Playing With The Devil 4

12.7K 297 14
                                    

Dika itu adalah bencana.

Berdua saja dengan Dika itu adalah kiamat.

Itu adalah ketetapan alam yang menjadi hukum mutlak di dunia Eliz. Dari dulu hingga kini. Hal itu pasti tidak akan berubah.

Gimana ceritanya aku harus ngabisin satu malam ini berdua aja dengan Dika? Ya ampun. Bisa abis aku dikerjain sama cowok itu.

Jangankan sampai hal itu terjadi, bahkan hanya dengan membayangkan kemungkinannya saja sudah membuat Eliz merasa pusing. Tekanan darahnya seperti turun drastis.

Eliz butuh waktu untuk menenangkan diri. Ia harus menarik napas dalam-dalam, mengeluarkannya perlahan, dan mengulangi itu beberapa kali. Tapi, nyatanya itu tidak berdampak nyata bagi dirinya. Lantaran suara ketukan yang tak putus-putus terdengar di pintunya.

Ehm ... tidak perlu ditanya dan tidak perlu dijawab. Itu pasti adalah Dika orangnya.

"Liz. Eliz ...."

Setitik ketenangan yang berusaha untuk Eliz bangun, rontok seketika. Hancur lebur tepat ketika suara Dika terdengar.

"Aku laper, Liz."

Ya Tuhan. Eliz mencoba untuk tetap bersabar ketimbang melempar kursi ke kepala Dika. Tapi, bagaimana bisa ia tetap bersabar?

Sungguh, kalau ingin mengikuti kata hatinya, ingin sekali Eliz mengabaikan Dika. Terserah deh cowok itu mau lapar atau apa, ia tidak peduli. Tapi, masalahnya adalah Rahmi.

Eliz meringis seraya mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Walau bagaimanapun juga ia adalah anak yang berbakti pada orang tua. Dan entahlah, itu harus ia syukuri atau sebaliknya. Karena ketika sang ibu memberikan titahnya, ia merasa berat untuk tidak menurutinya.

Aku tuh emang terlahir jadi anak yang berbakti sama orang tua. Ya ampun. Ini pasti kalau aku tewas malam ntar, auto langsung meluncur ke surga aku mah.

Mengatakan itu pada dirinya sendiri, bagi Eliz itu bukanlah hal yang berlebihan. Karena menurutnya adalah adalah hal yang wajar kalau ia mati malam nanti. Ada Dika yang bisa menjadi malaikat mautnya kapan pun.

"Liz! Aku laper!"

Suara Dika terdengar meninggi. Membuat Eliz langsung melihat ke arah pintu dengan sorot teramat kesal. Tapi, ia tak punya pilihan lain.

"Sabar!"

Eliz beranjak. Membuka pintu dan menatap Dika tajam.

"Kalau laper kan bisa delivery aja sih? Kok ribet amat jadi cowok. Ngalahin cewek PMS aja."

Setidaknya ketika Dika mendapati pintu kamar Eliz membuka, ia mengembuskan napas lega. Seperti mendapat pertolangan akan keselamatan hidupnya di waktu yang tepat.

"Aku nggak bisa nunggu lagi, Liz. Aku beneran lapar. Aku nggak mau ngambil risiko nungguin kurir yang bisa aja kejebak macet. Apalagi ini lagi jam-jamnya lalu lintas padat."

Memang. Yang dikatakan oleh Dika ada benarnya. Terkadang menjatuhkan pilihan soal perut pada jasa antar adalah tindakan yang berisiko. Lebih aman menggunakannya ketika perut tidak dalam keadaan keroncongan parah. Dan sayangnya, situasi Dika tidak mendukung untuk kemungkinan buruk kali ini.

"Bawel!"

Dika tampak nelangsa. Kedua tangannya mengatup di depan dada. Memohon. "Please. Masak dong, Liz. Aku beneran laper nih."

Di depannya ada Dika dan di benaknya ada Rahmi. Dua hal yang benar-benar ampuh untuk membuat dada Eliz bergemuruh. Andaikan ia ada pilihan lain, tentu saja ia tidak akan melakukan ini.

The Devil 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang