Playing With The Devil 7

10K 298 31
                                    

Eliz sudah mengenal Dika mungkin sepanjang hidupnya. Tatkala mereka masih berstatus sebagai balita, Eliz yakin ia sudah mengenal Dika. Pun sebaliknya. Terlebih lagi karena perkenalan antara keduanya bukanlah jenis perkenalan biasa. Alih-alih terkurung dalam hubungan erat yang disebabkan oleh orang tua mereka. Nyaris bisa dikatakan Eliz dan Dika memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Dari kecil hingga pada akhirnya keluarga Dika harus pindah.

Selama hubungan itu berlangsung, Eliz menyadari kedua keluarga mereka memang saling mengasihi satu sama lain. Layaknya Dika yang amat diterima oleh keluarganya, pun begitu pula dengan Eliz yang mendapatk sambutan serupa oleh keluarga Dika. Orang tua Dika jelas amat menyayangi cewek itu. Bak anak sendiri.

Maka dari itu rasanya tidak heran bila mereka sering mengunjungi satu sama lain. Bahkan Eliz pun tidak segan mendatangi Herni dan Lukman di Yogyakarta. Walau tentunya ia melakukan itu setelah memastikan Dika tidak ada di rumah.

Eliz menyayangi Herni dan Lukman seperti orang tuanya sendiri. Tapi, tidak dengan Dika. Karena sebisa mungkin cewek itu akan menghindarinya. Agar ia selalu bisa mendoktrin alam bawah sadarnya. Bahwa ia tidak pernah bertemu lagi dengan Dika setelah sepuluh tahun yang lalu. Yang mana ... itu tentu saja adalah pembohongan pada diri sendiri.

Hanya saja pembelaan Eliz adalah membohongi diri sendiri itu lebih mulia ketimbang dirinya harus menerima kenyataan di mana ia masih bertemu dengan Dika di beberapa kesempatan. Lantaran pertemuan-pertemuan itu pasti akan menyelipkan kekesalan di hati Eliz. Ia tidak ingin stres. Dan ia tidak ingin Dika mengacaukan kembali kehidupannya. Selama ini ia sudah berusaha untuk menata semuanya agar kembali rapi seperti sedia kala.

Bila ada yang bertanya-tanya mengapa Eliz berusaha teramat keras untuk menghindari Dika, maka jawabannya hanya satu. Bahwa cewek itu sudah tidak bisa mentolerir lagi sikap jahil Dika.

Oke. Awalnya Eliz juga sama seperti Rahmi, Subagja, dan Noel. Eliz benar-benar menerima Dika. Terlepas dari sikap orang tuanya yang amat menyayangi Dika hingga memojokkan cewek itu pada keraguan sebenarnya siapa sih anak kandung mereka, Eliz menerimanya. Eliz pun lumayan menyenangi kehadirannya. Karena Dika memiliki pembawaan yang supel dan ceria. Ia suka bercanda dan tertawa. Bisa dikatakan sebagai pemeriah suasana.

Namun, semua itu berakhir. Tepat ketika mereka menginjakkan kaki di bangku kelas 1 SMA. Tepat beberapa hari sebelum Dika dan keluarganya pergi, semuanya berakhir. Di mana Eliz, Dika bukan lagi teman yang menyenangkan. Alih-alih sebaliknya. Dika telah menjelma menjadi cowok yang menyebalkan. Dika sudah mempermainkannya melebihi batas yang ia berikan. Dika sudah bertindak keterlaluan.

Hingga sekarang, ketika Eliz berpikir bahwa usia yang bertambah akan memberikan dampak yang berbeda pada Dika, maka ia harus menelan kekecewaannya. Nyatanya Dika tidak berubah. Setidaknya di hadapan Eliz, cowok itu masih sama seperti dulu. Menyebalkan!

"A-apa?"

Berusaha untuk menguasai dirinya, Eliz menarik udara dalam-dalam. Di bawah pencahayaan terbatas lampu darurat, matanya mengerjap-ngerjap. Syok.

"K-kamu ngomong apa, Dik?"

Di hadapan Eliz, Dika tampak diam. Hanya memerhatikan Eliz yang tampak salah tingkah. Tangannya yang gemetaran naik perlahan ke sisi kepalanya. Memberikan tepukan samar di telinga kanannya.

"K-kayaknya telinga aku kemasukan air deh. Ha ha ha."

Eliz berusaha untuk tertawa. Tapi, sungguh menyedihkan. Suaranya lebih mirip suara kambing tercekik ketimbang suara tawa.

"K-kayaknya aku salah dengar deh."

Wajah Dika tampak berubah. Tak terlihat gurat bercanda di sana. Alih-alih keseriusan.

The Devil 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang