"Ah, soal pertunangan, aku rasa kita tidak perlu berpura-pura mau menjalaninya."
Deg!
Aku terkejut ketika mendengar tuan putri berkata seperti itu, entah mengapa dadaku terasa sesak sesaat dan aku tidak bisa mengatakan apapun. Meski yang di katakan tuan putri ada benarnya, entah kenapa aku ingin menyela dan mengatakan 'aku ingin menjalaninya bersama tuan putri'. Tapi di mana mulutku untuk mengatakannya. Aku hanya bisa terdiam.
Melihat ekspresi tuan putri saat mengatakan itu, aku merasa tuan putri sangat jujur dan tidak terbebani dengan ucapannya. Itu berarti tuan putri juga sepertinya tidak menginginkan pertunangan ini.
Memang pada awalnya aku tidak setuju dengan pertunangan ini, aku bahkan sangat marah pada ayah dan ibu karena merasa hidupku selalu di atur oleh mereka. Lalu dengan perasaan marah aku pergi ke istana menuruti perintah ayah dan ibu, dan tentu saja perintah yang mulia raja. Aku bahkan berniat mengatakan pada yang mulia kalau aku tidak ingin bertunangan dengan tuan putri saat sampai di istana.
Namun, saat melihat tuan putri, saat melihatnya sekali, aku terdiam, aku terpukau, aku terkesima, tekadku yang semula sangat kuat tiba-tiba saja menjadi enggan menolak pertunangan ini, amarahku juga mereda ketika aku melihat wajah cantik nan mungil serta mendengarkan suara nya yang lembut saat dia memperkenalkan diri.
Pertemuan pertama itu seperti menyihirku, aku bahkan merasa ingin lebih dekat dengan tuan putri. Hanya melihat wajahnya dan mendengar suaranya, entah mengapa perasaanku begitu damai. Sangat damai.
Saking terburu-buru ingin menjadi dekat dengan tuan putri, bibirku berucap dengan sendirinya ingin mengantar tuan putri sampai ke kamar pada hari itu. Hari di mana aku merasa jantungku berdegup sangat kencang dengan hanya berdiri di sebalah tuan putri.
Aku tahu, sikapku pada hari itu sangat menyebalkan, aku sengaja melakukan itu karena untuk menutupi rasa gugup ku di depan tuan putri, sedetikpun wajahku tidak pernah tidak memerah saat berdampingan dengannya. Aku hanya berharap itu tidak terlihat jelas.
Terlebih, keberadaan tuan putri yang tiba-tiba menjadi objek rebutan para bangsawan, membuat aku, Axelion dan Lucas benar-benar bisa bertemu kembali, bahkan berbincang meski sudah jelas seperti tengah beradu acting. Tapi hal ini seperti mimpi, keberadaan tuan putri seperti akan mengembalikan seluruh kenangan indah yang pernah terbentuk di masa lampau. Kenangan yang pernah membuatku tersenyum.
"Kalau pangeran keberatan dengan pertunangan ini, sebelum terlambat kita bisa mengatakan nya pada ayah," ucap Ellis seraya memegang lembut secangkir teh.
Meski mendengarnya mengatakan itu, entah mengapa aku tidak bisa menyela sama sekali. "Baiklah."
Aku menatap nanar seorang gadis di hadapanku, dia tersenyum dengan lembut padaku. Bahkan aku bisa merasakan kehangatan hanya dari tatapan dan senyumannya.
"Terimakasih pangeran," ucapnya. Aku hanya bisa terdiam dan mengulas senyuman di wajahku, padahal aku baru saja di tolak secara halus. Bukankah seharusnya aku marah? Tapi lagi-lagi hanya karena melihat wajah dan mendengar suaranya amarahku enggan untuk muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Live [神からの祝福]
RomanceKehidupan yang dijalani Ellis begitu menyakitkan hingga rasanya dia tidak ingin hidup. Berapa kalipun gadis mungil itu meminta kepada dewa agar kehidupannya diberkahi dengan kebaikan, tetapi dewa yang dia percayai tidak pernah mengabulkan pintanya...