7 : Hadiah Umi

74 23 5
                                    

Setelah mendapat kabar buruk tidak ada kelas pagi, pukul sembilan Nuansa memutuskan berputar-putar menggunakan si putih mengelilingi kota Jakarta. Sudah lama Nuansa tidak pergi tanpa tujuan seperti ini.

Biasanya gadis itu akan melakukan hal serupa ketika sedang ngambek pada sang umi. Tapi kali ini berbeda, Nuansa melakukannya karena ingin melepas penat setelah Minggu belakangan disibukkan oleh tugas kuliah.

Puas berputar tanpa tujuan, Nuansa menepikan motornya di depan sebuah kafe yang baru saja buka. Namanya kafe Oranye. Kafe andalan mahasiswa yang memiliki kantong tipis seperti Nuansa.

Nuansa memilih tempat duduk di sebelah jendela agar matanya bisa dimanjakan oleh pemandangan kendaraan yang berlalu lalang. Beberapa menit setelah duduk, seorang pelayan datang menghampiri.

"Kopi susu brown sugar satu..." Nuansa kembali membalik buku menu itu, menelusuri menu demi menu yang sesuai dengan kantong dan perutnya.

"Sama pancake banana satu."

Pelayan itu pergi. Kini mata Nuansa kembali leluasa menatap jalanan ibu kota. Detik demi detik Nuansa hanyut melihat keramaian jalanan. Gadis itu tak menyadari di belakang mejanya kini sudah diisi oleh pemuda-pemuda yang berisik luar biasa.

"Lo denger tadi? Abang Dani pangeran teknik. Hahaha."

"Najis anjir!"

"Hahaha jijik gue denger si Dani di panggil pangeran teknik."

"Bisa-bisanya cewek di kampus kita pada tertarik sama biadab kaya Lo."

"Berisik Lo pada. Buru pesen, gue ada janji jam sebelas."

Begitulah obrolan lima pemuda yang duduk di belakang Nuansa. Nuansa tak acuh. Ia masih asyik dengan dunianya. Baru setelah seorang pelayan mengantarkan pesanannya, gadis itu berhenti menatapi jendela.

Secangkir kopi susu dengan pancake banana tersusun cantik di depan gadis itu. Seperti biasa, melihat yang cantik-cantik seperti itu, tangan Nuansa dengan gemas memotretnya dengan filter Instagram. Gadis itu terus memotret hingga mendapatkan gambar yang diinginkan.

"Yeay cakep." Ujarnya lalu meletakkan ponsel itu di meja.

Nuansa meraih cangkir, dihirupnya aroma kopi susu yang masih hangat, rasanya sungguh menenangkan. Puas menghirup aromanya, perlahan ia mulai menyeruput kopi itu sedikit demi sedikit. Setelah kopi tersisa separuh, cangkir kembali ia taruh, tangan Nuansa selanjutnya beralih meraih pancake banana. Lalu sesendok demi sesendok ia masukkan ke dalam mulutnya.

Drrtt... drrtt...

Di tengah-tengah kegiatan menikmati pancake, ponsel Nuansa bergetar. Gadis itu segera meraihnya, lalu dibukalah pesan itu. Dari sang umi rupanya.

Umik Cans : gamis lavender yang kebesaran ditaruh dimana? jam dua umi mau ke tukang jahit.

"Gawat!" Pekik Nuansa tanpa sadar.

Untung pengunjung kafe masih sedikit.

Nuansa segera menghabiskan makanan dan minumannya, setelah habis, ia segera berdiri lalu berjalan ke arah kasir. Urusan dengan bayar membayar selesai, Nuansa pun buru-buru keluar dari kafe. Hendak mencari gamis yang serupa dengan yang dibelikan oleh uminya, atau jika beruntung ia akan mengambil kembali gamisnya dari pemuda yang telah membawanya.

Tapi begitu sampai di parkiran, kunci si putih tidak ada di tas atau saku rok. Nuansa panik, ia kembali masuk ke dalam kafe. Dan benar saja, kunci motornya masih tergeletak berdampingan dengan vas cantik di atas meja. Nuansa segera mengambilnya.

Gadis itu bernapas lega. Ia masih memiliki waktu sekitar empat jam untuk mencari gamis. Biar uang tabungan Nuansa terkuras untuk itu, yang paling penting bagi Nuansa adalah tidak ada perang dunia di antara dirinya dan umi Najwa.

Nuansa | On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang