1. Maybe We Need a Break

414 64 8
                                    

"Terserah,"

Jawaban ini bukanlah yang paling mengecewakan bagi Amber. Duduk berhadapan dengan sepasang kopi hangat dan derasnya kepingan saju dibalik jendela dingin seperti ini, adalah kali kedua mereka. Hari jadi ke empat, bulan Desember tanggal 15.

Tangan berselimut sarung itu perlahan merayap ke permukaan meja, menyerahkan sebuah kotak kecil pada kekasihnya. Akrab dengan suasana canggung, Amber berusaha untuk tetap tersenyum selama ia bisa. "Selamat hari jadi,"

Tangan Michael menerima dengan kaku, membuka bingkisan berselimut kertas biru muda itu dengan cepat. Amber terdiam seribu kata saat sebuah tawa terdengar, "Kau serius memberiku hal semacam ini?"

Foto hitam putih kala mata mereka pertama bertemu adalah isinya. Michael meletakkan kembali di meja, sama sekali tidak menaruh minat disana. Amber melipat tangan, kedua maniknya tak beralih pada cangkir kopi yang mulai dingin.

Amber nyaris tersentak kala beberapa lembar dolar jatuh disamping kopinya. Ia menatap Michael penuh tanda tanya. "Beli hadiah untuk dirimu sendiri. Aku harus menemui Madeline,"

Nafasnya tercekat begitu saja saat nama Madeline kembali terdengar dalam keadaan yang tidak tepat. Selalu tidak tepat. Tangannya bergetar memunguti polaroid yang berantakan memenuhi meja kafe, Amber nyaris menangis saat sadar Michael tidak menoleh ke belakang sama sekali.

Seperti biasa, percakapan mereka selalu singkat dan berakhir dengan isakkan.

Empat tahun baru saja berlalu, pagi ini Amber tersadar bahwa selama ini hanya ia yang berjuang. Madeline memang cantik dengan segala tipikal Michael melekat padanya, namun disini Amber-lah pemeran utamanya. Amber seperti kehabisan naskah, ia tidak mengerti apa yang kurang darinya.

Michael selalu seperti itu. Berlalu, dan berlalu. Hidup tanpa memberi warna segorespun pada diri Amber. Jika memang hubungan mereka berjalan sesuai apa yang Amber harapkan, ia mampu menggambar satu buket bunga dalam hatinya.

Sementara Michael, pria itu sudah cukup dewasa untuk mengerti apa yang sudah mereka berdua lewati, ini bukan lagi sesuatu yang baik. Amber tidak masalah jika Michael datang dengan tangan kosong dan hanya memberinya hadiah ucapan selamat. Itu sudah sangat cukup, tidak peduli walau itu hanya setangkai lolipop atau makanan murah lainnya, Amber butuh ketulusan dan cinta yang ada disana.

Pertemuan mereka selama satu tahun ini bisa dihitung dengan jari. Ini adalah waktu ke tujuh mereka bertemu, dan keduanya tidak melakukan kontak mata sama sekali. Obrolan Michael di ponsel Amber sudah terkubur sangat dalam, dibawah, bahkan sudah tertimbun oleh ratusan kontak yang bahkan jarang Amber hubungi.

Amber menyerah, kepalanya ambruk bersama dengan kedua tangan yang terlipat diatas meja, ia menangis ditengah keramai dengan isakkan paling menyedihkan kala itu. Lagi-lagi Amber gagal, berjuta kali ia kalah dari Madeline. Perasaannya seperti ukiran nama dalam pasir pantai yang terhapus oleh ombak tak diundang.

Andai semudah itu Michael hilang dari ingatan Amber.

la memilih untuk pulang dengan harap kehangatan rumah masih bersedia menyambutnya.

***

Sepuluh hari menjelang natal, jalanan Berlin kembali disesakkan dengan pejalan kaki. Michael mengedarkan pandangannya ke semua sudut, Madeline sama sekali belum terlihat. Pundak-pundak itu bertabrakan, bertukar aroma parfum satu sama lain, lampu-lampu kuning menyala menghias jalanan dengan bahagia. Beberapa orang menyanyi, dan Michael tenggelam bersama mereka semua.

Pria dengan jaket abu itu melanjutkan langkah sedikit lagi, satu hal menarik perhatian Michael, ia menurunkan payungnya untuk menatap bangunan tua yang mereka sebut gereja. Burung-burung itu nampak kedinginan dibalik pagar.

Satu yang membuat Michael jatuh hati pada Amber, ketulusan hatinya pada alam dan makhluk disekitarnya. Sering kali ia melayangkan tatap pada Amber yang tengah berdiri dengan sekantong penuh makanan burung, pun gaun kuno yang melekat pada tubuhnya. Seakan aroma vanilla yang biasa tercium dari ceruk leher kekasihnya menerpa hidung Michael, ia bisa merakan. keberadaan Amber disini.

Terlalu jauh Michael mengingat indahnya Amber hingga bahunya mati rasa, saat Madeline menepuknya—agak mengusir serpihan salju yang sempat hinggap—hingga sebuah suara menyapa, barulah Michael menolehkan muka.

Tangannya yang hangat menarik telapak Madeline, membuat keduanya berada dalam satu rangkulan, berjalan melewati sesaknya Berlin akan orang-orang yang sibuk, sementara lisannya menceritakan sebuah hal yang menarik.

.
.
.
.
.

winter wishes and promises.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang