4 : Keputusan yang di ambil

14 1 0
                                    

Ting tong ting tong ting tong

"Bisakah kau bersabar?!"

Pintu terbuka, menampilkan dua orang pemuda yang merupakan tetangga di samping rumah tempatnya tinggal.

Yang satu berambut blonde, yang satunya lagi berambut hitam. Keduanya seperti anak kembar, padahal mereka bukan berasal dari keluarga yang sama, keduanya hanya sepasang teman yang sudah bersama sejak duduk di bangku sekolah menengah atas sampai sekarang.

"Hai, Dohyon. Bagaimana kabarmu? Aku lihat, kemarin ada seorang pria masuk ke rumahmu?" tanya si rambut blonde.

Dohyon mengernyitkan keningnya tidak suka. "Kau menuduhku bermacam-macam dengan seorang pria? Aku masih suka wanita asal kau tau. Dan aku tidak menculik anak orang."

Si rambut blonde memicing curiga. Agaknya tidak percaya pada manusia di depannya. Wajahnya tidak meyakinkan dan ekspresinya itu-itu saja. Membuatnya kesal juga lama-lama melihatnya.

"Benarkah? Lalu, siapa yang ada di belakangmu itu?" tanya si rambut blonde sambil menunjuk dibalik punggung si pemuda tinggi.

Dohyon membalikkan tubuhnya dan menghembuskan nafas panjang. Sepertinya Tuhan memang tidak mengizinkannya tenang untuk saat ini entah sampai kapan.

"Bukan siapa-siapa. Kalian tidak bisa melihatnya." ucap Dohyon sebal.

"Sungguh? Aku orang sepertimu, loh." ujar si rambut hitam.

Dohyon mengacak rambutnya kesal. Membukakan pintu dengan lebar untuk kedua orang didepannya. Padahal Dohyon tidak menerima tamu hari ini, tapi si rambut blonde seperti ingin mencari masalah dengannya—dengan terus-terusan berusaha mengintip isi dalam rumahnya.

"Masuklah, Youngseo dan Junseo. Kalian ini seperti anak kembar menyebalkan yang membuatku kesal setiap hari!" ucap Dohyon.

Junseo tersenyum senang menarik tangan sang teman untuk ikut masuk bersamanya.

Dohyon mencebikkan bibirnya seraya mengikuti kedua orang didepannya ikut masuk. Matanya yang sipit itu memicing tidak suka.

"Padahal aku ingin menghabiskan weekend dengan tenang!"



"Produser-nim?"

"Masuk!"

Pintu ruangan 4×4 itu terbuka. Sesosok pria jangkung tersenyum sinis melihat rekannya begitu sibuk dengan gitarnya dan buku lagunya. Padahal bukunya saja terbalik, bagaimana dia bisa membaca setiap baris yang ada?

"Kau yakin bisa membacanya dengan seperti itu? Dimana akal sehatmu, produser-nim?" tanyanya kurang ajar.

Pria yang dipanggil produser-nim itu mendelik tajam. Tidak suka dengan lontaran pertanyaan yang seperti mengejeknya secara tidak langsung.

"Hei paboya, kau tidak lihat dimana letak mataku? Matamu sudah rabun atau sudah lepas?" baliknya bertanya.

Pria jangkung tadi berdecih seraya mendudukan bokongnya pada kursi putar kebesaran sang produser. Ia masih menatap sinis orang didepannya sampai matanya terlihat seperti akan menembakan laser yang bisa melubangi tubuh sang produser.

Soul Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang