Happy Reading
[Song For Today]
●Kau Bukan Rumah-Amigdala●"Pergi Cey. Aku mau sendiri."
Kalimat yang dilontarkan Maitreya benar-benar membuat Ceyna terdiam. Perempuan itu menatap kosong pintu UKS yang sedari tadi tertutup. Tangannya memegang tas Maitreya yang ingin ia kembalikan kepada laki-laki.
Baru saja ingin membuka pintu UKS, Maitreya dengan wajah pucat dan mata sembabnya keluar darisana.
"Kamu bawaain tas aku? Makasih ya, maaf aku ngerepotin." Ucap Maitrrya sambil mengambil tasnya.
"Mau langsung pulang Mai?" Tanya Ceyna.
"Iya. Kenapa Cey? Mau aku anter?"
Ceyna menggeleng.
"Gak mau berobat? Kamu masih demam kan?"
Dengan senyum tertahan Maitreya menggeleng. Kemudian tangannya mengacak pelan rambut Ceyna.
"Aku udah mendingan. Sekarang kita pulang yuk? Aku anter kamu sampai rumah."
Saat Maitreya ingin menggenggam tangan Ceyna, perempuan itu malah menyembunyikan tangannya ke belakang.
"A-aku pulang sendiri aja. Kamu pulang aja, istirahat dirumah."
Setelah itu, Ceyna pergi dari sana dengan sedikit berlari. Perempuan itu merasa canggung kala mengubah cara bicaranya menjadi aku-kamu. Saat sedang berjalan, sesorang memegang bahunya dari belakang. Dan benar saja, ia adalah Maitreya.
"Aku anter ya?"
"Enggak. Aku bisa---"
Tanpa menunggu Ceyna selesai berbicara, Maitreya segera menarik tangan perempuan itu. Laki-laki yang badannya cukup tinggi itu membawa Ceyna sampai ke depan sepeda miliknya.
"Hari ini aku gak kerja dulu. Jadi aku mau anter kamu, habis itu aku langsung pulang buat istirahat." Ucap Maitreya yang saat ini telah duduk di atas sepedanya.
Ceyna terdiam. Ia baru tahu jika Maitreya bekerja. Dengan perlahan ia naik ke atas sepeda dan memeluk perut Maitreya.
Kala dirasa siap, Maitreya segera mengayuh sepedanya dan pergi dari tempat parkir sekolah. Walau kepalanya sedikit pusing, Maitreya tetap bersemangat karena yang ia bonceng adalah Ceyna.
"Mai," Panggil Ceyna pelan.
"Iya. Kenapa Cey?"
"Kamu kerja? Kerja dimana?"
Tak ada jawaban. Maitreya terus diam dengan kaki yang tak berhenti mengayuh sepedanya. Mengetahui Maitreya tetap diam dan tak menjawab pertanyaannya, Ceyna lantas ikut terdiam.
Setelah beberapa menit dijalan, akhirnya mereka berdua sampai dirumah Ceyna.
"Besok kita libur kan?" Tanya Maitreya yang dibalas anggukan Ceyna.
"Besok aku bakal ajak kamu ke tempat aku kerja. Aku pulang ya? Dadah Cecey!"
Punggung Maitreya mulai menjauh. Dan akhirnya punggung itu menghilang saat Maitreya berbelok ke arah kanan. Helaan nafas keluar dari mulut Ceyna. Kaki yang lumayan pendek itu mulai melangkah memasuki pekarangan rumah miliknya. Saat sudah sampai dalam, rumah Ceyna terasa sepi. Tidak ada Erin dengan kedua abangnya disana. Jangan lupakan Wildan yang sudah pulang dari luar kota.
"Mereka hilang atau gimana?" Tanya Ceyna pada dirinya sendiri.
Karena tak ingin ambil pusing, Ceyna lantas segera memasuki kamarnya. Ia melepas tasnya dan segera berbaring di atas ranjang empuk miliknya. Tak lama, Ceyna segera masuk ke dalam alam mimpi. Perempuan dengan wajah kucing itu sangat lelah hari ini. Ia benar-benar harus memanjakan tubuhnya.***
Tiga orang dengan rokok ditangannya menghalang jalan Maitreya. Salahkan dirinya yang lebih memilih melewati jalan sepi dibanding jalan ramai. Bukan tanpa alasan, jalanan yang saat ini ia lewati akan membawanya kerumah dengan cepat.
"Kalian bisa minggir? Aku mau lewat." Ucap Maitreya dengan suara pelan.
Di depannya sudah ada Greno, Jio, dan Nathen tentunya. Dulu sebelum Ceyna pindah sekolah, Maitreya adalah bahan bullyan mereka bertiga. Hal ini terjadi karena Maitreya pernah melaporkan mereka bertiga yang sedang merokok dirooftop sekolah. Alhasil, Nathen dan yang lainnya dihukum. Karena kesal, Maitreya pun akhirnya mulai diganggu. Satupun murid disekolah mereka enggan membantu. Jika adapun pasti akan ikut dibully oleh Nathen dan teman-temannya. Sejak itu Maitreya selalu berusaha menjauhi Nathen, tapi apa dayanya. Nathen selalu saja menghampirinya, kemudian mulai membully Maitreya.
"Gue liat, lo lagi deket ama adek gua. Suka lo ama dia?" Tanya Nathen sambil membuang puntung rokoknya.
Hening. Maitreya terlalu takut untuk menjawab. Laki-laki itu hanya bisa menunduk takut.
"Diem berarti iya."
"Jauhin adek gua. Gua gak mau dia deket-deket sama orang gila."
Dengan perlahan Maitreya mendongak dan menatap mata Nathen. "Aku gak mau! Kenapa aku harus nurut sama kamu? Kamu bukan siapa-siapa aku. Mending kamu pergi! Awas!"
Bukannya pergi, Nathen justru tertawa. Kemudian ia memberi kode kepada kedua temannya. Seperti yang Maitreya duga, Gerno dan Jio langsung memukulnya. Greno menarik Maitreya sehingga ia jatuh dari atas sepeda. Lalu Jio yang datang dari belakang Greno mulai memukul Maitreya. Dan sebagai penutup, Greno menendang kencang perut Maitreya.
"Lu denger Nathen bilang apa? Jangan sampai tangan gue harus nyentuh muka lo yang burik itu!"
Kemudian Jio meludahi wajah Maitreya. Setelah dirasa puas, Nathen mengajak mereka semua meninggalkan Maitreya yang meringis kesakitan.
Maitreya terbatuk. Ia memegangi perutnya yang terasa amat sakit saat ini. Dengan lemas Maitreya mengambil sepedanya dan mengayuhnya pelan. Badannya sangat sakit, mati-matian ia menahan diri agar tidak oleng dan terjatuh.
"Aku gak akan jauhin Cecey.."
Teriknya matahari membuat pusing dikepalanya semakin parah. Ia menambah kecepatan sepedanya.
"Cey itu bahagia aku. Gak mungkin aku jauhin dia dan lupain dia. Nathen gak akan bisa buat aku nunduk sama dia lagi."
"Cey itu, semestaku."
Seperti tak ingin berpihak kepada Maitreya, langit yang awalnya terlihat cerah mulai mendung. Awan-awan hitam sudah berkumpul di atas sana. Tak lama air hujan mulai membasahi tubuh Maitreya. Walau begitu, Maitreya tetap mengayuh sepedanya tanpa berpikir untuk meneduh sebentar sampai hujannya reda.
"Dasar! Kalau mau panas ya panas aja dong! Ini kenapa hujan?" Kesal Maitreya.
Untung rumahnya sudah tidak terlalu jauh. Maitreya segera memarkirkan sepedanya dan masuk kedalam rumah. Karena kehujanan, laki-laki itu kedinginan saat ini. Ia segera masuk kedalam kamar mandi dan mulai membersihkan badannya. Setelah mandi, Maitreya langsung memakai bajunya. Tapi saat ia berdiri di depan cermin, ia menatap miris tubuhnya yang terdapat beberapa memar.
"Mama kalau masih hidup terus lihat ini, pasti nangis."
Tak mau bertambah sedih, Maitreya segera memakai bajunya dan memutuskan untuk tidur. Ia memegang kepalanya yang terasa amat pusing. Wajahnya pucat dan matanya sembab. Kala dirasa tak sanggup menahan rasa pusing, ia mengambil obat yang berada didalam laci meja belajarnya, dan segera menelan obat itu tanpa meminum air putih.
"Pusing.."
Kemudian Maitreya kembali tidur di atas ranjangnya. Ia menatap keluar jendela, dimana hujan masih sangat deras.
Dulu, sewaktu ia masih kecil, Mama pasti akan selalu memijat kepalanya jika ia sakit. Jangan lupakan kompres dengan tangan lembut Mama yang mengusap pipinya. Maitreya selalu merasa bahagia kala sang Mama terus memperhatikannya. Hangatnya kasih sayang Mama membuat Maitreya selalu ingin ada didekat Mama. Andai Mama tidak pergi, ia pasti akan berusaha sebisa mungkin untuk membahagiakan Mama.
"Mama. Aku lagi sakit," Ucap Maitreya sambil memeluk Bulbul yang ada disampingnya.
"Mama gak bisa kesini sebentar? Aku mau peluk Mama. Aku kangen Mah."
Kehilangan Mama adalah luka terdalam yang pernah ia rasakan. Menurutnya, Mama hanya satu didunia. Kasih sayang Mama, adalah kasih sayang yang tak pernah ia rasakan lagi saat ini. Mama adalah hal berharga yang telah pergi dari hidup Maitreya.
Cukup lama terdiam, Maitreyapun tertidur. Dengan posisi memeluk boneka, ia tidur dengan nyenyak. Dibayangkannya Bulbul sebagai Mama yang selalu bisa memberikannya kehangatan. Didalam pikirannya ia tidak sedang memeluk boneka, melainkan Mama.
***
Brak
Karena suara pintu yang ditendang, Maitreya terbangun dari tidurnya dan melihat Axen sudah berdiri di depannya dengan tatapan tajam.
"Papa udah pulang?" Tanya Maitreya sambil duduk dari tidurnya.
"Menurut kamu? Kenapa kamu tidur? Kenapa rumah masih kotor?"
Maitreya menunduk dan menggigit bibir bawahnya. "Maaf Pah, aku lagi sakit."
Axen berjalan mendekati Maitreya, kemudian ia menjambak rambut anaknya itu. Hal ini membuat Maitreya meringis kesakitan.
"Kamu ada otak? Rumah ini kotor karena tidak ada yang membersihkan! Kamu sudah baik saya bolehkan tinggal! Seharusnya sadar diri!" Bentak Axen.
Kemudian tanpa rasa kasihan, Axen menarik Maitreya sampai keruang tamu. Tangannya mengambil sapu dilantai kemudian melemparnya kepada Maitreya.
"Saya tidak mau tahu. Rumah ini harus bersih saat saya pulang."
Perlahan, Axen berjongkok dan berbisik kepada Maitreya. "Kalau sampai tidak bersih, jangan sampai tubuhmu jadi bayaran. Kamu tidak mau memarnya bertambah kan?"
Dengan takut, Maitreya mengangguk. Axen pergi setelah mendorong kepala Maitreya. Laki-laki itu pergi entah kemana, meninggalkan Maitreya yang sudah ingin menangis.
"Aku udah bilang kalau lagi sakit. Kenapa Papa gak mau peduli?"
Dengan terpaksa Maitreya mulai membersihkan setiap sudut ruangan dirumahnya, kecuali kamar sang Papa. Semenjak Mama meninggal, Axen melarangnya memasuki kamar itu. Tanpa alasan yang jelas, Axen selalu marah jika Maitreya berani masuk kedalam. Bahkan dulu ia pernah dikurung digudang karena masuk kesana tanpa izin Axen.
Saat sedang menyapu diruang tamu, Maitreya menemukan sebuah album foto di bawah sofa. Dengan cepat Maitreya mengambilnya kemudian mulai melihat satu persatu foto didalamnya.
"Ada Mama! Cantik banget! Kalau Mama masih hidup, pasti aku masih bisa lihat wajah cantik Mama."
Senyumnya mengembang kala melihat satu foto terakhir paling belakang. Foto dirinya saat masih bayi yang sedang dipeluk oleh Mama. Dengan pelan Maitreya mengusap wajah Mamanya yang berada didalam foto.
"Senyum Mama indah. Kenapa Mama perginya cepet ya? Aku jadi enggak bisa lihat Mama senyum lagi."
Maitreya segera menyimpan album foto itu dan kembali menyapu. Ia mengerjakan setiap pekerjaan rumah yang memang ia lakukan setiap hari. Semenjak SMP, Axen tak pernah menyewa ART lagi.
"Untuk apa gunanya ART kalau ada kamu?"
Hanya itu yang diucapkan Axen kala dirinya bertanya tentang ART. Sebenarnya Maitreya tak merasa keberatan. Namun kadang Axen akan memukulinya jika ia lupa membersihkan rumah. Hal ini membuat Maitreya tersiksa. Jika Axen marah, laki-laki itu lebih suka memukul Maitreya dengan sapu. Axen juga tak jarang memukul dirinya dengan tangan kosong.
Daripada melawan, Maitreya lebih memilih pasrah. Ia tak punya keberanian yang cukup untuk melawan Axen. Ia membiarkan Axen menyakitinya sampai laki-laki itu lelah. Rasa sakit dipukuli Axen tidak sebanding dengan kehilangan Mama. Maitreya hanya diam karena ia tahu, Axen pasti masih menyayanginya.●●●
Hai semua!!!
Makasih udah baca
Jangan lupa votenya yaaMakasiiii
KAMU SEDANG MEMBACA
Maitreya
Teen FictionSemenjak pindah ke sekolah baru, Ceyna sering diikuti oleh Maitreya. Laki-laki dengan wajah tampan dan juga badan yang tinggi. Risih? Tidak usah ditanya lagi. Dari awal bertemu, Maitreya sudah berkata jika ia menyukai dirinya. Maitreya.. Maitreya...