Pagi-pagi sekali aku telah berkutat di dapur guna menyiapkan bekal untuk mas Teo. Pria itu menyepam chat sejak kemarin malam hingga dini hari. Memaksaku untuk membuatkannya ayam kremes beserta lalapan, sebagai bekal hari pertama masuk kerja.
Mau tak mau aku harus menurutinya. Karena jika aku menolaknya, sudah kupastikan ponsel dan laptopku yang berisi tugas-tugas kampus akan dipenuhi angka-angka aneh, karena diretas. Siapa peretasnya? Ya Teo lah orangnya.
"Heh! Buatin saya teh kamumil." Perintah nyonya Rana merusak mood pagiku.
"Mungkin maksud nyonya teh chamomile." Ralatku justru mendapat semprotan dari yang bersangkutan.
"Kamu itu nggak usah sok tahu! Itu teh orang kaya, jadi jangan berlagak kamu paling tahu soal teh itu!"
Aku tahu sebetulnya wanita tua itu malu, ketahuan salah menyebutkan nama teh tadi. Tapi karena egonya yang sebesar dosa semua orang di dunia ini, dia memilih mengelak dan memojokkanku dengan dalih aku orang miskin.
"Cih, memangnya situ tidak miskin."
Ingin sekali kuteriaki nenek lampir satu ini. Tapi tidak berani. Aku takut durhaka dan dikutuk menjadi ikan pari.
Lagi pula apa hubungannya teh dengan status miskin atau pun kaya. Aku memang miskin, tapi aku tidak bodoh sampai tidak bisa menyebutkan sesuatu dengan benar.
Memilih mengacuhkan segala ocehan panjang lebarnya. Aku menyibukkan diri menggoreng ayam kremes kesukaan Teo. Sembari menunggu ayam tersebut matang. Aku mengulek cabai, bawang merah dan bawang putih, serta tomat yang sebelumnya telah kugoreng. Berniat membuat sambal tomat sebagai pendamping ayam kremes.
"Anak nggak punya sopan santun. Kalau orang tua ngomong itu dengerin. Apa orang tua kamu nggak bisa mendidik dengan benar?"
Cukup. Aku sudah tidak tahan jika hinaannya yang menyenggol orang tua kandungku. Tanganku mencengkram erat cobek yang kupegang. Detik berikutnya saat akan membalas ucapan sengak nyonya Rana. Sebuah sahutan bernada rendah terdengar.
"Maaf jika saya tidak bisa mendidik anak saya dengan benar. Lain kali saya akan mengajarinya untuk menyumpal mulut kurang ajar anda dengan sendal!"
Itu suara ayah. Beliau baru saja turun dengan setelan kemeja putih dan celana hitam. Berniat sarapan sebelum berangkat kerja seperti biasanya.
Mata nyonya Rana melotot tidak terima sementara bibirnya berkedut emosi. Pasti harga dirinya tergores oleh ucapan ayah, tapi sayangnya dia tak bisa berbuat apa-apa. Sebab hidupnya bergantung pada ayah.
Nyonya Rana pun pergi dengan perasaan dongkol. Andai ini anime mungkin kepalanya sudah keluar tanduk dengan asap panas di sekitarnya. Wkwkwk.
Aku yang tak jadi membalas nyonya Rana pun mengedikan bahu acuh. Kembali melanjutkan aktivitas memasakku yang sedikit terganggu.
"Lain kali kalau dia jahat sama kamu, ngomong ke ayah, ya."
Aku mengangguk singkat. Sementara ayah langsung duduk di meja makan, memantau perkembangan saham perusahaannya melalui ipad.
Maunya sih begitu. Setiap si lampir dan buntutnya itu menggangguku, aku ingin langsung mengadukan perbuatan mereka. Namun, itu tidak mungkin. Jezi dan nyonya Rana terlalu licik. Mereka dapat memutar balikkan fakta dengan mudah. Apalagi Jezi sudah lebih lama tinggal di sini ketimbang diriku. Pasti hampir seluruh penghuni rumah ini mendukungnya, walaupun dia salah.
"Selamat pagi, Serin kamu masak apa?" Sapa tante Aria menghampiriku.
"Bikin ayam kremes sama lalapan, Bun." Berhubung Jezi belum turun untuk sarapan, seperti biasa aku memanggil tante Aria dengan sebutan bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Alive [TAMAT]
General Fiction"Cinta adalah hal yang paling indah di dunia ini." Iya, cinta memang hal yang paling indah di dunia ini, untuk para manusia halu yang hidup berkecukupan dan mengandalkan penghasilan orang tua. Tidak bagiku yang hidup serba kekurangan ini. Boro-boro...