Kimberly yang lama telah mati.
.
.
.
.
.Di sebuah kamar mewah, poster seorang pria tampan mendominasi dindingnya, seolah menjadi penjaga diam yang selalu mengawasi. Di bawah kilau lampu kristal yang terpantul di cermin-cermin besar, seorang gadis berambut panjang berdiri kaku di tengah ruangan, wajahnya pucat dengan sorot mata penuh kebingungan dan kemarahan.
"Aku kembali? Ta-tapi kenapa? Kenapa harus dengan kehidupan yang sama?" bisiknya, suaranya gemetar di antara ketakutan dan frustrasi, kepalanya berdenyut sakit. Matanya bergerak cepat, memindai setiap sudut ruangan yang seakan memenjarakan dirinya lagi dalam kenangan. Tak ada yang berubah—tempat tidur mewah, meja rias penuh produk kecantikan bermerek, dan poster-poster pria yang dulu mungkin membuatnya merasa nyaman. Kini semua itu terasa asing, menjijikkan.
Dia melangkah pelan, kaki telanjangnya menyentuh karpet lembut yang tak memberikan kehangatan apa pun. Di depan cermin besar, ia berdiri, menatap bayangannya sendiri dengan tatapan tak percaya. Wajah itu, tubuh itu—semuanya sama. Semuanya persis seperti di kehidupan sebelumnya.
“Sial! Kenapa aku harus kembali di tubuh ini?” katanya keras, menatap cermin dengan amarah yang mendidih. Tangannya menyentuh pergelangan tangan, seolah mencari sesuatu yang hilang. Lalu, jemarinya perlahan naik, mengelus lehernya yang masih terasa ngilu—bekas luka yang mengingatkannya pada kesakitan yang pernah dirasakannya sebelum mati.
Seketika, senyuman sinis menghiasi bibirnya. Matanya berkilat, tak lagi dipenuhi ketakutan, melainkan dendam. Dendam yang pekat dan menghancurkan. Kim tertawa pelan, tawa yang penuh kepahitan. Gadis naif yang dulu dia kenal sebagai dirinya sendiri sudah mati—dan kini yang tersisa hanyalah Kimberly Oliver yang baru. Lebih kuat. Lebih kejam. Dan lebih berbahaya.
“Kimberly Oliver yang bodoh dan naif... sudah tiada,” gumamnya. “Di kehidupan sebelumnya, aku membiarkan diriku dikelilingi oleh hama menjijikkan. Orang-orang yang hanya tahu berpura-pura, menusukku dari belakang.” Dia tertawa kecil lagi, tapi kini tawa itu penuh kesadaran. "Tapi di kehidupan keduaku ini, aku akan membasmi mereka semua... satu per satu. Sampai ke akar-akarnya.”
Ting!
Suara notifikasi ponselnya menyela lamunan itu. Dengan cepat, dia meraih ponsel di meja rias. Layar ponselnya menyala, memperlihatkan sebuah pesan masuk.
Fafabesti: Oliv kalau kamu sudah sadar dan baca pesan ini, aku minta maaf ya nggak bisa jenguk. Rian ngajak ke toko buku lagi. Btw kamu jangan marah ya, aku cuma nemenin kok, nggak lebih.
Kimberly membaca pesan itu sekali, dua kali, dan tiga kali. Tangannya bergetar, bukan karena kesedihan, tapi karena jijik. Perasaan yang dulu selalu ia tahan kini meluap begitu saja.
“Menjijikkan…” katanya pelan, hampir seperti bisikan. Jarinya bergerak cepat, mengetik balasan singkat sebelum mengganti nama kontak pengirim menjadi SiGatal.
Kimberly: Have fun!
Setelah menekan tombol kirim, dia melempar ponselnya ke atas tempat tidur dengan sedikit kasar. Perasaan muak yang menyesakkan dadanya kini menguasai seluruh pikirannya. Semua hal yang dulu dianggapnya penting kini tampak remeh dan kotor. Teman-teman yang dianggapnya sahabat, keluarga yang seharusnya melindungi—semuanya hanyalah cermin dari kebohongan besar yang dipertahankan dalam hidupnya yang pertama.
Sebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya.
Tok tok tok!
Kimberly memutar tubuh, menatap pintu dengan tatapan tajam. Langkahnya cepat dan mantap saat ia menuju ke sana, membuka pintu dengan sedikit tenaga berlebihan. Di hadapannya berdiri seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan, mengenakan seragam pembantu yang terlalu ketat untuk tubuhnya. Matanya tampak takut-takut, seperti binatang kecil yang tahu kapan ia harus bersembunyi.
“Nona... sudah sadar?” tanya wanita itu, suaranya gemetar, hampir tak berani menatap langsung pada majikannya. Ketika tak mendapat jawaban, ia melanjutkan, “Apa Nona butuh sesuatu?”
Kimberly hanya menatap dingin. “Tidak. Aku tidak butuh apa-apa,” jawabnya dengan suara datar. Namun, ucapan wanita itu mengusik pikirannya. Kata 'sadar' itu terngiang di telinganya, membuatnya berpikir.
“Sadar? Apa maksudmu?” tanyanya, kini mulai curiga.
Bi Asih, wanita itu, mengerutkan kening seolah mencari cara terbaik untuk menjelaskan situasi yang rumit. “Beberapa hari yang lalu, Nona... terjatuh ke kolam renang. Kami menemukan nona pingsan di sana,” jawabnya dengan suara rendah.
Kimberly terdiam sejenak, mencoba mengingat kejadian itu. Tapi otaknya menolak, hanya menyisakan kekosongan. Dia memeriksa ponselnya lagi, melihat tanggal yang tertera di layar—10 April. Lima hari setelah ulang tahunnya. Kenangan tentang pesta mewah, hadiah, dan ucapan selamat membanjiri pikirannya. Tapi apa yang terjadi setelahnya?
“Kolam renang? Kenapa bisa?” gumamnya, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi sebelum itu.
Bi Asih tampak semakin gugup. “Itu... Nona terpeleset karena... Arafah tak sengaja menyenggol Nona saat berjalan di tepi kolam.”
Sekali lagi, nama itu disebut. Arafah. Gadis yang dulunya selalu dianggapnya 'kasihan,' anak pembantu yang selalu diabaikan oleh orang-orang di rumah besar ini. Tapi di kehidupan ini, tidak akan ada belas kasihan lagi.
Kimberly mendengus kesal. “Keluar!” perintahnya dengan tegas. Suaranya tak bisa dibantah, dan tanpa perlu diperintah dua kali, Bi Asih langsung bergegas keluar, meninggalkan majikannya yang kini berdiri dengan tangan terkepal penuh amarah.
Kimberly mengepalkan tangannya erat, begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Jika di kehidupan sebelumnya ia mungkin akan memaafkan Arafah, kali ini tidak. Di kehidupan keduanya, tidak ada lagi maaf untuk orang seperti itu.
Tatapannya melesat ke dinding kamar yang dipenuhi poster-poster dan barang-barang yang dulu ia cintai. Amarah semakin membuncah di dalam dadanya, seolah api yang tak bisa dipadamkan. Setiap sudut kamar ini kini terasa menyempit, seakan menjeratnya.
“BI ASIIIHH!!” Teriakannya menggema di seluruh kamar.
Langkah tergesa terdengar mendekat. Bi Asih muncul kembali, napasnya terengah-engah, wajahnya penuh ketakutan.
“A-ada apa, Nona?” suaranya hampir hilang di balik napasnya yang terputus-putus.
“Bersihkan kamar ini. Sekarang! Copot semua poster itu, dan buang semua alat make-up di meja rias!” Perintahnya keluar seperti pisau yang mengiris. Tatapannya tajam dan penuh amarah, tak ada ruang untuk pembantahan.
Bi Asih tampak terkejut. “Ta-tapi Nona, itu—”
“Apa? Ingat, kamu cuma pembantu. Jangan berani-beraninya membantah perintahku,” potong Kimberly dengan nada dingin dan kasar. Hatinya sudah tertutup. Semua yang ada di hadapannya kini hanyalah alat untuk balas dendam.
“Ba-baik, Nona,” jawab Bi Asih, menunduk dalam-dalam, tapi kedua tangannya mengepal kuat, menahan diri.
Tanpa berkata lagi, Kimberly berbalik dan melangkah keluar dari kamar. Hari ini, dia akan menemui ayahnya. Ada banyak hal yang perlu dibicarakan—dan kali ini, dia yang akan memegang kendali.
︵ Hi~
(''\(●-●)
\ / 0\ \
( )''
\__T__/Holla, aku kembali.
Ini versi yang sedikit lebih panjang dari sebelumnya dan tentunya ada sedikit perubahan.Udah banyak yang baca versi lamanya, udah vote jugaaa. Thankyouuu yaa.
Yang baru baca, ayo vote dan komen pada bab ini.
See yaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Behind My Rebirth
FantasiKARYA ORIGINAL BUKAN PLAGIAT DARI MANAPUN. Plagiarism dalam bentuk apapun dikenai sanksi. . . . Kimberly Oliver terbangun di kehidupan keduanya dengan satu tujuan: membalas dendam. Setelah mati konyol sebagai gadis naif yang dikelilingi orang-or...