Karenina - 7

89 25 1
                                    


Karenina – 7

Happy valentine & selamat membaca!

✦✦✦


Aktivitas seperti bangun pagi-pagi, berangkat ke sekolah, mendengarkan guru, mengerjakan tugas, hingga ujian terasa sangat menyebalkan untuk Karen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aktivitas seperti bangun pagi-pagi, berangkat ke sekolah, mendengarkan guru, mengerjakan tugas, hingga ujian terasa sangat menyebalkan untuk Karen. Masalahnya, dirinya sebagai Rania sudah melewati ini bertahun-tahun yang lalu dan sekarang dirinya sebagai Karen harus mengulangi kembali aktivitas melelahkan itu.

Namun, Karen tidak boleh malas. Dia harus memperbaiki citra dirinya, meskipun tidak peduli dengan pandangan orang lain dia harus tetap memikirkan kakaknya. Jika Karen bersikap buruk terus menerus, bukan hanya Karen yang akan dipandang sebelah mata, Daren juga akan merasakan akibatnya. Dia tidak mau bersikap bodoh seperti Karen asli. Dia ingin memiliki kehidupan yang lebih baik dan tidak mau mengecewakan orang-orang yang menyayanginya di dunia ini.

"Karen kenapa ekspresimu berubah-ubah seperti itu, ada apa?" Inka menatap sahabatnya itu bingung, sebentar ekspresi Karen seperti sedang menghadapi masalah hidup yang berat, lalu sebentar terlihat begitu bersemangat karena matanya terlihat berapi-api.

Karen yang sadar telah menunjukkan ekspresi berlebihan mengubah raut wajahnya menjadi datar, "Nggak ada apa-apa," jawabnya singkat.

Inka megangkat bahunya, dia tidak mau terlalu memaksa Karen. Lalu gebrakkan di pintu membuatnya kaget. Melihat sosok di pintu kelas membuatnya menggoyang-goyangkan lengan Karen.

Karen yang sedang menghadap jendela untuk melihat sosok siswa yang menarik perhatiannya di taman sekolah menoleh tidak senang, merasa terganggu.

"Apa sih Inka?"

"Pangeran lo itu. Makin jelek aja mukanya," Inka tidak bohong kalau wajah Bryan -Pangeran Karen- terlihat jelek karena lebam-lebam.

Karen menolehkan kepalanya ke arah pintu kelas dan senyum miring tersungging di bibir merah mudanya.

Bryan mengepalkan tangannya sambil melangkahkan kakinya menuju bangku Karen, karena sang empu tak kunjung bergerak dari duduknya dan justru menatap Bryan dengan sombong dan menantang.

"Lo keterlaluan Karen, lo harus tanggung jawan!" sentak Bryan marah.

"Tanggung jawab? Gue? Emang lo hamil?" dengusnya geli sambil matanya melirik perut Bryan. Dia ingin sedikit mempermalukan lelaki tidak tahu diri ini.

Suara tawa tertahan dari orang-orang di sekeliling semakin membuat Bryan tidak sabar. Wajahnya memerah karena marah dan malu.

"Berhenti main-main Karen atau lo bakal rasain akibatnya nanti," ucapnya mencoba mengancam yang sayangnya percuma.

Karen tersentak, seperti tersadar akan sesuatu dan menundukkan kepalanya, "Jangan Bryan. G-gue bakal tanggung jawab," ucap Karen dengan suara yang terdengar takut.

Raut wajah Bryan terlihat sedikit melunak, hanya sedikit ancaman saja sudah cukup membuat Karen mengkerut. Dalam pikirannya Karen memang masih bodoh dan mudah dimanfaatkan. Benar-benar tidak tahu diri.

Karen merubah raut wajahnya menjadi datar dan senyumnya yang dingin tersungging di bibir tipisnya. Raut taku dan sedihnya menghilang begitu saja, "Lo pikir gue bakal takut sama ancaman ga berguna lo itu?" decihnya.

Bryan menunjukkan raut kebingungan, dia merasa sangat asing dengan sosok Karen yang saat ini sedang berbicara dengannya. Meskipun selama ini dia membenci dan memanfaatkan Karen, namun dia tak bisa mengelak kebersamaan mereka membuatnya sangat mengenal Karen dengan sangat baik. Namun, sekarang ia benar-benar tidak mengenali gadis itu lagi.

"Lo itu siapa Bryan? Lo itu cuma cowok pengecut yang berlindung di balik nama bokap lo itu. Lo yang paling tahu yang berhak mengancam di sini siapa kan?" Karen bangkit dari duduknya sambil merapikan roknya yang sedikit kusut dan melangkahkan kakinya ingin keluar dari kelas.

Karen menolehkan kepalanya pada Bryan yang entah sedang memikirkan apa, "Lo boleh terus bersikap sombong Bryan, karena dengan begitu gua akan semakin senang melihat kehancuran lo," Karen memiringkan kepalanya dengan seyum manis yang tersungging di bibirnya, "Semua pilihan ada di tangan lo," ucapnya sambil melanjutkan langkahnya.

Bryan mengepalkan tangannya, merasa terhina. Bryan tidak memiliki satupun pilihan yang menguntungkan. Pilihannya hanya dua hancur di tangan keluarga Adhigana atau hancur di tangan ayahnya.

Langkah Karen terhambat lagi karena sosok gadis kesayangan Bryan menghalangi langkahnya. Karen mendengus malas, "Minggir, bisa?" tanyanya menyindir.

Tasya menatap Karen tidak suka, sepertinya dia semakin kesulitan menutupi rasa tidak sukannya pada Karen meskipun dia berusaha keras melakukannya, matanya tidak bisa berbohong. Sayangnya orang-orang begitu bodoh dan tidak bisa melihatnya.

"Karen, kamu berantem sama Bryan? Karen ini salah aku. Kamu boleh marah sama aku, tapi jangan marah dan salahin Bryan," Tasya berbicara dengan Karen sambil menunduk sambil mengulurkan tangannya hendak menyentuh tangan Karen, berpura-pura baik hati dan bertindak sebagai yang paling tertindas memang bakatnya.

Karen menghindari tangan kurus itu membuat Tasya hanya menyentuh angin, "Oh jadi lo tahu kalau salah, tapi masih aja diterusin kesalahn lo itu? Lo tahu? Lo adalah orang paling munafik yang pernah gue temuin, Tasya," Sahut Karen malas, "Mending sekarang lo minggir waktu gue masih sabar," terusnya dingin.

Tasya sedikit tertegun, namun tak urung sedikit bergeser untuk membiarkan Karen lewat. Matanya melihat punggung Karen dengan rumit.

Karen, gadis itu seperti tidak memiliki setitik pun kesabaran dan tak pernah bisa menahan emosinya jika berhadapan dengan musuhnya, terutama Tasya. Jangankan membiarkan Tasya berbicara, bahkan Karen tak segan untuk melukai Tasya meskipun dia sama sekali tidak melakukan apa-apa. Namun, saat ini Karen bahkan bisa berbicara dengan tenang tanpa berniat untuk mencelakai Tasya. Hal itu cukup mengherankan untuk bisa dilakukan oleh seorang Karenina.

✦✦✦

Karen menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mencari sosok yang tidak sengaja terlihat olehnya dari jendela kelasnya.

Matanya lalu menangkap sosok yang duduk di balik pohon tua besar yang terkenal angker. Karen tidak mengerti, hanya saja matanya seperti tidak ingin berpaling sejak melihat sosok itu dari jauh. Dia hampir tidak pernah mendekati seseorang terlebih dahulu, tapi kali ini sepertinya dia tidak bisa menahan diri.

"Lo nggak takut kerasukan setan?"

Detik itu ketika matanya bertemu dengan mata teduh yang entah kenapa terasa tidak asing, Karen merasa terlempar ke masa lalu.


✦✦✦

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✦✦✦

Senin, 14 Februari 2022

KARENINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang