-08-

4 1 1
                                    

Happy Reading
[Song For Today]
●Jangan Rubah Takdirku - Andmesh●

Maitreya
• Cey, maaf ya
• besok aku ga bisa jemput
• maaf yaa
 
“Tumben.”
 
Kemarin malam, Ceyna lupa mengecek ponselnya. Alhasil saat ini ia baru membaca pesan dari Maitreya. Karena tak mau ambil pusing, Ceyna segera memasukkan ponselnya kedalam tas, dan memakai sepatunya. Setelah merasa siap, perempuan itu keluar dari kamarnya dan pergi ke meja makan.
 
Anggota keluarganya belum ada yang turun. Tidak apa-apa, Ceyna sudah sering sarapan sendiri. Dengan keadaan pagi yang sepi, Ceyna sangat menikmati sarapannya.
 
“Maitreya kenapa ya?”
 
Sedari tadi Ceyna terus memikirkan Maitreya. Memang sudah beberapa hari ke belakang, ia merasa aneh dengan Maitreya. Laki-laki itu seakan menutupi sesuatu. Dan juga, Ceyna sering mendapati Maitreya sedang terdiam sambil menatap kosong ke depan.
 
“Pagi sayang.” Ucap Erin dari belakang Ceyna.
 
“Pagi juga Bun.”
 
Erin diam-diam tersenyum. Sepertinya hati Ceyna sudah mulai meluluh. Ia cukup senang dengan hal itu.
 
“Bunda baru mau bikin nasi goreng. Kamu belum mau berangkat kan? Bunda bikinin nasi goreng ya? Tunggu disini seben---"
 
“Gak usah Bunda. Aku udah mau berangkat,” Potong Ceyna cepat. Perempuan dengan tas ransel dipunggungnya itu segera memakan habis sarapannya, lalu pergi dari sana.
 
Langkah Ceyna terhenti kala Nathan memanggilnya dari belakang.
 
“Berangkat bareng gua.” Kata Nathan sambil berjalan mendahului Ceyna.
 
“Ha? Serius? Gue bisa jalan, naik bis juga bisa. Udah deh ga usah!”
 
Nathan melarang dengan menahan tangan Ceyna. Laki-laki itu memegang tangan adiknya sampai ke depan mobil yang biasa ia gunakan untuk pergi ke kampus. Jujur, Ceyna agak terkejut dengan perilaku Nathan.
 
“Masuk.” Ucap Nathan sambil masuk kedalam mobil.
 
Setelah memastikan Ceyna sudah memasang sabuk pengaman, Nathan segera menyetir mobilnya dan meninggalkan pekarangan rumah mereka. Keadaan didalam mobil begitu sunyi. Bagaimana tidak, mereka berdua ini jarang mengobrol.
 
“Lo belum baikkan sama Nathen?” Tanya Nathan.
 
Ceyna lantas menoleh. “Belum,” Jawabnya.
 
Nathan menghela nafas panjang. Laki-laki itu menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang. Sengaja, Nathan ingin berbicara berdua dengan Ceyna.
 
“Gak ada niatan buat saling minta maaf?”
 
Ceyna terdiam.
 
“Saling minta maaf? Gue sendiri tau kalau gue gak pernah buat salah ke dia.”
 
Kali ini, gantian Nathan yang terdiam. Keadaan dimobil itu seketika hening. Ceyna yang memilih diam dan Nathan yang bingung ingin berbicara apa.
 
“Maaf.”
 
“Untuk?”
 
“Karena belum bisa jadi abang yang baik buat lo.”
 
Ceyna menatap Nathan lama. Pikiran Nathan itu tidak bisa ditebak. Kadang akan seperti iuitu, kadang seperti ini.
 
“Maaf karena selama ini gua cuma diem. Diem saat ngeliat Nathen nyakitin lo. Diem saat ngeliat lo kesepian. Diem saat..”
 
“...saat lo lagi hancur. Sekali lagi maaf.”
 
Nathan menggigit bibir bawahnya, berharap rasa gugupnya hilang. Butuh keberanian besar untuk mengucapkan hal tadi.
 
“Kalau maaf mudah diucapkan, kenapa menjadi abang yang baik susah dilakukan?”
 
Pertanyaan yang dilontarkan Ceyna membuat Nathan seketika terdiam. Ceyna membuang muka kesamping dan Nathan menyetir mobilnya dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan.
 
Setelah beberapa menit berada didalam mobil, Ceyna akhirnya sampai disekolah. Ia melepas sabuk pengamannya, kemudian membuka pintu mobil.
 
“Gue akan berusaha rubah sikap gue. Cuma butuh waktu. Itu aja,” Ucap Nathan sebelum pintu mobil tertutup.
 
Ceyna yang mendengar ucapan Nathan hanya bisa menghela nafas dan berjalan memasuki area sekolah. Jika Nathan butuh waktu, Ceyna akan biarkan. Ia akan biarkan sampai Nathan benar-benar berubah.
 
Saat melewati tempat parkir sekolah, Ceyna sedikit bingung kala tak melihat sepeda Maitreya disana.
 
‘Mungkin masih dijalan.’ Batin Ceyna.
 
Dengan langkahnya yang kecil, Ceyna berjalan sambil bersenandung kecil. Entah dirinya yang terlalu cepat, atau memang murid lain yang malas. Intinya sekolah sangat sepi pagi ini.
 
“CEYNAAA! SAYANGKUU! CINTAKUUUU!!” Teriak seorang perempuan dari belakang Ceyna, dan ternyata itu Cici. Perempuan dengan pipi bulat itu berlari menghampiri Ceyna.
 
“Kenapa Ci?” Tanya Ceyna.
 
Dengan tersenyum, Cici menggeleng lalu berkata. “Enggak kok. Gue Cuma gak mau ditinggal,”
 
Ceyna hanya mengangguk pelan kemudian kembali berjalan, diikuti dengan Cici disampingnya.
 
“Oh iya Ci. Gue mau nanya boleh?”
 
“Boleh! Mau nanya apa?”
 
“Jujur ya. Dulu, sebelum gue pindah kesini, memangnya ada apa? Kenapa sih sama Maitreya?” Tanya Ceyna. Melihat keadaan sekolah yang sepi, Ceyna memanfaatkan hal tersebut.
 
Cici menggaruk rambutnya yang tak gatal. Ia juga terlihat kebingungan.
 
“Gimana ya jawabnya...”
 
Ceyna setia menunggu Cici berbicara.
 
“Dulu, Maitreya enggak sebebas ini Cey. Dulu Maitreya sering sendiri. Bahkan dikelas pun gak ada yang mau temenan sama dia. Semuanya takut deket sama dia.” Jawab Cici yang membuat Ceyna bingung. Maitreya itu bukan hantu, kenapa harus ditakuti, pikir Ceyna.
 
“Pada takut kenapa?” Tanya Ceyna lagi.
 
Dengan pasrah Cici menjawab. “Maitreya dulu sering dibully Cey.”
 
Jangan tanyakan betapa terkejutnya Ceyna saat ini. Ceyna bahkan sampai berhenti melangkah untuk menetralkan jantungnya yang berdetak kencang.
 
“Terus?”
 
Mereka berdua kembali berjalan bersama.
 
“Terus, sempet ada satu anak yang nolongin Maitreya. Anak itu terkenal karena pinter, sopan sama guru, bahkan punya banyak temen. Cuma dua hari setelah nolong Maitreya, anak itu pindah sekolah. Katanya sih, dia mutusin pindah karena ikutan dibully setelah nolongin Maitreya. Muali saat itu, gak ada yang berani nolongin Maitreya. Bahkan mereka semua seakan nutup mata dan telinga. Singkat cerita, lo datang kesini. Dan semuanya berubah Cey! Sampai saat ini, belum ada berita kalau Maitreya dibully lagi.”
 
Sekarang Ceyna paham. Ia tak menyangka jika laki-laki yang selalu tersenyum di depannya itu pernah dibully. Dan sekarang Ceyna mengerti alasan Maitreya hanya sering berbicara kepada dirinya. Apa mungkin Maitreya punya trauma masa lalu?
 
“Eum.. yang bully dia siapa Ci?”
 
Cici mendadak gugup. Ia meremas ujung roknya lalu menggeleng.
 
“Gue takut ah. Mending lo aja yang tau sendiri.” Jawab Cici.
 
Ceyna hanya bisa mengangguk sambil masuk kedalam kelas dengan beberapa murid didalamnya.
 
‘Kepo ih! Siapa yang bully Maitreya? Apa jangan-jangan.. memar kemarin karena dibully?. Bisa jadi,’ Ceyna membatin.
 
 

***
 

Hari ini, dunia seakan ingin menghukum Maitreya atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Laki-laki dengan pipi yang memerah itu memegang tembok toilet yang begitu dingin. Sejak kemarin malam, kepalanya begitu pusing. Maitreya sudah meminum obat, tapi belum ada perubahan.
 
Dengan langkah pelan, Maitreya mendekati keran dan mencuci wajahnya. Setidaknya, ia bisa merasa segar sedikit.
 
Setelah merasa cukup, ia segera pergi dari sana dan berjalan menuju kelasnya.
 
Ada perasaan tak enak kala mengingat dirinya tak menjemput Ceyna hari ini. Saat bertemu Ceyna nanti, Maitreya akan meminta maaf setulus mungkin. Intinya maaf Ceyna harus ia daparka.
 
Saat ia sudah sampai di depan kelas, matanya mencari-cari perempuan yang beberapa hari ini terus mengisi pikirannya. Sesaat kemudian, Maitreya berjalan ketempat duduknya sambil tersenyum kepada Ceyna yang sedang bermain ponsel.
 
“Pagi Cecey!” Sapanya dengan semangat.
 
Merasa terpanggil, Ceyna menyimpan ponselnya dan tersenyum ke arah Maitreya.
 
“Pagi juga. Lo sakit? Mukanya pucet banget tuh.”
 
Maitreya menggeleng. Tas ranselnya ia lepas, kemudian ia duduk disamping Ceyna yang sepertinya masih khawatir.
 
