#Challenge_06
Dua minggu berlalu sejak tragedi penculikkan itu. Serin bangun pagi-pagi buta guna menyiapkan sarapan dan segala kebutuhan Teo, seperti biasanya. Selesai mengurusi Teo, Serin lanjut membersihkan segala penjuru rumah. Termasuk taman belakang yang jarang diurus. Jiwa pekerja kerasnya dari kampung membuatnya tidak bisa diam meski tidak ada hal yang harus dikerjakan.
Dan hal itu membuatnya mendapat nilai plus tersendiri di mata keluarga Maheswara. Terutama Hana, ibu dari Teo yang merasa senang sekaligus tenang. Putranya hidup lebih baik sejak Serin bekerja sebagai pembantu di rumah Teo. Serin sangat pandai mengurus putra bungsu keluarga Maheswara.
Hana sering membawa berbagai buah tangan, sebagai tanda terima kasihnya pada Serin. Berkat dia anaknya jadi lebih sering makan masakkan rumah yang sehat. Seperti siang ini, dia sengaja mampir ke rumah Teo untuk mengajak Serin berbelanja sekaligus makan siang bersama sahabat karibnya.
Menggandeng tangan Serin layaknya seorang ibu dan anak. Hana dengan senyum merekah mengajak Serin dari satu toko ke toko lainnya. Membeli beberapa barang yang Hana dan Serin--eum terpaksa sukai. Hari ini Hana begitu menikmati waktunya menghambur-hamburkan uang pemberian sang suami. Berbeda dengan Serin yang sudah ketar ketir sendiri berada di sini.
Hadeh. Kenapa harus ke tempat mahal ini lagi? Serin tidak terlalu suka dengan tempat yang bernama Mall ini. Dia trauma ketika Teo pertama kali mengajaknya ke tempat itu. Semua yang ada di sana sangat mahal untuk kaum mendang-mending seperti dirinya. Celana sobek-sobek saja harganya nyaris menyentuh angka dua juta. Ck, mending ke pasar setidaknya harga di sana masih bisa ditawar.
Menghela napas, Serin mengikuti langkah Hana menuju toko aksesoris. Begitu masuk ke dalam toko, wanita paruh baya itu langsung menuju etalase anting beraneka model. Dia dengan antusias memilih, mencoba, lalu dikembalikan karena tidak cocok.
Hingga beberapa anting telah Hana coba. Wanita itu masih belum juga menemukan anting yang pas. Membuat Serin bosan sendiri di tempatnya. Akhirnya dia memilih melihat-lihat aksesori lain di toko ini.
Sampai di lorong khusus gelang. Mata Serin melirik sana-sini mencari hal spesial yang belum pernah ia temui. Namun, tidak ada yang spesial sedikitpun. Semua gelang-gelang yang dipajang ini, sama seperti gelang-gelang yang biasa dijual pedagang asongan. Kecuali harganya yang jauh lebih mahal.
Tangan Serin kemudian terulur, mengambil sepasang gelang hitam berbahan karet. Ia mengerjap beberapa kali merasa familiar dengan benda di tangannya. Mirip ... karet bungkus nasi yang sering Serin gunakan untuk mengikat rambut.
"Ck, ck, ck. Karet nasi we harganya empat puluh ribu." Komentar Serin julid. Mengembalikan barang tadi ke tempatnya semula. Lalu berjalan kembali ke tempat Hana berada. Takut ibu dari majikannya itu mencarinya.
Serin jadi heran. Kenapa Mira begitu ngebet ingin ke tempat ini? Paling jika benar kesampaian impiannya pergi ke tempat ini. Mira hanya sanggup plonga-plongo layaknya kebo. Ya, bagaimana tidak plonga-plongo. Memangnya apa yang sanggup dia beli di tempat ini coba? Harga gelang mirip karet pembungkus nasi saja semahal itu.
"Sayang, heh sini." Hana memanggil Serin yang baru saja sampai.
Hana menunjukkan sepasang anting berbentuk bulan sabit. Indah. Saking indahnya Serin tak bisa mengira-ngira harga benda itu.
Hana menarik Serin supaya lebih dekat ke arahnya. "Menurutmu, ini bagus, apa nggak?" Tanya Hana meminta pendapat.
"Bagus, Bu. Bentuknya cantik," ucap Serin berkomentar.
Mendengar respon positif dari Serin. Hana tersenyum sumringah. Menyerahkan sepasang anting tersebut, dia meminta karyawan toko tersebut untuk membungkusnya secantik mungkin. Dia berniat memberikan anting tersebut pada Serin, sebagai hadiah.
"Ya udah, ayo kita makan. Temen tante pasti udah nunggu."
"Iya, Bu."
Serin dan Hana pun pergi menuju restoran yang sudah teman Hana boking. Setelah membayar Hana membayar belanjaannya.
***
Suara perabotan yang dibanting mengelegar layaknya petir dari gubuk itu. Mira mengamuk mendapati meja makan yang kosong tanpa ada makanan sedikit pun. Becus tidak sih ibunya mengurus rumah. Tidak tahu apa anaknya di rumah kelaparan, setelah sekolah seharian.
