7

106 23 0
                                    



"Aish, ini lebih lama daripada yang kukira." Yugyeom berdecak kesal sembari mengacak-acak rambutnya. Diserahkannya beberapa lembar won pada Dokyeom.

"Lain kali aku pasti menang." Timpalnya.

Dokyeom terkekeh.

"Kukira dia akan bertahan, tidak seperti guru-guru sebelumnya. Tapi rupanya ia sama saja." Dokyeom menggoyangkan kepalanya ke arah Jungkook yang kini sudah terpejam di dalam kursinya.

"Sungguh tidak biasanya bocah itu hadir di kelas bahkan menghardik guru. Apa dia kemasukan setan?"

Yugyeom memukul kepala Dokyeom lalu berbisik. "Kecilkan suaramu, pendengarannya lebih tajam dari pisau."

"Apa pisau bisa mendengar?"

Yugyeom menepuk pundak Dokyeom kemudian memukul bagian belakang kepala pemuda itu dua kali.

"Tapi hari ini, kita perlu berterima-kasih pada Jungkook. Karenanya, guru menyebalkan itu sudah pergi."

Dokyeom mengangguk.

"Eh, tapi apa ia benar akan pergi?"

"Tentu. Dia pasti akan tertekan dipermalukan. Jika kita terus seperti ini, kita akan diliburkan. Sangat menyenangkan."

"Tapi Yugyeom-ah," Dokyeom melipat tangannya di depan dada.

"Guru baru itu adalah guru paling muda dan tercantik yang pernah kita punya. Apa tidak apa-apa membuatnya seperti itu?" Tanya Dokyeom

"Ey! Sejak kapan kau memikirkan hal-hal seperti itu? Satu-satunya yang paling cantik di kelas ini adalah..." Yugyeom mengarahkan jari telunjuknya ke tempat duduk di dekat jendela di mana Bambam berada.

"Si Jari Piano dari Thailand itu. Aigoo, lihatlah bagaimana dia bercermin. Apa dia gay?"

Kali ini giliran Dokyeom yang menepak kepala Yugyeom.

"Berhentilah mengoloknya seperti itu. Kau ini apakah kau suka padanya?"

"Ya! Ya! Aku masih normal! Kau kira aku pria macam apa?"

"Mianne. Hanya saja karena kau tidak pernah akur dengan Bambam, seluruh sekolah memperbincangkan kalian sebagai pasangan."

"Sialan! Jangan dengarkan mereka. Aku benci karena ada suatu alasan yang tidak mereka tahu."

"Apa itu?"

"Apa aku terlihat seperti akan memberitahukannya padamu?"

"Ey~ Setelah kalah taruhan, kau menjadi lebih sensitif."

"Sensitif bokong mu!"

KRIIIING

Bel istirahat sudah berbunyi. Bambam adalah orang yang pertama keluar dari kelas tanpa pamit. Jungkook dan Eunwoo masih betah di dalam kelas sedangkan Mingyu sudah menghilang entah kemana. Dokyeom dan Yugyeom sepakat untuk berbincang lebih panjang di kafetaria. Sepertinya mereka yakin betul, tidak akan ada hal-hal mengejutkan yang akan terjadi selanjutnya.

____________________________________

Aku tidak percaya aku sedang berada di toilet sekarang dengan...

rambut basah karena bilasan air atas tepung yang menempel di setiap helainya, baju yang terkena percikan air karena aku berusaha menghilangkan noda tepung di sana serta sepatu yang tingginya tidak sama karena heels yang patah saat terjatuh di kelas tadi.

Suji ada di sampingku. Matanya mengiba.

"Aku baik-baik saja." Kataku.

"Kau benar-benar harus mencari pekerjaan lain, Eunbi-sonsaeng. Mereka akan bertambah buruk setiap harinya." Sarannya.

Aku hanya mengangguk. Mungkin saat ini aku seperti seorang gelandangan yang hanya bertaruh pada satu pekerjaan saja. Aku tidak mau mengungkap identitas ku yang sebenarnya pada guru-guru di sini. Yang tahu aku adalah chaebol hanyalah Si Gendut Bau. Tidak boleh lebih banyak yang tahu ini.

Aku keluar dari toilet dengan Suji yang sudah mendahuluiku. Ia pergi dengan seorang pria yang tidak kukenal. Mungkin pacarnya.

Karena aku tidak cukup lihai untuk memilih teman di sini, aku harus mau repot-repot berjalan ke ruang guru dengan langkah gontai. Sendirian.

Alangkah kaget nya ketika aku sampai di ruangan tersebut. Tidak ada satupun guru yang bisa ku ajak bicara di sana. Semuanya lenyap. Kurasa semua guru di sini sangat menghargai waktu. Mereka mungkin sedang menikmati santap siang dengan beberapa koleganya. Dan aku? Oke, aku harus menelan ludah dan pil kesendirian, mau atau tidak.

"Hari yang kurang baik, Eunbi-sonsaeng?"

Alamak! Aku sampai kaget. Kupikir itu hantu atau alien. Tapi di depanku berdiri Si Tampan Legolas yang tidak memiliki rambut panjang nan blonde. Kim Taehyung, seorang guru kebugaran jasmani yang memiliki postur seperti seorang model kawakan sedang berdiri di depan sekat-sekat mejaku. Ia menenteng sebuah bola di pinggangnya. Adakah yang lebih indah dari ini? Kurasa tidak. Ciptaan Tuhan yang satu ini paling sempurna!

"Ah, begitulah. Anak-anak di kelasku sangat spesial." Kataku sambil tertawa.

"Tepung ini.."

"Ulah mereka." Aku menyelesaikan kalimatnya. Si Tampan Legolas ini hanya mengangguk. Kupikir ia akan pergi karena aku tidak memiliki topik untuk diperbincangkan. Tapi nyatanya, ia malah menarik kursi dan duduk di depanku, berhadap-hadapan.

"Tapi kau cukup hebat untuk bertahan lebih dari lima menit."

"Benarkah? Dari mana kau tahu aku ada di kelas lebih dari lima menit?"

Taehyung berdeham kikuk.

"Itu..." Ia menggaruk tengkuknya. "Semua guru menaruh perhatian pada setiap wali baru di kelas yang kau pegang saat ini. Mereka bahkan menggunakannya sebagai bahan taruhan. Aku mencuri dengar dari beberapa guru. Normalnya, wali biasa akan keluar dari kelas setelah satu menit pertama."

Aku tertawa melecehkan. "Heol. Inikah yang dilakukan mereka di tengah kesusahan ku?"

"Kadang seperti itu." Katanya.

Taehyung memainkan bolanya. Ia memindah-memindahkan benda itu dari tangan kanan ke tangan kiri sementara ia bicara. Kemudian ia melihatku saat aku menatap tak senang padanya.

"Aku tidak ikut taruhan semacam itu. Sungguh! Kau bisa percaya padaku."

Aku melipat tangan di depan dada sementara kakiku dalam posisi tumpang tindih.

"Taehyung-sonsaeng, bagaimana aku bisa percaya padamu sedangkan aku bahkan belum bisa percaya aku berada di sekolah ini? Apakah perkataan mu tidak terlalu cepat untuk seseorang yang baru bertemu pagi tadi?"

Taehyung menatapku. Ia membuatku kikuk sementara dirinya tidak berkata apapun. Aku memandang bola yang dipegangnya siapa tahu ia berhenti menatapku seperti itu. Oh ayolah, matanya tetap berada di wajahku. Apa dia menganggap aku cantik? Apa dia akan mengatakan bahwa aku adalah tipe idealnya?

Duh! Apa sih yang kupikirkan setelah semua kalimat yang kukatakan tadi? Aku seperti orang bodoh saja!

"Kalimat mu berlaku juga untuk dirimu, Eunbi-sonsaeng."

"Maaf?"

"Apa kau berencana untuk segera meninggalkan pekerjaan ini?"

Aku mendesis dan berdecak.

"Yang benar saja. Hidupku bergantung pada pekerjaan ini." Kataku. Dalam kalimat itu mungkin aku terdengar seperti pengangguran yang tidak bisa bekerja jika aku keluar dari sekolah ini. Apa boleh buat, meski sedikit melukai harga diriku, aku harus menjaga rahasiaku serapat mungkin.

"Kau akan bertahan?"

"Sepertinya. Hanya sampai mereka lulus di ujian akhir."

"Kau pikir kau bisa menangani mereka?"

"Tidak juga."

"Lantas bagaimana kau bisa membuatnya lulus di ujian akhir?"

Hening.

Oke, aku tidak memikirkan sampai sejauh itu. Benar juga! Bagaimana aku membuat tujuh anak nakal ini bisa lulus ujian?



TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA ♥️

SEE YOU NEXT TIME

SEVEN TROUBLED MENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang