"Bagus, putri kesayangan umi udah bisa balapan, ya?"
Begitulah kalimat yang menyambut kedatangan Nuansa tatkala kakinya baru saja melewati pintu. Di sana Najwa duduk sambil fokus menatap layar ponsel. Tanpa melihat pun Nuansa tahu, yang sedang ditonton oleh sang umi adalah video dirinya ketika malam itu. Karena dari tempat Nuansa berdiri, Nuansa dapat mendengar suaranya yang begitu lantang menantang Adam untuk balapan.
"Dan umi baru tahu lho, sekarang Ayu udah berubah wujud jadi laki-laki." Kata Najwa yang kini sudah mengalihkan perhatiannya pada kehadiran Nuansa.
Mendadak tenggorokan Nuansa terasa mengering. Gadis itu berusaha menelan ludahnya dengan susah payah. Namun cairan itu entah lenyap kemana.
"Jadi ini balasan buat keringat umi? Jadi ini hasil jerih payah umi selama ini? Jadi ini yang katanya kamu akan membahagiakan umi? Kalo iya, selamat, kamu sudah berhasil."
Serangan bertubi-tubi itu sukses membuat Nuansa menunduk.
Seharusnya hari ini sudah bisa diprediksi oleh Nuansa, bahwa sang umi akan mengetahui kebenarannya dan akan marah besar terhadap Nuansa. Tapi sampai kapanpun, Nuansa rasa dirinya tak akan pernah siap menghadapi kemarahan sang umi yang siap menelan siapa saja yang ada dihadapannya.
Ini salah Nuansa. Dan Nuansa tahu itu.
Kesalahannya bukan hanya satu atau dua, melainkan berlapis. Kesalahannya bermula dari ketidakjujuran Nuansa. Sehingga kesalahan-kesalahan yang semula ia anggap kecil, kini telah berubah menjadi bola salju raksasa yang siap menghancurkan Nuansa seketika itu juga.
Sungguh, Nuansa tak berani menatap tatapan tajam itu barang sedetik saja. Tatapan itu pernah Nuansa lihat, dihari sang abi kembali ke rumah setelah pergi berhari-hari lamanya. Hari dimana uminya tahu bahwa sang abi selama ini bermain di belakang dengan wanita lain di luar sana. Hari dimana sang abi berkhianat.
Sungguh Nuansa tak pernah menyangka, kini, detik ini, tatapan itu dilayangkan kepadanya. Kepada Nuansa yang dianggap juga telah berkhianat.
"Mana hp kamu."
Dangan tangan gemetar Nuansa mengeluarkan benda persegi panjang pipih itu dari dalam totebagnya.
"Kontak motor."
Benda mungil dengan gantungan beruang kecil itu pun Nuansa letakkan di atas meja.
"Mulai besok umi yang akan mengantar jemput kamu ke kampus."
Setelah menyampaikan itu, uminya berdiri meninggalkan Nuansa yang berdiri mematung di ruang tamu.
Mata Nuansa kini mulai memanas. Ada yang mengganjal. Kali ini kemarahan sang umi terasa begitu berbeda dengan kemarahan-kemarahan sebelumnya. Kali ini kemarahan sang umi terasa begitu sedih, terlihat menyerah, dan bercampur kecewa. Tanpa bisa Nuansa tahan, kini butiran bening itu turun dengan lancarnya, menyusuri pipi Nuansa.
Gadis itu menangis. Menangis dan terus menangis. Kakinya terpaku, tak sanggup melangkah barang satu langkah saja untuk mengejar sang umi dan menjelaskan kejadian balapan itu sejelas-jelasnya. Namun, semua kosa kata dalam mulutnya juga seakan lenyap. Yang ada hanya sesak. Pikirannya sesak. Semua kosa kata itu hanya terperangkap dalam kepalanya.
Bertepatan dengan itu, sayup-sayup suara adzan ashar mulai berkumandang. Nuansa menggigit bagian dalam pipinya. Matanya yang basah mulai menengadah, menatap langit-langit ruang tamu itu. Pada akhirnya yang bisa Nuansa lakukan hanyalah berpasrah diri kepada Sang Pemilik Hati.
Andai saja dulu Nuansa tak meminjamkan gamisnya, pasti Nuansa tak akan mengenal Adam Syauqi Daniyal dan tak perlu masuk dalam dunia laki-laki itu. Andai dulu Nuansa menuruti perkataan sang umi, pasti hatinya tak akan jatuh terlalu dalam pada perasaan yang tak semestinya ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nuansa | On Going
SpiritualStart : Kamis, 16 September 2021 Finish : - Nuansa adalah gadis pecinta warna pastel yang sedang belajar menjadi seindah-indahnya perhiasan dunia. Namun, di tengah-tengah usahanya belajar, dia bertemu dengan Adam. Sosok cowok berandalan yang kerjaan...