“Aku baik-baik aja kok. Jangan khawatir Cey, aku anak kuat!” Ucap Maitreya sambil menunjukkan deretan giginya.
 
Ceyna tidak sebodoh itu. Dirinya sadar betul jika Maitreya sedang sakit. Bibirnya pucat dengan pipi yang memerah. Tangannya terulur untuk menyentuh kening Maitreya, dan benar saja. Laki-laki itu sedang demam.
 
“Badan lo panas Mai. Pulang aja ya? Istirahat di rumah. Atau, lo mau ke UKS aja?” Tanya Ceyna dengan wajah khawatir.
 
Melihat itu, Maitreya tersenyum kecil. Bukan hanya tubuhnya yang sakit, tapi hatinya juga. Setiap hari ia selalu menaruh harapan pada Ceyna. Menunggu perempuan itu memberi tahu apa perasaannya saat ini. Bukan hanya tentang Ceyna, tapi tentang hidupnya juga. Setiap hari Maitreya menjalani hidupnya dengan sedikit rasa putus asa. Apalagi mengingat keluarganya yang berantakkan. Rumit. Hanya itu yang bisa ia simpulkan.
 
“Jangan gitu Cey,” Balas Maitreya pelan.
 
“Aku takut terlalu baper liat kamu khawatirin aku. Aku juga ada hati. Gak lucu kalau aku patah hati karena ekspetasi aku sendiri.” Lanjut Maitreya dengan suara sedikit serak.
 
Ceyna bingung harus berbuat apa. Ia menggigit bibir bawahnya karena merasa gugup. Tanpa lama, Ceyna menarik tangan Maitreya dan berjalan keluar kelas.
 
“Kita mau kemana Cey?” Tanya Maitreya sedikit terkejut.
 
Ceyna tak menjawab. Perempuan itu hanya terus berjalan tanpa memperdulikan Maitreya yang terus bertanya. Dan disinilah mereka saat ini, UKS.
 
“Aku gak mau disini Cey,” Ucap Maitreya.
 
“Gue--- eum...”
 
“..aku temenin kamu disini.”
 
Waktu terasa berhenti. Maitreya rasa ada banyak kupu-kupu didalam tubuhnya. Ia hanya tak menyangka.
 
“Tidur Mai. Nanti dijam istirahat aku bangunin kamu.” Ucap Ceyna yang langsung dituruti Maitreya.
 
Dengan sigap Maitreya naik ke atas brankar dan segera memejamkan matanya. Ceyna yang melihat itupun mengambil kursi dan duduk di samping brankar Maitreya.
 
“Aku boleh pinjem tangan kamu?” Tanya Maitreya pelan.
 
“Buat apa?” 
 
Tanpa menunggu persutujan Ceyna, Maitreya meraih tangan Ceyna dan menggenggamnya.
 
“Aku takut ditinggal.” Kata Maitreya sambil melanjutkan tidurnya.
 
Ceyna terkekeh. Dielusnya pelan rambut Maitreya.
 
Sebenarnya ia sedikit bingung dengan perasaannya. Ingin bilang suka, tapi tak yakin. Ingin bilang tak suka, tapi tak yakin juga.
 
Urusan percintaan itu rumit.
 
Karena hal itu, Ceyna belum pernah berpacaran sama sekali.
 
“Sebentar ya Mai.. hati gue belum ada kepastian.” Ucapnya pelan.
 

***
 

Ditengah heningnya ruang UKS, Maitreya terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa pusing sekali. Saat hendak bangun ia terdiam kala melihat Ceyna tertidur sambil menggenggam tangannya.
 
“Lucu.” Ucapnya sambil kembali kepada posisi tidurnya.
 
Dielusnya pelan rambut Ceyna dengan bibir yang terus melengkung ke atas. Ini adalah hal langka yang tak boleh Maitreya lewatkan.
 
“Kapan ya kita bisa pacaran?” Tanyanya sendiri.
 
Maitreya memegang keningnya yang lumayan panas. Kepalanya benar-benar sakit sekarang. Jujur, ia lebih memilih batuk selama satu bulan penuh daripada harus demam seperti ini.
 
“Mama sakit..”
 
“Mah..”
 
Ceyna yang merasa tidurnya terganggupun bangun. Ia melihat Maitreya sedang menutup kedua matanya dengan telapak tangan dan juga pipi laki-laki itu yang terlihat basah.
 
“Mai. Kamu kenapa?”
 
Dengan perlahan Ceyna mengangkat tangan Ceyna dan mendapati Maitreya sedang menangis. Dengan suara tangisan kecil, Maitreya membelakangi Ceyna.
 
Ceyna terdiam. Selanjutnya ia mengelus lengan Maitreya dengan pelan.
 
“Aku disini Mai.”
 
Maitreya benar-benar tidak bisa menahan tangisnya lagi. Suaranyapun semakin besar kala Ceyna terus mengelus tangannya.
 
Laki-laki itu hanya sedang tidak baik-baik saja.
 
“Tenang Mai. Ada aku,”

MaitreyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang