11. Tidak mungkin

0 0 0
                                    

Sejak masa-masa kehamilan, aku tidak pernah mendengar dia protes soal keinginan jabang bayi. Yang ada, hampir setiap pulang kerja dia bertanya keinginanku.

Akan tetapi, perut yang sudah semakin membesar membuatku sulit bergerak,  bahkan untuk berjalan sebentar saja sudah kelelahan.

Aku juga sudah tidak diperbolehkan mengantarkan makan siang ke kantornya. Apalagi membantu di resto sudah tidak diperbolehkan.

Dia selalu bilang agar aku istirahat di rumah.

Karena berbagai larangan dia berikan, aku pun meminta izin untuk masuk kelas senam ibu hamil—usai melihat iklan di artikel.

Untungnya saja dia memberikan izin, meski dengan syarat dilakukan saat weekend.

Jika Anda berfikir aku mengikuti senam di kelas tentu salah. Aku memang dibolehkan tapi privat.

Meskipun begitu, aku menurut karena yakin keputusan yang dia ambil demi kebaikan semua.

Setiap weekend, kami melakukan senam hamil terlebih dahulu—dengan tugas dia menopang serta membantu diriku.

Aku sendiri sangat senang—memiliki suami yang memperlakukan diriku seperti permaisuri. Namun rohku seperti ingin tercabut dari raganya, saat  Freza memberikan kabar duka.

Tubuhku limbung dalam dekapannya—tidak bertenaga, serta hampa. Air mata terus mengalir tiada henti; bibir bergetar; lidah kelu 'tuk berucap.

"Mas, kita ke rumah Freza sekarang."

Dia membantuku untuk duduk terlebih dahulu—mengusap lenganku lembut. "Kita ke sana kalo kamu tenang."

"Mas, itu gak benar kan?"

Aku sudah tidak berpikir jernih. Hati ini sangat pedih seolah ada kaca yang menggoreskannya.

Siapapun tolong katakan, kabar itu salah!

Karena ingin tahu kebenarannya aku menenangkan diri—di dampingi olehnya, yang selalu membisikkan kalimat penenang.

Sampai akhirnya kami pergi ke rumah Freza. Di sana sudah banyak sekali orang-orang berlalu–lalang.

Seluruh tubuh rasanya lemas; kaki tidak mampu bergerak; mata memandang nanar.

Perlahan tapi pasti, dia menuntunku ke dalam. Dan ... tubuhku semakin melemas,  serta mata pun perlahan tertutup.

***

Aku mengerjakan mata berulang kali, untuk menstabilkan pandangan yang kabur. Kepala terasa berat; tubuh melemas.

Aku masih mencoba mencerna apa yang terjadi. Sebelum kembali menangis.

"Mas, Styani mana!?"

Hening. Hanya hembusan angin yang kemungkinan mengisi kekosongan. Tampak dia dan Freza bungkam, ketika aku kembali menanyakan keberadaan Styani.

Sampai akhirnya, dia berkata bahwasanya Styani sudah dimakamkan. Tubuhku melemas; hati seperti tercabik-cabik. Bahkan air mata sudah turun begitu saja.

Aku masih tidak percaya, jika Styani meninggal. Namun apa boleh buat, jika pada akhirnya semua akan mengalaminya.

Akan tetapi, hati masih tidak menerima kenyataan itu, meskipun akal sudah menerima. Aku sendiri tidak mampu menghentikan hujan di pelupuk mata, karena hati tengah menjerit kehilangan.

"Mas, bawa saya ke sana, Mas," aku berkata lirih padanya.

"Andini, lu tenang dulu, ok. Gua dan suami lu bakal nemenin lu ke sana kalo lu udah tenang."

Mendengar ucapan Freza membuat amarahku meninggi begitu saja. Karena semakin memuncak, aku melepaskan dekapan Furqon lalu menghampiri Freza dan menamparnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 27, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KETULUSAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang