Empat

7.2K 203 10
                                    


Enggak. Kami enggak bercinta malam itu.

Aku marah dan mengusir Kevin dari kamarku. Kevin mengambil celana dalamnya, pindah ke kamarnya, tidur di atas ranjang yang tidak berseprai.

Semalaman, aku menangis di atas tempat tidurku.

Aku tak sanggup menerima ciuman yang kutunggu-tunggu pada malam yang sama aku ingin melupakan ciuman itu.

[ ... ]

Keesokan paginya, semua terasa lebih canggung.

Kevin mengetuk pintu kamarku, sudah siap berangkat ke Bandung. Aku juga sudah siap. Namun ketika keluar kamar, aku mengenakan kacamata hitam agar tak ada yang melihat sembapnya mataku. Akan kutenggerkan kacamata ini di hidungku sepanjang sisa hidupku.

"Kamu gapapa, kan?" tanya Kevin. Tampak kacau juga, sih. Mungkin dia enggak mandi.

"Bukan urusan Mas. Ayo."

Kevin yang menyetir mobil ke Bandung. Aku duduk di jok penumpang sebelahnya. Cemberut sepanjang perjalanan. Setidaknya hingga KM 50, aku tak sudi bicara dengan Kevin. Aku duduk bersila, membuat lutut kanan berada di belakang persneling, sehingga Kevin kesulitan mengganti gigi.

Setiap Kevin mau mengganti gigi, dia harus mengangkat lututku dulu, baru dia bisa mengganti persnelingnya. Aku enggak peduli kalau kami kecelakaan gara-gara itu. Sekalian mati aja, deh. Gapapa.

Aku melipat tangan di depan dada sepanjang perjalanan. Aku tidak mengecek ponsel. Aku tidak melakukan gerakan apa pun selain menatap ke luar jendela di sampingku, dan bernapas.

Lewat KM 50, baru deh Kevin mengajak bicara.

"Do you love me?" tanyanya.

Aku tidak menjawabnya.

"Do you love me?" ulang Kevin.

Aku masih tidak menjawabnya.

"Kalau kamu cinta aku, tolong jangan bikin aku sedih."

"Ck!" Aku berdecak kesal. Karena dia benar. Kalau aku mencintainya, tidak sepatutnya aku membuatnya sedih. Perasaan cinta ini kan harusnya urusanku. Mengapa jadi mengubah persepsiku kepada Kevin hanya karena dia memilih jalan untuknya sendiri?

Aku sudah memikirkan ini semalaman. Sambil menangis. Dan sambil memutar lagu-lagu Adele. Sengaja kukeraskan sedikit musiknya agar Kevin bisa mendengar sehancur apa hatiku melalui lagu-lagu patah hatinya Adele. (Kemudian, tetanggaku di sebelah yang lain mengetuk pintu dan memintaku mengecilkan volume musik. Yang alim itu, lho.)

Menjelang pagi, pikiranku sudah lebih waras. Semua drama yang menguasai kepalaku akhirnya terurai satu per satu. Aku mulai berpikir jernih. Mulai menerima bahwa Kevin melakukan yang terbaik untuk kami berdua.

Untuk menghadapi perubahan yang lebih baik, manusia harus melewati proses yang menyakitkan. Yaitu, perubahan itu sendiri. Sudah saatnya aku move on dengan mengubah hidupku. Menerima fakta bahwa aku tak akan melihat Kevin lagi setiap hari, karena Kevin akan menikahi kakakku.

"Do you love me?" ulang Kevin lagi sambil terkekeh kecil.

Aku jadi ikutan terkekeh. Merasa semua drama yang kulakukan semalam sebagai tindakan terkonyol yang pernah kulakukan seumur hidup.

"Sekarang udah enggak," sahutku angkuh.

"Yakin?"

"Iya!"

"Aduh, sayang banget. Padahal aku masih pengin cium kamu."

BUK! Kutonjok lengan Kevin, sampai-sampai dia nyaris membuat mobil ini terjungkal. Kendaraan kami sempat goyah ke kiri sedikit. Untungnya sedang tidak ada kendaraan apa pun di sekitar kami.

(2) Malam TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang