001

40.4K 1K 35
                                    

Cinta itu indah diimajinasikan tidak dinyatakan

-

Setiap menusia mendamba bahagia. Alur hidup yang rata tanpa ada cela. Dongeng kehidupan insan dewasa yang penuh drama sering dikeluhkan karena banyak masalah dan tekanan, contohnya teman hidup yang tak sejalan, atasan yang kurang menyenangkan, masih single tapi orang tua tak sabaran, bekerja keras tapi belum dapat yang diinginkan, berbuat baik sayangnya masih diproteskan dan masih banyak hal menyebalkan di usia yang tak lagi remaja. Padahal maunya sederhana saja seperti lulus kuliah, kerja, menjalin asmara, menikah, dikarunia putra lalu hidup berdua sampai tutup usia.

Meski pasangan bukan kunci segalanya, tapi menikah dan berketurunan tetap menjadi idaman beberapa orang manusia agar memiliki teman hidup untuk berbagi tawa dan menangis bersama. Lalu yang dibayangkan dari memiliki suami adalah duduk manja di sofa, memangku kepalanya dengan penuh cinta. Mengusap surai hitam dengan senyum merekah meletupkan perasaan bungah. Mata menyipit saling memandang menyalurkan rasa, memberi tahu masing-masing bahwa hati sudah menjadi miliknya. Manis sekali kehidupan bak drama yang jauh dari realita.

Indah diimajinasikan tidak dikenyataan.

Lihat saja, Jevin memandagi murka batangan bergaris dua. Membanting sewot barang yang dia temukan sepulang kerja di nakas dekat ranjang. Nafasnya memburu tak terima, membaca surat yang dia jumpai di samping testpack milik istrinya.

Ka, aku hamil 3 minggu.

Lelaki berjas itu tertawa hambar dengan kecewa yang menumpuk. Rasa senang yang mestinya dimiliki sebagai suami tidak tampak sama sekali atas hasil yang ada. Sebaliknya, tangan meremas kasar alat pengecek kehamilan untuk meluapkan amarah yang kian menggelora.

Jevin buru-buru mencari perempuan yang hidup satu rumah dengannya. Yang menjadi istrinya sekaligus perempuan yang dia benci selamanya. Kaki melangkah tak sabaran mencari setiap sudut ruangan, menelisik setiap tempat yang sekiranya menjadi persembunyian sang perempuan.

Pada anak tangga paling atas, Jevin berdiri tegas dengan wajah mengeras. Wanita itu menatap suaminya yang sudah menampakkan emosi siap menerkam. Si istri berusaha tetap tenang dengan tangan yang sibuk menyampirkan tas di pundak menandakan kepulangan yang belum lama sampai.

"Ka."

"TOLOL YA LO! BEGO! MAKSUD LO APA? HAH!"

Wajahnya yang cantik jadi menunduk. Senyum sumringahnya luntur berganti murung. Menggigit bibir bawah menelan saliva susah tapi tetap berusaha berdiri tegak. Perlahan, Yara mulai mengembalikan kepercayaan diri, menepis ketakutan akan banyaknya kecaman dan memberanikan diri dengan menatap manik hitam tajam yang suaminya miliki, "Aku hamil."

Lagi, Jevin tampilkan wajah mengejek. "Anak siapa? Lo abis jual diri ke siapa?"

"Kak-"

"MINTA TANGGUNG JAWAB ITU KE BAPAK BIOLOGISNYA!"

"Bapaknya itu Ka Jevin!"

Setelah sempat berapi-api, Jevin malah tertawa lebar. Perut terasa menggelikan karena mendengar penuturan barusan. Tapi lelaki itu tak sungguh bahagia dengan gelaknya, justru Jevin makin stres dengan jawaban istrinya.

"Lo kalo mau nipu pinteran dikit ya. Gue nggak bego! Jelas-jelas, gue nggak pernah ngapa-ngapain lo. Lo mau ngejadiin gue kambing hitam lagi? Lo yang menjajakan diri, gue yang nerima anaknya? NAJIS!"

"Demi Tuhan ini anak Kak Jevin. Kita pernah ngelakuin itu di rumah ini."

"Mimpi? Apa berhalusinasi? Duduk berdua sama lo aja gue nggak sudi! Gue nggak akan mengakui anak itu! Kita tidur aja pisah. Gue yakin lo bikin sama orang lain."

START TO FINISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang