Playing With The Devil 1

50.1K 407 18
                                    

Ini adalah cerita dewasa yang sebenarnya ga terlalu panjang, tapi juga ga terlalu pendek. Cerita yang ditulis untuk membangkitkan fantasi pembaca. Apa yang terjadi bila sepasang anak manusia yang tak ubahnya anjing dan kucing terpaksa menghabiskan malam berdua saja di rumah? Tanpa ada orang lain? Dalam keadaan hujan lebat dan juga listrik yang padam?

❀(*'▽'*)❀

Bagi Elizabeth Bernice, ada tiga hal yang bisa membuat kesabarannya habis. Pertama, cuaca panas.

Sebagian orang mungkin merasa bahwa matahari yang terik adalah berkah. Namun, tidak untuk Elizabeth. Ketika suhu di sekelilingnya meningkat, maka cewek itu merasa otaknya bisa mendidih.

Kedua, dipaksa pulang di akhir pekan oleh orang tua. Hal yang juga menurut sebagian orang adalah berkah. Tapi, lagi-lagi tidak untuk Elizabeth. Bagaimanapun juga, ia tidak pernah menyukai lintas Bogor-Jakarta yang selalu macet. Jangankan berharap bisa menikmati libur yang damai dan menyenangkan, bahkan ia tidak terperangkap di depan Botani Square selama satu jam saja adalah mukjizat.

Ketiga? Ehm ... itulah yang menjadi alasan mengapa Elizabeth merasakan dua hal pertama itu sekarang -di saat cuaca teramat terik, ia justru mendapati mobilnya bergeming di depan kampus Institut Pertanian Bogor. Berwujud seorang cowok dengan nama ... Sandika Pratama.

*

"Ma, aku ada lemburan loh. Senin besok mesti diserahin ke Bos."

Itu adalah kalimat andalan yang selalu Eliz katakan pada Rahmi bila sang ibu meminta dirinya untuk pulang. Ehm ... ini bukan berarti ia tidak suka pulang ke rumah. Tapi, sejujurnya ia memiliki kecenderungan bahwa pulang ke rumah hanya demi satu hari libur adalah hal yang tidak efektif dan efisien sama sekali. Dan penyebabnya pasti. Kemacetan di jalan yang tentunya akan membuat ia justru merasa letih untuk menyambut hari Senin selanjutnya. Alih-alih merasa segar seperti yang seharusnya.

"Dan Mama tau? Bos aku tuh mau pindah. Jadi aku harus beresin semuanya sebelum dia pergi dan penggantinya datang. Jadi mau nggak mau aku harus lembur."

"Lemburan lemburan lemburan. Ya Tuhan, Liz. Kamu kerja atau jadi sapi perah sih?"

Tubuh Eliz rasanya membeku seketika. Tepat di depan komputer yang masih menyala sementara jam istirahat siang sudah membayang. Ada waktu sekitar tiga puluh menit lagi bagi gadis itu untuk mengecek ulang data yang baru ia terima.

"Aku kerja, Ma," jawab Eliz lemah. "Lagian ini kan emang risiko orang kerja. Harus siap kalau mendadak disuruh lembur."

Suara embusan napas terdengar di seberang sana. Membuat Eliz geleng-geleng kepala. Antara takjub dengan semakin meningkatnya kualitas ponsel di dunia atau kagum dengan kenyataan betapa ibunya itu benar-benar ingin menunjukkan rasa tidak sukanya untuk jawaban yang ia berikan. Kemungkinan mana yang lebih tepat untuk keadaan Eliz saat ini?

"Liz, tapi kamu itu udah tiga bulan nggak balik loh. Ya ampun. Bogor ke Depok itu bukan kayak kamu yang mau mengelilingi dunia kan?"

"Ma, percayalah. Bogor ke Depok itu sama kayak perjalanan Goku nyari tujuh bola naga. Ribet, butuh perjuangan, dan lama. Ah! Satu lagi. Bahkan bisa bertaruh nyawa."

"Tapi, sekali ini aja, Liz. Mama kan selama ini nggak pernah ngebet nyuruh kamu balik loh. Kapan lagi kamu mau nyenengin hati Mama kalau nggak sekarang? Kamu tega sama Mama dan Papa? Setiap hari cuma berdua aja di rumah? Jangankan buat ngarepin Mas Noel pulang dari Makassar sana. Orang kamu yang di Bogor aja susahnya minta ampun kalau disuruh balik."

Percayalah. Kalau Rahmi sudah bicara sepanjang dan selebar itu, Eliz tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Bahkan ia rasa-rasanya seperti tidak bisa bernapas pula. Rahmi yang bicara tanpa henti, tapi entah mengapa justru Eliz yang merasa seolah dirinya yang sesak di dada.

The Devil 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang