"Hai, Liz!"
Ketika sapaan itu mendarat di indra pendengaran Eliz, cewek itu sontak membeku. Atas hingga bawah, ia benar-benar bergeming. Tidak bergerak sedikit pun. Dengan mata yang tertuju ke depan. Pada satu sosok cowok yang tampak berdiri di ambang pintu.
Cowok itu menatap Eliz. Dengan sorot jahil yang terpancar tanpa malu-malu dari kedua bola matanya yang cokelat gelap. Dalam ekspresi yang membuat Eliz langsung menahan napas di dada. Seperti alam bawah sadarnya yang segera memasang sikap antisipasi. Akan semua kemungkinan bentuk kejahilan yang bisa saja ia lakukan pada dirinya.
"D-Dika ...."
Tanpa sadar atau mungkin setengah sadar, Eliz menyebut nama itu dengan lirih. Sesuatu yang membuat cowok itu tersenyum. Ia melangkah. Dalam dua kali pergerakan yang lebih dari cukup untuk bisa mengikis jarak di antara mereka. Dan ketika ia berhenti tepat di depan Eliz, cewek itu mau tak mau mengangkat wajahnya. Perbedaan tinggi antara mereka tidak memberi dirinya banyak pilihan.
"Apa kabar?"
Pertanyaan basa-basi itu membuat Eliz meneguk ludah. Antara merasa pegal lantaran perbedaan tinggi sekitar tiga puluh sentimeter yang membuat ia terpaksa mendongak atau mungkin karena suara berat itu yang terasa seperti membuat jantungnya mendadak terpacu? Atau mungkin karena keduanya?
Karena ketika Eliz menyadari bahwa Dika benar-benar muncul di hadapannya setelah bertahun-tahun mereka tidak bertemu, ia tentu saja bertanya-tanya. Apakah kehadiran Dika kali ini akan sama persis seperti kehadirannya yang sudah-sudah? Di mana akan selalu ada kenakalan-kenakalan yang akan cowok itu lakukan padanya?
Eliz tidak akan pernah melupakannya seumur hidup. Bahwa cowok yang menjadi kesayangan orang tua dan bahkan kakaknya itu adalah cowok yang selalu saja punya ide untuk menjahilinya. Dari mereka masih kecil hingga menginjak SMA, sudah tak terhitung lagi bagi berapa kali Dika mengerjainya. Dari yang sederhana seperti mengganti sampo dengan kecap manis hingga ke yang luar biasa seperti menaruh bangkai kodok di balik selimutnya.
Maka tidak aneh bila Eliz butuh oksigen yang sebanyak-banyaknya. Ia menarik napas dalam-dalam sebagai upaya penenangan diri dan mencoba untuk menyingkirkan kenangan-kenangan buruk itu di benaknya. Tapi, nahas. Pada saat yang bersamaan, aroma maskulin bernuansa pepohonan dan hutan sejuk itu masuk pula ke indra penciumannya. Aroma Dika.
Di hadapannya, Dika memasang senyum. Satu gestur yang membuat cowok setinggi seratus delapan puluh tiga sentimeter itu terlihat tampan. Setidaknya itulah yang dinilai oleh Rahmi. Wanita paruh baya itu menghampiri Dika.
"Liz," panggil Rahmi seraya memegang kedua tangan Dika dari belakang. "Kamu itu ditanyain kabar sama Dika kok diem aja sih?"
Eliz tergugu. Mengerjap sekali. Lalu baru tersadar bahwa memang Dika menanyakan hal itu padanya beberapa saat yang lalu.
"B-baik."
Senyum di wajah Dika tampak sedikit berubah. Kali ini menampilkan samar-samar ekspresi geli.
"Kamu nggak mau tau kabar aku gimana?"
Normalnya ketika ada orang yang menanyakan kabar, pastinya akan mendapatkan pertanyaan yang serupa. Bisa dikatakan sebagai pembicaraan basa-basi demi kesopanan. Sesuatu yang sepertinya terlewatkan oleh Eliz. Tapi, tak urung juga. Lantaran hal tersebut mata Eliz jadi menyipit. Spontan melihat Dika dari atas hingga ke bawah. Seperti ingin menemukan jawabannya sendiri untuk pertanyaan penuh rasa percaya diri itu.
Dalam balutan kaus polos bewarna hitam yang pas badan dan celana jeans yang bewarna senada, Dika berdiri dengan dua tangan yang penuh. Satu menyeret koper sementara satu lagi memegang beberapa tas kertas. Tapi, tentu saja bukan itu yang menarik perhatian Eliz. Alih-alih adalah perawakan Dika yang tampak berbeda di matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil 🔞
RomanceSsst! Area dewasa 18+. Bocil dilarang mendekat! ********** Ini adalah kumpulan cerita yang tidak terlalu panjang. Dewasa, romantis, erotis, dan eksplisit. Demi satu tujuan, yaitu: memberikan kisah cinta yang akan membuat jantung berdebar. Jadi janga...