"Saya sudah bilang, ibu tidak perlu datang lagi. . ."
Mereka berdua tengah duduk di dalam gubuk kecil milik Sekar. Ibu tabib yang seminggu lalu mengobatinya datang kembali. Tidak datang begitu saja, dia bahkan membawa banyak sekali barang.
"Ibu mau ceritakan sesuatu. Ibu pikir kamu harus tau ini" Tak ada jawaban sama sekali dari Sekar. Dia hanya menatapi wanita tua itu dalam pandangannya yang kosong.
"Kamu tahu, sudah 6 tahun sejak kejadian itu. Beberapa tahun belakangan, banyak warga yang tiba-tiba membahas kejadian itu lagi. Zaman juga semakin maju, pikiran warga ikut maju. Mereka semua merasa bersalah terhadap kejadian yang menimpa kalian." Tabib itu mengusap tangan Sekar, memberinya simpati sebagai sesama perempuan.
"Untuk apa ibu ceritakan itu? Yang sudah berlalu, saya tidak pikirkan lagi. Saya sudah ikhlas" Jelas sekali tercetak dalam ekspresi tegar yang dikeluarkan wajahnya, pengalaman membuatnya menjadi perempuan yang tangguh.
"Ibu tidak paksa kamu untuk kembali lagi. Tapi bila sewaktu-waktu kamu merasa ingin kembali, kamu sudah tahu bahwa kami semua menerima kamu dengan baik."
"Saya sudah cukup dengan putra saya, Bu. Kami bisa hidup baik juga disini."
"Kamu tidak boleh egois, anakmu sudah besar. Dia butuh pendidikan."
Perempuan muda itu diam. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Yang pasti, sudah beberapa menit berlalu dan tak ada percakapan antar mereka. Hingga sang Tabib buka suara.
"Ibu bawa beberapa lembar kain, juga peralatan jahit. Kamu bisa pakai untuk membuat baju anakmu. Dan ini sedikit bibit buah." Belum sempat Sekar menolak pemberian itu, Abimanyu yang datang dari arah sungai memanggilnya.
"Bu'e!" Panggil anak itu bersemangat.
Perhatian Sekar tidak tertuju pada anak semata wayangnya itu, melainkan seorang anak yang bersamanya. Keningnya berkerut, menandakan ia tak menyukai keberadaan seorang anak yang baru dilihatnya itu. Lantas ia menarik Abimanyu untuk menjauh dari anak itu. Abimanyu yang tidak menyadari sikap ibunya itu pun malah memperkenalkan seseorang yang baru ditemuinya itu.
"Bu'e, ini Damar. Dia mau bantu Abi carikan ikan buat Bu'e"
"Tidak perlu, Bu'e sudah tidak ingin"
Abimanyu melihat wajah ibunya yang menampilkan ekspresi datar. Anak itu pikir, perasaan ibunya sedang tidak enak saat ini. Jadi dia hanya membalas perkataan ibunya dengan anggukan.
Sementara Ibu Tabib sedari tadi melihati Damar yang diam saja, lantas mengajaknya berbicara.
"Nak Damar, kesini dengan siapa?"
"Sendiri, Bu" jawabnya singkat. Damar ingat bahwa dahulu saat ia sakit, dirinya dirawat oleh ibu tabib yang baik ini.
Perempuan tua itu mendekatinya, peka bahwa anak ini pergi tanpa siapapun mengetahui keberadaannya.
"Sudah mau gelap, mari pulang"
• • •
Langit sudah gelap saat Damar dan Ibu Tabib memasuki tugu "Selamat Datang" desa. Sedari tadi pikiran Damar dipenuhi oleh Abimanyu. Sewaktu pulang tadi, Damar menangkap ekspresi wajah tak enak dari Abimanyu. Apa anak itu marah padanya karena ikannya tak jadi Damar carikan? Biarlah, lain kali dia akan kembali lagi untuk menemui bocah itu.
Selang 5 menit mereka masuk desa, sampailah didepan masjid yang sedang mengumandangkan adzan. Di sana mereka bertemu dengan Ayah Damar yang terlihat panik dan kelelahan.
"Dari mana saja kamu, Nak. . . Ibu mu khawatir" Ucapannya menyimpan nada kelegaan. Pria itu sibuk mengusap keringat di dahi anaknya yang kini sudah ada di gendongannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAMAR [BL]
Romance[BxB] Kisah lokal pasangan terlarang, berlatar tahun 1960. -Oleh Erurance pada 2022-