10 : Amanah Besar

47 15 2
                                    

"Perkenalkan, saya Ria, bundanya Dani."

Begitulah perempuan berjilbab lebar itu memperkenalkan diri kepada Nuansa.

Nuansa masih berdiri mematung. Mengamati penampilan wanita itu dari atas hingga ke bawah. Ia merasa ragu. Apakah benar? Wanita seanggun dan sesyar'i ini adalah ibunda dari cowok berandalan macam Adam alias Dani itu? Bahkan jilbab uminya pun tidak sepanjang dan selebar jilbab milik wanita di depannya.

"Nak?"

"Eh? Iya?"

Wanita itu tersenyum. Seakan ia tahu apa yang ada dalam kepala Nuansa. Ya, pasti gadis di depannya heran dengan penampilannya, sementara putranya sendiri berpenampilan berandalan dan sering disebut preman oleh orang-orang.

"Saya Nuansa, Tante." Ujar Nuansa cepat tak ingin wanita di depannya risih. Setelah itu, ia ulurkan tangan kanannya kepada lawan bicaranya.

"Wah nama yang sangat indah." Puji Ria sembari menjabat tangan Nuansa.

Nuansa membalasnya dengan tersenyum kikuk, sebelum tangannya kemudian dilepaskan oleh lawan bicaranya.

"Ohiya, ayo kita langsung masuk saja." Usai mengatakannya Ria segera menggandeng tangan Nuansa, membawanya masuk ke dalam kafe di dekat kampus anaknya. Sementara itu, yang digandeng masih sedikit syok dan tidak tahu dirinya harus berbuat seperti apa setelah ini.

Cukup minta gamisnya, setelah itu sudah, kamu pamit undur diri. Nuansa meyakinkan diri.

"Nuansa mau pesan apa?"

"Cappucino, Tante."

Minum cappuccino sebentar tidak akan menjadi masalah bukan?

"Eh... Jangan panggil tante, bunda Ria saja bagaimana?" Kata wanita itu berusaha mencairkan suasana.

Nuansa melongo. Tunggu, bunda? Ah yang benar saja. Masa Nuansa harus memanggil ibunda dari cowok berandalan itu dengan sebutan bunda sih? Kan Nuansa baru kenal. Dan lagi, Nuansa bukan anak atau calon mantunya? Eh, tunggu, calon mantu? Tidak tidak tidak.

"Mbak, cappucino saja dua." Ucap Ria pada pramusaji yang mendatangi meja mereka.

Setelah pramusaji itu pergi, Ria kembali membuka percakapan dengan Nuansa.

"Maaf yah, bunda sudah mengganggu waktu kuliah kamu."

"Ngga kok, Tante."

"Bunda saja..."

Lagi, Nuansa hanya mampu membalasnya dengan senyum yang kikuk.

"Ohiya, ini. Ini gamis milik Nuansa. Sudah bunda cuci dan setrika." Wanita itu menyerahkan paper bag berwarna ungu muda yang sedari tadi ditenteng tangan kirinya.

"Terimakasih, Tante." Balas Nuansa menerima paper bag itu.

"Tante yang seharusnya bilang terimakasih. Terimakasih ya Nuansa. Karena, berkat Nuansa, tante tidak perlu repot-repot menjemput anak laki-laki tante di kantor polisi."

Lagi dan lagi. Nuansa hanya bisa membalasnya dengan tersenyum kikuk. Nuansa rasa ucapan terimakasih itu tak perlu, karena semenjak bertemu dengan cowok berandalan itu di kafe, Nuansa menyesali perbuatannya. Nuansa malahan menganggap pertemuannya dengan Adam Syauqi Daniyal adalah suatu musibah. Ah, sungguh, Nuansa sangat merasa tidak nyaman dan ingin segera menyudahi saja kegiatan basa-basi yang tak tentu arah ini.

Nuansa | On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang