Challenge_03
Subuh-subuh sebelum mentari berganti shift dengan bulan untuk menyinari bumi. Aku sudah berkutat dengan rumput dan parang. Mencari pakan untuk dijual ke para peternak sekitar.
Aku terus membabat habis rumput-rumput liar di belakang rumahku. Meluapkan kekesalanku yang sejak kemarin sudah memuncak diubun-ubun. Karena ulah Mira yang mengotori tas milik Kemala. Aku harus kehilangan uang yang selama ini kukumpulkan, untuk membayar ganti rugi.
Gilanya lagi, bukannya berterima kasih, karena sudah kutolong. Mira justru terus mengataiku. Dengan mengatakan beberapa hal yang menurutku menyakitkan. Seperti,
"Orang dengan otak pas-pasan seperti, Mbak memang nggak usah beli buku atau apapun. Percuma, cuma buang-buang duit."
"Udahlah Mbak, jangan mata duitan banget. Mosok cuma karena uang Mbak ngambek ke aku sama ibu. Harusnya Mbak ini lebih dewasa."
"Ya allah Mbak. Aku lebih penting dari buku nggak guna yang selalu mbak pengin beli itu. Udah ya, uangnya mending buat ganti rugi aja. Ngalah dong sama aku."
Brak
Melempar kasar parang yang sejak tadi kugenggam. Kusembunyikan wajahku di balik kedua telapak tangan. Aku mulai menangis di tengah gelapnya suasana. Biarlah para tetangga berpikir suara tangisanku adalah suara mbak kunti. Aku tak peduli, suasana hatiku sudah terlalu mendung.
"Bangsat, adik nggak tahu diri!" Makiku memasukan rumput-rumput yang sudah kubabat ke dalam karung.
Aku masih menangis sesenggukan. Tapi tetap nekat pergi ke rumah pak Ahmad, si peternak kambing yang selalu membayarku untuk dicarikan rumput. Dengan jarik, kugendong karung berisi rumput itu, di punggungku layaknya penjual jamu.
Langkah demi langkah aku menapaki jalanan yang sepi. Hanya ada beberapa warga yang berlalu lalang pulang dari masjid. Bermodalkan nekat, akhirnya aku sampai di depan rumah pak Ahmad.
"Permisi, Pak. Ini rumput buat pakan ternaknya," ucapku menurunkan beban berat dari punggungku.
Pak Ahmad dan istrinya yang kebetulan baru pulang seusai menunaikan ibadah, menatapku heran. Pasti mereka bingung pasalnya aku biasa mengirim rumput sore hari sepulang sekolah. Namun, sekarang matahari belum nampak saja aku sudah di depan mereka dengan sekarung penuh rumput.
"Loh Dek, kamu nggak lagi ngelindur kan? Ini masih subuh loh." Nahkan benar tebakanku. Saking herannya pak Ahmad sampai berpikir aku ngelindur.
Aku terkekeh pelan. "Mboten, Pak. Saya lagi butuh banget uang buat beli buku. Jadi anter rumputnya lebih awal." Jawabku memberi penjelasan.
Mereka mengangguk mendengar jawabanku. Kemudian bu Ahmad meraih tanganku, memintaku untuk istirahat sebentar. Namun, tak berselang lama cekalannya pada lenganku terlepas. Dia menatapku syok untuk kedua kalinya.
"Ya allah, badanmu dingin banget, Nduk. Dari jam berapa kamu cari rumput?" Bu Ahmad berujar kaget menatapku dan suaminya bergantian.
"Jam setengah tiga, Bu."
"Astagfirullah, nek diculik horo piye? Kowe ki cah wedok loh." Respon pak Ahmad tak habis pikir dengan keberanianku. Lalu dia menempelkan telapak tangannya di dahiku. Ingin membuktikan sedingin apa suhu tubuhku.
"Ealah adem temen kowe, Nduk. Minum teh anget dulu, ya?"
Aku menggeleng menolak halus. Seiringan dengan tanganku yang bergerak ke kanan dan kiri. "Mbotensah, Serin mau langsung pulang aja. Soalnya nanti sekolah."
Kemudian kulihat bu Ahmad membuka jok motornya. Mengambil dompet yang ada di sana dan memberiku dua lembar uang berwarna ungu, atas perintah pak Ahmad.
"Ini upahmu, jangan sampai tahu adekmu." Pesannya. Kurasa berita soal Mira yang bersiteru dengan Kemala kemarin telah menyebar ke seluruh penjuru kampung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Alive [TAMAT]
General Fiction"Cinta adalah hal yang paling indah di dunia ini." Iya, cinta memang hal yang paling indah di dunia ini, untuk para manusia halu yang hidup berkecukupan dan mengandalkan penghasilan orang tua. Tidak bagiku yang hidup serba kekurangan ini. Boro-boro...