yang masih membuat diriku bingung.
Bagaimana tidak, Furqon dan Freza sama-sama bungkam saat membicarakan Styani. Namun, ketika aku ingin bertanya langsung pada Styani mereka melarang.
Entah apa yang sebenarnya terjadi diantara semua, seolah-olah aku yang tak tahu apapun.
Yah, mungkin 'tuk sementara aku harus mengesampingkan dulu tanda tanya itu, dan berusaha menikmati alur pelik kehidupan agar selaras dengan kebahagiaan.
Rupanya tinggal menghitung jari setelah pertemuan itu. Yang paling mengejutkan ternyata semua sudah dipersiapkan secara matang olehnya.
Jadi, kemungkinan aku hanya mengikuti arahan serta menikmati hasil.
Meskipun kami belum kembali menjadi suami– istri, tetapi kami tinggal satu rumah.
Tentunya dengan orang tua yang ikut serta mengawasi—takutnya terjadi kecelakaan hasrat terpendam.
Lagi pula, kami juga berada di kamar berbeda. Dia berada di kamar utama—kamar yang akan menjadi kamar kita berdua, sedangkan aku berada di kamar tamu.
Ah, rasanya tak sabar untuk menunggu hari itu. Huft! Gak nyangka bisa rujuk kembali dan tinggal tiga hari lagi ternyata.
Aku memandangi gelapnya malam. Sungguh sangat cerah tanpa ada mendung yang menghalangi. Pijar pun tampak berhamburan dilangit. Dan disempurnakan oleh bulan sabit juga hembusan angin malam.
Selagi menikmati malam, tiba-tiba saja aku dikejutkan sebuah tangan memeluk pinggan rampingku.
Dari aroma tubuh dan parfumnya saja aku sudah bisa menebak siapa pelakunya.
"Mas, nyebelin iish," aku menggerutu dengan tingkahnya yang mengejutkan.
"Nyebelin kenapa hem? Orang gak ngapa-ngapain," dia berujar dengan datar.
Aku yang sebal pun enggan menjawab dan memilih menikmati malam.
Tubuhku menegang—akal telah melalang buana, hingga tak sulit untuk berpikir. Deru napasnya menggelitik kulit leherku, seolah-olah tengah menikmati aroma tubuhku.
Bulu halus di seluruh tubuh pun ikut meremang dibuatnya.
Bahkan dapat dirasakan, dia menggeser rambutku ke samping lalu ....
"Kamu perempuan satu-satunya di hati saya. Bersiaplah! Saya tunggu kamu di ruang tamu kita akan dinner."
Aku masih berusaha mencerna kalimat yang dilontarkan. Beberapa menit setelahnya, aku bergegas memakai mini dress yang dipadukan dengan high heels setinggi lima senti, serta make-up tipis. Tidak lupa membawa sling bag kecil, lalu menemui dia di ruang tamu.
"Mas, saya sudah siap," aku berujar seraya memeluk dia dari belakang.
Tampak dia melepaskan pelukan itu—berdiri penuh wibawa menghadapku.
Akan tetapi, sepertinya dia tengah memandangi secara keseluruhan.
Jantung semakin berdegup kencang, saat dia semakin mendekat. Dia mengangkat daguku dengan ujung jari telunjuknya.
Seketika ketegangan muncul diantara kami. Sorotnya yang dingin seakan-akan menyatu dengan suasana.
"Ganti."
Aku mengkerutkan dahi—tidak paham akan titahnya.
"Apa yang harus diganti?"
"Baju kamu ganti sekarang juga," dia berkata dengan datar, tersirat ketegasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KETULUSAN CINTA
RomanceAndini-wanita berusia dua puluh delapan tahun, mengemban pendidikan di salah satu perguruan tinggi, Jakarta. Dia wanita cantik tapi barbar. Dia menjalin hubungan dengan Freza-laki-laki liar tapi tidak mendapatkan restu. Hingga dia harus menerima per...