"Ck. Gimana bisa kamu seceroboh ini sih, Liz?"
Eliz menunduk dalam. Bagai prajurit kalah perang, ia tak ubahnya seperti seorang pesakitan di depan Dika. Tak mampu mengatakan apa pun bahkan untuk membela dirinya sendiri. Ia benar-benar terhempas ke dasar jurang yang bernama malu tanpa akhir.
Sudahlah setengah telanjang, nungging di depan cowok semacam Dika, terus pakai acara jatuh juga. Ini Tuhan lagi buat stand up comedy atau gimana sih ceritanya? Ya kali aku jadi tumbal.
Tangan Eliz menggenggam erat simpul handuk di depan dadanya. Dika menaruh sejenak lampu darurat di lantai dan meraih kaki cewek itu. Memeriksanya. Dan rintihan samar lolos dari bibir Eliz ketika satu bagian di bawah mata kakinya tersentuh jari Dika.
Dika menatap Eliz. "Sakit?"
"Ya iyalah sakit!" sentak Eliz. "Masa enak sih ?"
Embusan napas Dika mengalun lebih panjang dari biasanya. Sekilas ia tampak geleng-geleng kepala mendapati letupan emosi Eliz.
"Rasanya sakit dan ... memalukan!" lanjut Eliz dengan wajah memanas. "Ini semua gara-gara kamu dan PLN!"
Dika tersentak. "Loh kok aku sih?"
"Iya gara-gara kamu. Karena kalau seandainya kamu nggak ada, aku nggak bakal ngalamin hal memalukan kayak ini! Kalau pun aku bakal telanjang, seenggaknya itu aku sendiri! Dan kalau pun aku jatuh, itu juga sendiri!"
"Dan kamu mau sendirian di rumah gelap-gelapan kayak gini?" tanya Dika sinis. "Cih! Kamu kan penakut."
Mulut Eliz mengerucut. Yang dikatakan Dika memang benar. Tapi, bukan berarti ia akan mengakui itu. Alih-alih ia justru melanjutkan umpatannya.
"PLN sialan! Ngapain juga madamin listrik pas hujan angin gini?"
"Justru itu! Mungkin bahaya kalau tetap dinyalain. Atau memang ada yang rusak gitu. Kamu ini pikirannya negative thinking mulu sih. PLN tuh juga kerja taruhannya nyawa kali."
Argumen Dika dengan telak membuat Eliz terdiam seketika. Tak bisa membalas lagi membuat Eliz pada akhirnya hanya mendengkus kasar.
Dika memasukkan ponselnya yang tergeletak di lantai seraya berdoa di dalam hati. Semoga saja benda itu tidak rusak setelah turut terjatuh bersama dengan Eliz. Ia menyerahkan lampu darurat pada Eliz.
Eliz menerimanya. Tapi, matanya lantas membesar. Tepat ketika dilihatnya Dika yang beranjak tampak ingin meraih tubuhnya.
"E-e-eh! Kamu mau ngapain?"
Kedua tangan Dika sudah bergerak. Terulur ke arah Eliz. Dalam gestur yang membuat cewek itu memasang antisipasi.
Dika mengerjap-ngerjap bodoh dengan dua tangan yang menggantung. Dalam posisinya yang setengah berjongkok, ia tampak seperti ingin meraih lutut dan punggung Eliz. Ingin menggendongnya.
"Kamu mau di sini sampe pagi?" tanya Dika dengan ekspresi polos. "Cuma pake handuk doang?"
Eliz membuka mulut. Ingin menjawab pertanyaan itu. Tapi, Dika kembali bergerak. Tanpa menunggu persetujuan cewek itu, ia meraih tubuh Eliz. Membawanya untuk terjatuh dalam gendongannya.
Eliz merasa tubuhnya melayang. Sontak membuat ia berpegang pada Dika dengan satu tangan. Sementara tangannya yang lain memastikan lampu darurat aman bersama dengannya.
Diam, tak mengatakan apa-apa, Eliz menggigit bibir bawahnya. Menundukkan pandangan. Berusaha tak melihat pada Dika yang melangkah dalam irama teratur. Membawa dirinya berayun lembut dalam setiap pergerakan yang ia lakukan.
Sesuatu sepertinya ada yang salah di sini. Sesuatu yang membuat Eliz menahan napasnya. Mendadak ... ia merasa sesak.
Deg!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil 🔞
RomanceSsst! Area dewasa 18+. Bocil dilarang mendekat! ********** Ini adalah kumpulan cerita yang tidak terlalu panjang. Dewasa, romantis, erotis, dan eksplisit. Demi satu tujuan, yaitu: memberikan kisah cinta yang akan membuat jantung berdebar. Jadi janga...