Di malam yang gelap, ditengah hutan, dengan asap yang mengepul hingga ke langit.
Seorang pemuda dan seorang gadis kecil. Mereka memutuskan untuk makan malam bersama dengan di temani api unggun di tengah mereka.
Kenapa jadi seperti ini?
Gadis yang seharusnya sudah pergi menjauh dari sini kenapa malah datang ke tempatku? Ini semua salah daging ini!
Mau, tak mau aku harus memberinya makan, terlihat dari mulut gadis ini, ia makan dengan rakusnya. Tidak apakah jika makan seperti itu? Kau bisa tersedak jika makan tergesa-gesa seperti itu.
Apa ini perasaan yang dirasakan orang tua saat melihat anak mereka makan?
Apa namanya? Gelisah?
Mungkin itu namanya.
Cain memandangi gadis dihadapannya yang makan daging tusuk dengan lahapnya. Wajahnya yang merona dan bibirnya yang dipenuhi sisa makanan, membuat Cain penuh perasaan resah.
Tanpa melakukan apapun, daging tusuk milik Cain masih tak tersentuh. Entah melihat gadis ini membuat nafsu makannya berkurang atau memang tak ingin makan untuk saat ini.
Berusaha untuk tidak memikirkan apa yang ada di depanya ini, ia menggigit daging tusuknya, perlahan melahap daging itu dan menikmatinya sebisa mungkin. Karena dari raut wajahnya, terlihat seperti memaksakan dirinya.
Hari semakin larut, tekanan di dalam hutan semakin mencekam karena sangat gelap.
Craak. Kayu api yang semakin lama semakin mengecil.
Cain dan gadis ini duduk berhadapan satu sama lain. Gadis ini memeluk kakinya dan menatap bawah. Sedangkan Cain mengangkat dagunya dengan tangan kanannya.
"Hei, kenapa kau bisa tahu aku ada disini? Apa kau mengikutiku? " tanya Cain yang menaikan alis kirinya.
Ia tak lagi berpikir bahwa gadis ini datang padanya hanya karena makanan. Karena sedari awal Cain menyelamatkannya Cain sudah menyuruhnya untuk pulang, jadi mustahil jika itu disebut kebetulan karena aroma sebuah daging bakar.
Bukankah dia dapat pulang dan menikmati makan malam bersama keluarganya.
Gadis ini menggesekkan kedua tangannya. "M-Maafkan kau... " ekspresi sedih tersirat pada wajahnya.
Tapi, Cain yang melihat itu memasang muka masam. Ia merasa tak sanggup menangani hal ini dan menghela nafas besar dari mulut dan hidungnya, Cain membuang muka.
"Dasar... " Cain menggaruk-garuk belakang kepalanya.
"Dimana orang tuamu? Tempat tinggalmu? " Cain melanjutkan ucapannya, menatap dingin pada gadis ini.
Mungkin dengan menanyakan itu semua Cain bisa mendapatkan sebuah petunjuk akan; Apa? Dimana? dan Bagaimana? Gadis kecil bisa berada di alam liar seorang diri.
Dan tak seperti yang Cain harapkan, jawaban dari gadis ini membuat suasana semakin sunyi. Gadis ini menggelengkan kepalanya untuk menjawab semua pertanyaan Cain.
....
"Ah... Dasar! Jawab saja pertanyaanku apa kau tidak punya mulut? Bukankah kau punya satu yang kau gunakan untuk memakan daging tadi!? " Cain sudah pada batasan emosinya dan akhirnya pecah juga. Berteriak marah pada gadis ini.
Walau hal ini terdengar kasar. Namun Cain sendiri tahu bahwa ini bukanlah hal yang dapat dikatakan kepada anak kecil. Dan karena inilah berhadapan dengan orang lain, apalagi anak kecil. Cain sama sekalo tak dapat beradaptasi dalam situasi ini.
Justru dengan ini, Cain berpikir mungkin akan mendapatkan jawaban abstrak dari gadis yang bahkan telah diselamatkannya. Dan wajar bagi Cain berpikir seharusnya anak kecil tak berkeliaran di tengah hutan, dengan tubuh dan keadaan lusuh seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'am The Irregular Villain Of Soul Eater [HIATUS]
Fantasy[ Volume 1: Arc Soul Revenge ] Sinopsis: Di dunia ini dominasi dunia meliputi yang kuat akan selalu menang dan yang lemah akan selalu kalah. Meski kesempatan itu hanya 0.1% akan ada saat dimana yang selalu kalah, akan menjadi pemenang. Itulah yang...