Sudah sebulan ini ia hanya makan sekali sehari. Lauknya pun itu-itu saja, jika tidak tumis kangkung, ya tempe goreng. Ingin makan di luar tapi uang jajannya dikurangi. Uang hasil merampas Serin juga sudah habis, ia gunakkan untuk membeli lip tint.
Kenapa hidup Mira jadi semakin nelangsa sejak kepergian sang kakak? Padahal tadinya Mira berpikir setelah kakaknya pergi dari rumah, dirinya akan dimanja oleh sang ibu. Sebab hanya tinggal dirinya seorang yang harus ibunya biaya. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
"ARGH SERIN SIALAN!" Umpatnya menuduh sang kakak sebagai biang keladi dari hidupnya yang semakin runyam.
Napas Mira terengah-engah, emosi. Dia menyugar rambut lurus alaminya yang berantakkan. Lalu menendang meja kayu rapuh yang sudah tergeletak di lantai.
Melirik jam dinding yang menunjukkan pukul satu lebih sebelas menit. Itu artinya sekarang masih jam makan siang. Maka bisa dipastikan saat ini ibunya tengah menyantap makanan pemberian bu Putri. Karena telah menggarap sawah miliknya.
Mira pun beranjak pergi menuju sawah pak RT, tempat ibunya bekerja. Sepanjang jalan Mira mengeluhkan teriknya matahari yang menyengat kulitnya. Gadis itu tidak terbiasa panas-panasan seperti ini. Kulitnya terlalu indah untuk disengat panasnya sang surya.
Sampai di area persawahan. Mira mendapati ibunya tengah minum sambil memegang sepiring nasi berisi aneka lauk enak. Dasar wanita tua itu. Bisa-bisanya dia egois tanpa memikirkan anaknya. Dia tidak layak disebut sebagai seorang ibu.
"Ibu!" Seru Mira menghampiri ibunya yang tengah beristirahat bersama para buruh tani lainnya.
Ibu menoleh dengan senyum lembutnya. "Loh, Mira. Tumben nyusul ibu?"
"Enak, Bu?" Tanya Mira dengan nada nyolot. Ia juga berkacak pinggang layaknya seorang majikan yang tengah memarahi pembantunya. Sangat tidak sopan.
"Anaknya kelaperan di rumah. Ibu malah enak-enak makan tanpa mirikin, Mira. Ibu itu, ibu macam apa?" Sindir Mira mendapat kecaman dari teman-teman ibunya.
Senyum ibu luntur. Gerakan tangannya yang hendak menyuapkan sesuap nasi terhenti. Matanya menatap Mira yang balas menatapnya kurang ajar.
"Ibu pikir kamu udah jajan di sekolah." Balas ibu mempertahankan senyumnya. Sekuat tenaga dia menahan air matanya yang hampir luruh. Hati ibu mana yang tak sakit mendengar perkataan itu.
Bahu ibu diusap oleh ibu dari Lisa. Wanita itu merasa iba dengan nasib Lastri, ibu Mira. Lisa sering kali bercerita mengenai betapa tidak bersyukurnya Mira. Hingga Serin sering mengalah memberikan semua uang hasil jeri payahnya selama ini.
Memutar bola matanya malas. Mira menyahut sinis, "uang jajan cuma lima belas ribu bisa dapet apa, Bu?"
"Harusnya ibu mikir dong, uang segitu bisa dapet apa?" Lanjut Mira merebut paksa nasi bungkus milik ibunya.
"Astagfirullah. Harusnya kamu itu bersyukur, Nduk. Uang lima belas ribu itu banyak loh, bisa buat beli soto sama es teh." Sahut seorang bapak-bapak menasehati.
"Ck, soto itu cuma makanan orang miskin. Cih, nggak level aku makan yang kaya begituan!" Sentak Mira lantas pergi meninggalkan tempat itu.
Gadis berseragam SMP itu benar-benar tidak sadar diri. Dia bagaikan ayam yang lupa daratan. Kini penyesalan ibu semakin memuncak. Ibu begitu menyesali perbuatannya yang selama ini lebih condong ke Mira ketimbang Serin. Hingga anaknya yang paling pengertian itu pergi meninggalkannya.
Apa ibu masih bisa bertahan tanpa kamu, nduk? Ibu kangen kamu serin. Batin Ibu meremas bajunya pada bagian dada.
Tbc....
°•.Penyesalan itu adalah bagian dari hidup yang memberi kita banyak pelajaran.•°
Lastri Wigunasari
Wonogiri, 7 Maret 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Alive [TAMAT]
Fiksi Umum"Cinta adalah hal yang paling indah di dunia ini." Iya, cinta memang hal yang paling indah di dunia ini, untuk para manusia halu yang hidup berkecukupan dan mengandalkan penghasilan orang tua. Tidak bagiku yang hidup serba kekurangan ini. Boro-boro...