"Kenapa Zo?"
Aku membelalak dan mematung di tempat.
Fuck.
Kenapa malah Kevin, sih? Kenapa bukan Leo?
Aku menelan ludah. "Aku ... aku ...." APA YANG HARUS KUKATAKAN? "Aku lagi nonton drama Korea."
"Sejak kapan?"
Sial. Kevin tahu aku tidak suka nonton drama Korea. Meski dalam dunia persilatan aku tampak seperti bottom yang begitu sensitif dan rapuh, yang kemungkinan menyukai drama Korea, aku justru enggak menikmati apa pun yang berasal dari Korea. Aku lebih kebarat-baratan. Lebih memilih Mariah Carey daripada NCT.
"Lagi ... lagi happening di Tiktok. J-jadi aku nonton, Mas."
"Judulnya?"
Aku tidak tahu judul drama Korea yang lagi happening apa. Aku tahu, sih. Tapi masa iya judul yang itu? Tapi aku tidak tahu alternatif lain. Jadi kujawab saja, "All of Us are Dead."
Kevin menyipitkan matanya, ingin mencoba memercayai kata-kataku, tapi kelihatannya sulit. Mungkin dia tahu film All of Us are Dead tidak akan ada adegan sedihnya. Atau ada? Entahlah. Aku kan enggak menonton.
Untungnya, Kevin segera mengganti topik. "Boleh aku masuk?"
"Boleh, Mas." Kubuka pintu lebar-lebar, kubiarkan Kevin masuk, lalu kututup pintunya. Buru-buru kulap wajahku yang basah dan mengerikan dengan handuk di belakang pintu. Kutarik napas dalam-dalam, bersiap menghadapi apa pun.
Kevin celingukan. Mungkin mencari di mana laptop yang sedang terbuka dan menayangkan All of Us are Dead.
Laptopku tertutup rapat. Di dalam tas laptopku. Di dalam ranselku. Kamarku rapi karena besok pagi aku akan berangkat ke Bandung selama empat hari. Koperku juga sudah kusiapkan di satu sudut kamar.
Untungnya lagi, Kevin tidak mempertanyakan itu. Dia meletakkan tas kerjanya ke atas mejaku, membuka kancing di pergelangan tangannya, dua kancing teratas kemejanya, lalu membuka sepatu. Persis seorang suami yang baru pulang dari bekerja.
"Makasih ya udah kirimin barang-barangku ke Surabaya," mulainya dengan senyum ganteng yang selalu membuatku meleleh.
"Iya, Mas."
"Kamu mau lanjut nonton, atau ...?"
"Oh, enggak, Mas. Udah. Aku udah selesai. Tadi nangisnya karena udah tamat."
"Gimana tamatnya? Temen-temen aku di kantor juga pada nonton. Pada ngomongin sekali dua kali di grup. Tapi aku enggak paham."
Aku tidak tahu tamatnya gimana. Jadi kujawab saja, "Semuanya mati, Mas," sesuai judulnya. "Jadi aku nangis."
"Oh, oke." Kevin manggut-manggut dengan canggung.
Tunggu. Rasanya ada yang aneh. Biasanya Kevin akan bersikap biasa-biasa saja kalau dia mengunjungi kamarku. Antara dia mau berbagi makanan denganku, menggangguku dan bertanya soal Niza, atau membahas kasus di firmanya yang penuh drama dan butuh pendapatku untuk melihat perspektif baru.
Kenapa Kevin malam ini tampak seperti menyembunyikan sesuatu?
Kenapa dia diam saja, sambil memainkan tumitnya di atas lantai?
"Kenapa, Mas?" tanyaku, seraya duduk di atas kursi belajar, dengan tampang serius. Ini adalah malam terakhirku mencintainya. Besok dunia Kevin sudah akan diisi oleh Niza. Jadi aku tak mau Kevin kelihatan galau seperti ini.
"Gapapa." Kevin menarik napas panjang. "Malam ini aku tidur di sini, ya?"
Aku membelalak kecil. Ini kali pertama Kevin menginap di kamarku. Bertahun-tahun kami bertetangga, belum pernah dia tidur di kamarku. Mengapa harus malam ini, sih Mas? Aku kan ingin melupakan perasaanku kepadamu malam ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
(2) Malam Terakhir
RomanceGay theme. Explicit. Dalam dua hari ke depan, orang yang kucintai selama lima tahun terakhir akan menikah. Namun, bukan menikah denganku. Dia akan menikahi kakak kandungku, pindah ke Surabaya, dan kami hanya akan bertemu setiap lebaran. Itu pun kal...